"Kasih kadang butuh perpanjangan tangan, agar tangan bisa belajar
mengasihi. Begitulah manusia yang selalu menjadi perpanjangan
tangan_Nya, mendididk manusia belajar kasih, mengasihi."
Sedih
rasanya melihat seorang yang terkasih menangis terseduh, jika
mengahadapi hal seperti itu kebanyakan orang akan mengatakan, kenapa
kamu menangis? Sudah! jangan menangis? Ada pula yang membentak, jangan
menangis! Kamu harusnya kuat! Tidak seharusnya kamu menangis! Dasar
cengeng! Dasar manja! Tapi kali ini aku membiarkannya tetap terisak-isak
dengan semua sedihnya, semua marahnya, semua gejolak aneh yang membuat
dadanya sesak, hingga bola matanya menuangkan air seperti keran yang
mengalirkan deras karena lama tertahan.
Ia menangis
terseduh, menutup wajahnya dengan ransel yang ada di tangan. Sambil
memeluknya erat-erat, mencoba menyembunyikan wajah yang mulai memerah
basah. Entah mengapa ia malu dengan wajahnya. Apa yang salah? Apa karena
ia sedang menangis. Seolah-olah seseorang akan menghukuminya,
memakinya, menghujatnya, mejatuhkan, dan mempersalahkannya karena air
matanya yang mengalir semakin deras. Seakan-akan yang sedang terjadi
padanya adalah kesalahan terbesar yang ia lakukan.
Semakin dalam
ia dengan perasaannya. Udara sekitar pun tetiba berubah, ada aura yang
mengharu-birukan setiap hati yang cukup sensitif membaca air muka yang
terlalu jujur, terlihat sedih. Setiap wajah mulai sayup-sayup
mengarahkan pandangan pada sumber kesedihan itu, air mata itu, gadis
yang menangis tersedu-seduh. Sedangkan ia tidak ingin menjadi pusat
perhatian.
Apa yang salah dengan menangis? Mengapa harus
menganggap temeh tangisan? Seakan-akan tangisan pernah sekali-kali
menghukum mereka, membuat mereka menjadi pesakitan. Hingga mereka
menjadikan tangisan sebagai tanda kelemahan, tanda ketidakmampuan, anti
kebahagian, suatu aib kemunusiaan. Mungkin saja seperti itu, aku hanya
berspekulasi! Gadis itu masih tetap manangis, aku sedikitpun tidak
mencoba menghentikannya. Bukannya tahan dengan air mata, tapi tangisan
juga sebuah bentuk pengungkapan paling sederhana, paling indah, sebuah
bahasa tanpa perlu berkata-kata, bahasa univesal dari perasaan. Sedih
atau bahagia. Maka ia perlu dicerapi.
Kita tidak
benar-benar akan melupakan saat-saat ketika kita menangis dimasa-masa
yang lalu. Entah apapun alasannya manusia harusnya pernah mengalirkan
air matanya, paling tidak ketika kita melalui masa kanak-kanak. Mengapa?
Karena itulah bahasa pertama seorang anak manusia di dunia ini, bahasa
yang kita gunakan untuk mengungkapakn sesuatu yang belum kita pahami
maksudnya. Sedangkan tubuh membutuhkannya dan tergantung padanya. Ketika
itu bahasa manusia cuma satu, sama pada setiap insan, tangisan!
Sekonyong-konyongnya
dewasa menjadikan tangisan terlihat begitu menjijikan bagi
manusia-manusia yang mulai percaya penuh dengan kemerdekaannya, dengan
kemandiriaannya, dengan kekuatannya, tanpa tangisan, mampu menjalini
hidup ini lebih baik, sekali lagi tanpa air mata. Air mata menjadi
penghalang manusia menuju kebahagiaan, dan kebahagiaan hanya dapat
dicapai tanpa tangisan. Begitulah tangisan ditafsirkan menurutku.
Tidak
akan aku tanyakan mengapa! Hingga ia sendiri yang mulai berbicara, yang
artinya dadanya tidak lagi terlalu sesak untuk mulai menyusun
kata-demi-kata. Tangisan itu seperti tangisan seorang bayi yang
kelaparan, kedinginan, kesakitan, meminta kepada ibu atau bapaknya
apa-apa yang tak mampu untuk diungkapakannya. Dengan sederhana pula
mampu dipahami oleh kedua orang tuanya. Begitulah air mata mengambil
perannya pada seorang anak manusia. Entah apa yang akan terjadi jika
seorang anak tidak dapat mengungkapkan bahkan dengan tangisan. Kematian
karena rasa lapar, sakit yang menggrogoti, atau dingin yang menusuk,
bisa terjadi kapan saja tanpa pertanda apapun. Tanpa tangisan seorang
anak berarti sedang berada dalam kondisi tanpa sebuah perlindungan sama
sekali.
Perlindungan adalah hal yang diharapakan seoarang
anak manusia dari tangisannya, dan dengan tangisannya ia akan bahagia.
Kedua orang tuanya pun akan bahagia karena hati mereka yang penuh
kekhawatiran, legah seiring tangisan sang anak yang mulai berhenti.
Begitu menenangkan. Entah kapan dimulainya masa dalam kehidupan manusia,
tangisan menjadi tabu, anti dari kebahagiaan. Apa karena anak manusia
mulai merasa cukup kuat dengan segalah daya dan upayanya, sehingga
merasa bisa mengendalikan segala hal di luar dirinya. Entah sejak kapan
tangisan dan bahagia menjadi oposisi biner yang benar-benar
saling anti. Apa karena seooarang yang bahagia akan merasa paradoks jika
ia menangis. Padahal masa-masa hidup kita telah membuktikan bahwa
tangisan tidak lahir begitu saja, tercipta dalam diri sebagai sebuah
kesia-siaan, atau minimal dikala usia mendewasa.
Gadis itu
kini seperti bayi yang meminta perlindungan, anak yang ingin lepas dari
kebingungannya, kegalauaannya, ketidakpahamannya, dari
ketidakmampuannya, dari kelemahannya yang hanya bisa ia ungkapkan dalam
satu bahasa, tangisan! Hanya dengan itu ia bisa mengungkapkannya.
Berapapun usianya saat ini, atau berapapun usia mereka yang menangis,
orang-orang yang punya hati cukup lembut akan menaruh rasa iba padanya,
karena tidak ada bedanya tangisan bayi dengan seorang dewasa. Tujuannya
sama simpati, empati, perlindungan.
Tangsiannya pun mulai
terhenti, dari bibirnya yang bergetar mulai mengucakan kata-demi-kata,
menceritakan sebab-musababnya kenapa ia bersedih. Sudah 3 bulan terakhir
ia tidak mendapat kabar dari kedua orang tuanya, tidak ada telepon,
sms, menanyakan “bagaimana kabarmu nak?” apalagi “kami menyayangimu?”
hatinya mulai menaruh kecurigaan bahwa ia tidak lagi disayangi, tidak
lagi diperhatikan. Sempat sesaat ia menghubungi ibunya entah mengapa
kata “sudah duluh yah nak, ibu lelah!” Semakin menguatkan sangkaanya.
Sekonyong-konyongnya gadis itu menjadi menderita. Tapi itu sebelum ia
tahu bahwa ia sedang bahagia.
Di hadapan gadis itu kini
sili-berganti petir halilintar menghujam setiap kekhwatirannya. Ia
cemas dan ketakutan, di matanya tak terlihat lagi perhatian, kasih, dan
cinta kedua orang tuannya kepadanya. Namun begitulah halilintas bekerja,
sekejab menimbulakan ketakutan sekaligus juga malahirkan harapan yang
besar. Tanpa gadis itu sadari ia sedang mengandung kebahagiaan yang
sebentar lagi kan ia lahirkan. Di balik ketakutannya terselip rasa cinta
yang mendalam kepada kedua orang tuannya, di balik kecurigaannya
terbersit harapan untuk disayangi.
Ingatkah kamu bagai
mana perasaanmu ketika awan mendung, lalu petir menyambar, dan guntur
menggelegar ditelinga. Ketakutan lah yang akan menyelimuti kita.Namun
lupakah kita, apa yang terjadi setelah itu, air hujan pun turun. Dahaga
akibat kekeringan berkepanjangan tersudahi, rasa syukur yang besar
terlihat disenyum sumringah kita. Kita menjadi bahagia berpuluh-puluh
kali lipat dari sebelumnya. Mereka bahagia setelah melalui ketakutan
yang sekejab saja berlalu. Merekah menajdi lebih hidup.
Hujan
deras itu membasahi tanah-tanah yang kering, kemudian tanah-tanah itu
akan kembali menjadi subur lagi. Kehidupan akan terlahir dari cela-cela
tanah yang basah nan subur, memberikan harapan bagi kehidupan yang
bergantung padanya. Pun seperti itulah air matanya. Seperti hujan yang
membasahi tanah yang kering, air matanya kini membasahi hatinya yang
kering. Hatinya yang ia tidak sadari sama seperti orang tuanya. Lupa
menaruh kasih sama-sekali kepada kepadanya, si gadis pun sama kepada
kedua orang tuanya. Kesibukannya, kegalauaanya, urusan cintanya,
pekerjaannya telah mengelabuhinya dari sebentar saja mengucap salam
sapah kasih kepada kedua orang tuanya. Yah, aku menyebutnya masa-masa
paceklik hati. Masa ketika hati tidak merasak nikmatnya cinta, kasih,
dan sayang. Hatinya seperti tanah kering kalau tidak membatu saat itu.
Akhinya
dari hatinya tumbuh bersemi benih cinta yang baru. Setelah ia menjadi
kecewa, menjadi gunda gulana akibat halilintarnya. Mencuat kebahagian
berkali-kali lipat dari harapannya, dari hatinya yang basah akibat air
matanya. Si gadis mesti sadar bahwa hatinya selama ini mulai gersang,
berada pada musim kering berkepanjangan. Namun hati yang fitrahnya
merindu seperti tanah yang harapannya curahan hujan. Lewat air matanya
yang deras mengalir, menandakan rindu yang teramat sangat. Si gadis
hidup kembali. Ia hanya perlu mengubah cara pandangnya terhadap
halilintar itu. Realitanya tetap saja halilintar. Tapi tafsirnya sangat
tergantung pada mata apa yang kita gunakan untuk memaknainya.
“Hidup kita ini tak beralas realitas. Kita hanya berdiri di atas defenisi dan penafsiran terhadap realitas.” (Jalaluddin Rakhmat)
Kita
tidak benar-benar bisa melihat dengan jernih menggunakan mata ini. Mata
ini hanya mempelihatkan apa saja yang ingin ia lihat, bagiku yang kita
lakuakan selama ini adalah mengimajinasikan apa-apa yang tercitrakan
dari segala hal yang berada di luar kita. Mata ini tidak pernah
sepenuhnya melihat sesuatu sebagaimana mestinya, sebagaimana adanya,
mata ini lebih sering menipu kita. Karena mata ini tidak benar-benar
bekerja sendiri, mata bekerja sebagaimana sangkaan si pemilik mata. Mata
melihat sesuai dengan hati pemiliknya. Namun kita sudah terlanjur
percaya dengan mata ini, hingga wajarlah jika kita sering
dikecewakannya.
***
Dalam hidup kasih kadang
tak sampai karena tabir-tabir yang menghalanginya. Kejerniaan hati
kadang ternodai oleh nila buruk sangka, membuatnya menjadi pekat. Si
gadis yang rindunya terpatri di dada. Terungkap lewat air matanya.
Mengalirkan kehidupan dalam hidupnya. Yang perlu ia lakukan hanya
menyusun kata-kata sederhana. Tanpa prasangka tidak dibalasnya ungkapan
kasihnya. Tanpa takut dan ragu mengirimkan kata “aku sayang mama papa!”
apapun yang terjadi selanjutnya. Sang gadis yang terseduh itu
tercerhakan oleh kebahagiaannya, oleh air mata kasihnya.
Yang
mengenaskan malahan mereka yang kehilangan air matanya. Yang dibutakan
matanya. Yang kekeringan hatinya. Yang gersang mulai mengeras, membatu.
Mereka seperti bayi tanpa air mata. Tanpa perlindungan, karena mereka
telah menjadi individu yang kuat, mandiri tanpa air mata. Kerinduaannya
tidak memberikan kesegaran lagi bagi jiwanya. Mereka menjadi
kebingungan, kehilangan sesuatu tapi tidak menyadarinya. Dicari-carinya
tapi tak kunjung mereka dapati. Bagi mereka petir akan tetap menjadi
petir. Sebuah tantangan yang mesti ditaklukkan. Bukan suatu yang berisi
harapan.
Mereka adalah aku. Aku yang berharap belum menjadi batu.
(Untuk mengingatkan diri untuk tidak menjadi batu.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar