Kamis, 12 Juni 2014

TERIMA KASIH PAGI

"Terima kasih pada pagi,
yang kemudian datang membawah kabar berita sang surya..

Bahwa hari masih akan berlanjut,
beserta harapan-harapannya yang belum pupus..


Bukankah hidup ini adalah harapan itu sendiri?!


Setelah tirai sang malam tersingkapkan,
lalu awas menjadi tercerahkan..

Yang setenga mati lalu hidup lagi..
Yang lupa lalu mengingat kembali.. 


Menyingsingnya sang malam adalah tanda keteraturan..


Semua hal terus berubah,
materi bergerak,

dan jiwa menyempurna..


Selamat pagi bagi kabar-kabar baik..

Selamat datang hati yang belajar menerima.. 
Selamat bersyukur jiwa bersabar.. 
Selamat beristirahat mata yang lelah berjaga.."


Saat mata takunjung letih, lalu cahaya mulai menyiksa mata yang tak terbiasa..
Rumah Hijau..
Sepakat..

EKSTRIMSME


"..Iblis terpesona pada bentuk, dan lalai pada makna.. Api telah membuatnya merendahkan Tanah.. Pun ia lupa bahwa di balik lempung tanah yang rendah, ada wilaya yang tidak ia pahami.. Yaitu limpahan cahaya keberadaan dari Yang Maha Awal dan Akhir..

Berhala terbesar iblis adalah kesombongannya.. Keterpesonaannya pada bentuk, lalu menafikan potensi Adam, menyebabkannya terjebak pada kultus diri..

Demikianlah manusia mengulang perilaku iblis, dalam keterbatasan pengetahuannya menutup peluang kebenaran pula kebaikan ada pada yang lain, dan mengurung kebenaran hanya pada pahaman terbatasnya..

Seperti kata iblis "Aku adalah Api sedang Adam hanya tanah yang kotor..".."

Moga kita terlindungi dari sifat iblis yang ekstrim.. Moga cahaya kebenaran menunjuki kita jalan kebaikan serta kedamaian.. 

Kamis, 05 Juni 2014

FROM SEPAKAT WITH LOVE GOES TO CANGKE PART N.. (MAAFKAN, KALI INI SAYA TIDAK IKUT. hiks.. hiks..)

Oleh Hajir Muis..

Matahari terbenam menebar tirai mega jingganya ketika kapal katinting kami mulai merapat pada pulau tujuan. Masa itu dermaga masih dalam tahap perencanaan, kata kawan dermaga saat ini sudah rampung, itu kira-kira dua tahun setelah kisah ini aku tuturkan. Tidak perlu lagi berjalan berpuluh meter dari bibir pantai, sambil awas dengan bulu babi yang berserakan dengan kemungkinan besar kaki menginjaknya. Kata orang, tertusuk bulu babi itu menyakitkan. Kemudian benar saja, saat itu aku yang lebih dahulu mencicipinya. Namun entah mengapa? magis sang surya yang mulai terhijab tirai malam, serta hamparan pasir bersih, pepohonan pinus, aroma air laut, pohon cinta, api unggun, angin mamiri, gemintang di langit, gemuru ombak, nada gitar, nasi asin, bubur kacang ijo, bertemu daeng Abu dan isteri, semuanya menjadi sebab rasa sakit di kaki yang harusnya perih, baru terasa ketika kami kembali..

Ahhh. Kisah itu sudah lama berlalu, sama lamanya dengan tumbuhnya rambut sepanjang setengah meterku. Kira-kira tiga tahun silam, kami bersama, bagiku untuk pertama kali, bersenang-senang di pulau seukuran lima belas menit berjalan mengitarinya. Pulau yang letaknya lebih dekat dari kabupaten pangkep, kemudian kami capai setelah tiga jam mengarungi laut dari pelabuhan poatere makassar. Seingatku fobia laut dan ketinggian, sekali waktu hampir membuat aku kecil tercebur di pantai pare-pare. Kali ini aku malah berada di tengah samudera dengan palung-laung laut yang pasti sangat dalam, dapat saya ketahui dari perubahan warna permukaan laut, hitam pekat, kemudan hijau lumut, hingga biru gelap. Saat itu aku yakin lantai bumi berada dua-puluh meter di bawah kapal kami. Takut menyeruak, menegeskan hal medasar, kematian menghantui. Ditambah lagi pada saya yang memang tidak pernah belajar/tahu cara berenang, Lengkaplah sudah syarat untuk semakin cemas. Sekali lagi entah, seingatku, aku hanya bisa tersenyum puas, sambil mengumamkan doa dan rasa syukur, dalam kekaguman tak terbatas akan keluasan samudera ciptaan Yang Maha Luas. Sungguh takut itu hanya sebantar saja adanya. Angin laut yang menerpaku, air laut dari ombak yang dibelah perahu, membasahi wajahku. Rasa kecil di hadapan keluasan semesta Ilahi, saat ini, jauh setelah hari itu aku bersumpah, “Nikmat Tuhan mana yang dapat di dustakan?!”

Kisah kali ini adalah memori yang coba aku petik lagi hikmahnya, sebagian orang memisahkan masa lalu, sekarang dan masa depan, dari manusia itu sendiri. Bagiku kini bagi 'masa lalu' 'sekarang' dan 'masa depan', adalah manusia itu sendiri. Manusia tidak pernah berada di luar masanya. Sebagai makhluk manusia selalu ada bersama masanya (waktu), atau katakan saja waktu adalah hidup itu sendiri. Dengan jika demikian adanya, maka manusia tidak akan terjebak dalam determinisme sejarah, bahwa segala hal yang dilakukan manusia dalam hidupnya adalah pure paksaan dari mother nature.Jika hidup adalah sebuah keteterpaksaan, maka makna akan hilang, kebaikan akan absurd, kesempurnaan akan menjadi utopia.

Kami senang melakukan perjalan-perjalan, dasarnya selalu adalah untuk melihat hidup kami masing-masing lebih dekat!? Bukankah kita kadang bercermin pada diri manusia yang lain. Bukakankah kita sadar bahwa kita ada, karena menyadari keberadaan yang lain. Oh, perjalanan menyenangkan kami kadang membuat kami menjadi lupa diri, berhura-hura, hedon, pongga, hingga kadang zalim pada sesama, dan lebih sering pada diri sendiri. Lalu selalu saja ada di antara  kami yang menjadi alarm bagi yang lainnya, Kadang dia orang yang memang sadar dengan perannya, kadang datang dari siapa saja yang tak terduga, dalam bentuk celaan keras, singgungan, sanjungan bermotif, mengingatkan setiap diri yang terbawah arus kelupan, dalam hingar-bingar pesta ala kadarnya di bibir pantai. Yaa, saat itu pengingat itu datang dari keegoisan untuk mementingkan diri sendiri, umpatan yang tak sadar sebenarnya membumerang pada diri, dan tulisan bijaksana yang mengkritik sambil autokritik. Aku sungguh merindukan hal demikian!

Matahari terbit mengarah tepat ke wajah kami yang baru saja memulai membisakan diri, setelah rehat bernyanyi semalaman. Dengan cepat adik-adikku berlari menuju pantai yang megarah ke timur, arah kami bersandar dari makasaar. Tanpa pikir panjang menceburkan dirinya pada air laut yang masih pasang, namun tetap dalam kehangatannya. Saya yang tidak tahu cara berenang hanya bisa bermain-main air di bibir pantai, layaknya katak yang takut jauh-jauh dari darat. Hingga seorang teman mengajarkan bahwa kadar garam lalu akan memudahakan manusia untuk mengapung di permukaan, itu berarti akan memudakan pula untuk belajar berang. Benar saja, beberapa menit berlatih akhirnya saya bisa berbolak-balik puluhan meter jauhnya, sungguh menyenangkan.

Waktu bergulir dengan cepat, seperti perasaan ketika duduk di samping nona yang manis. Belum juga panci bekas memasak pagi tadi dibersihkan, waktu masak dan makan siang pula tiba. Kami memasak sepanci nasi, dan lauk dari telur, nugget, sarden, dan mi instan, yang kemudian sangat mengenyangkan kami. Dan akhirnya seperti ular yang kekenyangan, kami beristirahat sejenak di bawah pepohonan pinus rindang dengan cahaya bejatuhan dari sela-selanya. Desir suara ombak pantai pun surut makin menjauhkan bibir pantai berpuluh meter. Desirnya masih saja mendayu-dayu merayu kami untuk segera kembali bercumbuh dengannya. Alhasil beberapa dari kami melanjutan bermain air hingga lupa waktu. Saat itu saya memilih untuk bermain dengan bintang laut, dan mengisih botol bekas dengan berberapa jenis pasir untuk jadikan kenagan di rumah.

Senja mulai bersiap menganti tirai kegungan dengan tirai penjagaan. Kami lalu bergegas berpindah ke sisi sebelah dari pulau. Ahh, sayangnya awan sedang bercengkrama akrab dengan senja, hingga hanya cahaya oranye gelap yang berpendar dari dari sela-sela awan, pun perlahan menyingsing bersamaan dengan selesainya kata terakhir awan kepada sang senja. Kami tepat mengahadap kearah barat, bagi ummat muslim di berbagai negara, barat adalah identik dengan arah bangunan suci kuno yang pertama kali didirikan kembali oleh Ibrahim AS, setelah jauh sebelumnya dibangun oleh ayah manusia Adam AS. Arah pemersatu keragaman ras, suku, bangsa. Arah yang memungkin dan menjadi bukiti bahwa di tengah berbagai macam perbedaan, persatun dan kedamaian sangat dimungkinkan untuk terwujud.

Aku mengingat kembali, saat itu adalah awal pertama kalinya mulai membaca beberapa buku, salah satunya buku kang Jalal, Road To Muhammad, moga keberkan baginya yang bertekat menebar cinta kepada sang nabi suci beserta keluarganya. Pada sebuah pembahasan seorang ingin menghadikan sesuatu pada sang nabi, namun dia tidak punya apa-apa, ia sudah tua, ia berkerja menyapu dedaunan kering yang berjatuhan. Saran kang Jalal yang selalu saya ingat kepada orang tua itu, kenapa tidak setiap desiran sapu yang menyapu dedaunan disertakan salam salawat kepada kanjeng nabi, moga sekiranya nabi menjadi saksi atas kecintaan anda.. Ahhh. Ingin juga kiranya melakukan hal demikian, mungkin dengan cara yang berbeda, ingin di setiap perjalanan, di setiap tempat baru, di setiap kekaguaman pada ciptaan sang Khalik, ingin menghadiakan sebuah salam dan salawat bagi sang nabi. Walaupun nilainya hanya bagai debu dihadapannya. Bagaimana bisa bernilai, sedang Tuhan dan malaikat tak henti mencurahkan salawat bagi sang kemulian Ilahi ini. Demikianlah kesenangan lebih, mengapa kami begitu senang melakukan perjalanan.

Malam itu aku hanya berselimut selembar pasmina tipis pinjaman dari teman, anehnya dingin dari angin yang agak kencang, sama sekali tidak menembus ke dalam hangatnya tebal kebahgiaanku. Pagi menjelang, kapal katinting kami lebih awal bersandar ke bibir pantai, memanfaatkan pasang laut yang sedang tinggi-tingginya. Kami lalu bergegas mengemas barang-barang untuk segera kembali kerumah, tak lupa berpamitan kepada daeng abu dan istrinya, dan tentuhnya berfoto bersama dengan gaya terbaik. hahaha..



Hari ini, berhari hari lalu dari masa itu, kawan-kawan kembali melakukan perjalanan menyenangkan ke pulau yang tentu hati merindu padanya. Namun kali ini maafkan aku tidak ikut dalam rombongan yang penuh senyum sumringa. Tidak ada dalam frame rombongan keren, dengan kemeja khas pantai, kacamata mentereng, dan warna kulit yang terbakar (kalo aku mungkin jadi hangus). Kali ini aku ikhlas tanpa prasangka sekalipun, bahwa kawan-kawan tidak meninggalkanku. hahaha.. Moga doa keselamatan buat kawan-kawan semuanya, katanya kali ini robongan sangat ramai sekitar 38 orang. Moga kalian sehat dan selamat kembali kerumah tanpa kekurangan apa-apapun. Moga kalian pulang mengabari saya kisah-kisah seruh dan foto-foto narsis atau selfi yang tidak membuat cemburu! hahaha.. Namun kiranya kalian mendapat hikma, mungkin itu hal yang terbaik yang bisa kalian dapatkan. Semoga Tuhan membantu kita menyingkapkan hijab_Nya dan kemudian kita mendapat buah paling manis dari sebuah perjalanan, apapun itu.


Rumah Hijau_Sepakat

Setelah mengantar rombongan terakhir menuju Cangke..