Minggu, 08 Desember 2013

GADIS SENDU

"Kasih kadang butuh perpanjangan tangan, agar tangan bisa belajar mengasihi. Begitulah manusia yang selalu menjadi perpanjangan tangan_Nya, mendididk manusia belajar kasih, mengasihi." 

Sedih rasanya melihat seorang yang terkasih menangis terseduh, jika mengahadapi hal seperti itu kebanyakan orang akan mengatakan, kenapa kamu menangis? Sudah! jangan menangis? Ada pula yang membentak, jangan menangis! Kamu harusnya kuat! Tidak seharusnya kamu menangis! Dasar cengeng! Dasar manja! Tapi kali ini aku membiarkannya tetap terisak-isak dengan semua sedihnya, semua marahnya, semua gejolak aneh yang membuat dadanya sesak, hingga bola matanya menuangkan air seperti keran yang mengalirkan deras karena lama tertahan.

Ia menangis terseduh, menutup wajahnya dengan ransel yang ada di tangan. Sambil memeluknya erat-erat, mencoba menyembunyikan wajah yang mulai memerah basah. Entah mengapa ia malu dengan wajahnya. Apa yang salah? Apa karena ia sedang menangis. Seolah-olah seseorang akan menghukuminya, memakinya, menghujatnya, mejatuhkan, dan mempersalahkannya karena air matanya yang mengalir semakin deras. Seakan-akan yang sedang terjadi padanya adalah kesalahan terbesar yang ia lakukan.
Semakin dalam ia dengan perasaannya. Udara sekitar pun tetiba berubah, ada aura yang mengharu-birukan setiap hati yang cukup sensitif membaca air muka yang terlalu jujur, terlihat sedih. Setiap wajah mulai sayup-sayup mengarahkan pandangan pada sumber kesedihan itu, air mata itu, gadis yang menangis tersedu-seduh. Sedangkan ia tidak ingin menjadi pusat perhatian.

Apa yang salah dengan menangis? Mengapa harus menganggap temeh tangisan? Seakan-akan tangisan pernah sekali-kali menghukum mereka, membuat mereka menjadi pesakitan. Hingga mereka menjadikan tangisan sebagai tanda kelemahan, tanda ketidakmampuan, anti kebahagian, suatu aib kemunusiaan. Mungkin saja seperti itu, aku hanya berspekulasi! Gadis itu masih tetap manangis, aku sedikitpun tidak mencoba menghentikannya. Bukannya tahan dengan air mata, tapi tangisan juga sebuah bentuk pengungkapan paling sederhana, paling indah, sebuah bahasa tanpa perlu berkata-kata, bahasa univesal dari perasaan. Sedih atau bahagia. Maka ia perlu dicerapi.

Kita tidak benar-benar akan melupakan saat-saat ketika kita menangis dimasa-masa yang lalu. Entah apapun alasannya manusia harusnya pernah mengalirkan air matanya, paling tidak ketika kita melalui masa kanak-kanak. Mengapa? Karena itulah bahasa pertama seorang anak manusia di dunia ini, bahasa yang kita gunakan untuk mengungkapakn sesuatu yang belum kita pahami maksudnya. Sedangkan tubuh membutuhkannya dan tergantung padanya. Ketika itu bahasa manusia cuma satu, sama pada setiap insan, tangisan!

Sekonyong-konyongnya dewasa menjadikan tangisan terlihat begitu menjijikan bagi manusia-manusia yang mulai percaya penuh dengan kemerdekaannya, dengan kemandiriaannya, dengan kekuatannya, tanpa tangisan, mampu menjalini hidup ini lebih baik, sekali lagi tanpa air mata. Air mata menjadi penghalang manusia menuju kebahagiaan, dan kebahagiaan hanya dapat dicapai tanpa tangisan. Begitulah tangisan ditafsirkan menurutku.
Tidak akan aku tanyakan mengapa! Hingga ia sendiri yang mulai berbicara, yang artinya dadanya tidak lagi terlalu sesak untuk mulai menyusun kata-demi-kata. Tangisan itu seperti tangisan seorang bayi yang kelaparan, kedinginan, kesakitan, meminta kepada ibu atau bapaknya apa-apa yang tak mampu untuk diungkapakannya. Dengan sederhana pula mampu dipahami oleh kedua orang tuanya. Begitulah air mata mengambil perannya pada seorang anak manusia. Entah apa yang akan terjadi jika seorang anak tidak dapat mengungkapkan bahkan dengan tangisan. Kematian karena rasa lapar, sakit yang menggrogoti, atau dingin yang menusuk, bisa terjadi kapan saja tanpa pertanda apapun. Tanpa tangisan seorang anak berarti sedang berada dalam kondisi tanpa sebuah perlindungan sama sekali.

Perlindungan adalah hal yang diharapakan seoarang anak manusia dari tangisannya, dan dengan tangisannya ia akan bahagia. Kedua orang tuanya pun akan bahagia karena hati mereka yang penuh kekhawatiran, legah seiring tangisan sang anak yang mulai berhenti. Begitu menenangkan. Entah kapan dimulainya masa dalam kehidupan manusia, tangisan menjadi tabu, anti dari kebahagiaan. Apa karena anak manusia mulai merasa cukup kuat dengan segalah daya dan upayanya, sehingga merasa bisa mengendalikan segala hal di luar dirinya. Entah sejak kapan tangisan dan bahagia menjadi oposisi biner yang benar-benar saling anti. Apa karena seooarang yang bahagia akan merasa paradoks jika ia menangis. Padahal masa-masa hidup kita telah membuktikan bahwa tangisan tidak lahir begitu saja, tercipta dalam diri sebagai sebuah kesia-siaan, atau minimal dikala usia mendewasa.

Gadis itu kini seperti bayi yang meminta perlindungan, anak yang ingin lepas dari kebingungannya, kegalauaannya, ketidakpahamannya, dari ketidakmampuannya, dari kelemahannya yang hanya bisa ia ungkapkan dalam satu bahasa, tangisan! Hanya dengan itu ia bisa mengungkapkannya. Berapapun usianya saat ini, atau berapapun usia mereka yang menangis, orang-orang yang punya hati cukup lembut akan menaruh rasa iba padanya, karena tidak ada bedanya tangisan bayi dengan seorang dewasa. Tujuannya sama simpati, empati, perlindungan.

Tangsiannya pun mulai terhenti, dari bibirnya yang bergetar mulai mengucakan kata-demi-kata, menceritakan sebab-musababnya kenapa ia bersedih. Sudah 3 bulan terakhir ia tidak mendapat kabar dari kedua orang tuanya, tidak ada telepon, sms, menanyakan “bagaimana kabarmu nak?” apalagi “kami menyayangimu?” hatinya mulai menaruh kecurigaan bahwa ia tidak lagi disayangi, tidak lagi diperhatikan. Sempat sesaat ia menghubungi ibunya entah mengapa kata “sudah duluh yah nak, ibu lelah!” Semakin menguatkan sangkaanya. Sekonyong-konyongnya gadis itu menjadi menderita. Tapi itu sebelum ia tahu bahwa ia sedang bahagia.

Di hadapan gadis itu kini sili-berganti petir halilintar menghujam setiap kekhwatirannya.  Ia cemas dan ketakutan, di matanya tak terlihat lagi perhatian, kasih, dan cinta kedua orang tuannya kepadanya. Namun begitulah halilintas bekerja, sekejab menimbulakan ketakutan sekaligus juga malahirkan harapan yang besar. Tanpa gadis itu sadari ia sedang mengandung kebahagiaan yang sebentar lagi kan ia lahirkan. Di balik ketakutannya terselip rasa cinta yang mendalam kepada kedua orang tuannya, di balik kecurigaannya terbersit harapan untuk disayangi.

Ingatkah kamu bagai mana perasaanmu ketika awan mendung, lalu petir menyambar, dan guntur menggelegar ditelinga. Ketakutan lah yang akan menyelimuti kita.Namun lupakah kita, apa yang terjadi setelah itu, air hujan pun turun. Dahaga akibat kekeringan berkepanjangan tersudahi, rasa syukur yang besar terlihat disenyum sumringah kita. Kita menjadi bahagia berpuluh-puluh kali lipat dari sebelumnya. Mereka bahagia setelah melalui ketakutan yang sekejab saja berlalu. Merekah menajdi lebih hidup.

Hujan deras itu membasahi tanah-tanah yang kering, kemudian tanah-tanah itu akan kembali menjadi subur lagi. Kehidupan akan terlahir dari cela-cela tanah yang basah nan subur, memberikan harapan bagi kehidupan yang bergantung padanya. Pun seperti itulah air matanya. Seperti hujan yang membasahi tanah yang kering, air matanya kini membasahi hatinya yang kering. Hatinya yang ia tidak sadari sama seperti orang tuanya. Lupa menaruh kasih sama-sekali kepada kepadanya, si gadis pun sama kepada kedua orang tuanya. Kesibukannya, kegalauaanya, urusan cintanya, pekerjaannya telah mengelabuhinya dari sebentar saja mengucap salam sapah kasih kepada kedua orang tuanya. Yah, aku menyebutnya masa-masa paceklik hati. Masa ketika hati tidak merasak nikmatnya cinta, kasih, dan sayang. Hatinya seperti tanah kering kalau tidak membatu saat itu.

Akhinya dari hatinya tumbuh bersemi benih cinta yang baru. Setelah ia menjadi kecewa, menjadi gunda gulana akibat halilintarnya. Mencuat kebahagian berkali-kali lipat dari harapannya, dari hatinya yang basah akibat air matanya. Si gadis mesti sadar bahwa hatinya selama ini mulai gersang, berada pada musim kering berkepanjangan. Namun hati yang fitrahnya merindu seperti tanah yang harapannya curahan hujan. Lewat air matanya yang deras mengalir, menandakan rindu yang teramat sangat. Si gadis hidup kembali. Ia hanya perlu mengubah cara pandangnya terhadap halilintar itu. Realitanya tetap saja halilintar. Tapi tafsirnya sangat tergantung pada mata apa yang kita gunakan untuk memaknainya.

“Hidup kita ini tak beralas realitas. Kita hanya berdiri di atas defenisi dan penafsiran terhadap realitas.” (Jalaluddin Rakhmat)

Kita tidak benar-benar bisa melihat dengan jernih menggunakan mata ini. Mata ini hanya mempelihatkan apa saja yang ingin ia lihat, bagiku yang kita lakuakan selama ini adalah mengimajinasikan apa-apa yang tercitrakan dari segala hal yang berada di luar kita. Mata ini tidak pernah sepenuhnya melihat sesuatu sebagaimana mestinya, sebagaimana adanya, mata ini lebih sering menipu kita. Karena mata ini tidak benar-benar bekerja sendiri, mata bekerja sebagaimana sangkaan si pemilik mata. Mata melihat sesuai dengan hati pemiliknya. Namun kita sudah terlanjur percaya dengan mata ini, hingga wajarlah jika kita sering dikecewakannya.

***

Dalam hidup kasih kadang tak sampai karena tabir-tabir yang menghalanginya. Kejerniaan hati kadang ternodai oleh nila buruk sangka, membuatnya menjadi pekat. Si gadis yang rindunya terpatri di dada. Terungkap lewat air matanya. Mengalirkan kehidupan dalam hidupnya. Yang perlu ia lakukan hanya menyusun kata-kata sederhana. Tanpa prasangka tidak dibalasnya ungkapan kasihnya. Tanpa takut dan ragu mengirimkan kata “aku sayang mama papa!” apapun yang terjadi selanjutnya. Sang gadis yang terseduh itu tercerhakan oleh kebahagiaannya, oleh air mata kasihnya.

Yang mengenaskan malahan mereka yang kehilangan air matanya. Yang dibutakan matanya. Yang kekeringan hatinya. Yang gersang mulai mengeras, membatu. Mereka seperti bayi tanpa air mata. Tanpa perlindungan, karena mereka telah menjadi individu yang kuat, mandiri tanpa air mata. Kerinduaannya tidak memberikan kesegaran lagi bagi jiwanya. Mereka menjadi kebingungan, kehilangan sesuatu tapi tidak menyadarinya. Dicari-carinya tapi tak kunjung mereka dapati. Bagi mereka petir akan tetap menjadi petir. Sebuah tantangan yang mesti ditaklukkan. Bukan suatu yang berisi harapan.
Mereka adalah aku. Aku yang berharap belum menjadi batu.

(Untuk mengingatkan diri untuk tidak menjadi batu.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar