Tidak ada surat untuk kekasih
Sukab yang malang, jauh-jauh aku ke tempat ini hanya untuk menuliskanmu sebuah surat yang tidak akan pernah sampai padamu. Aku tak sebodoh kamu Sukab. Dengan begitu nyali memotong senja pada empat sisi dengan kemilau keemasannya yang paling indah, yang paling mungkin didapati di langit sore. Sepuluh tahun tukang pos itu menyesatkan surat itu, terhambat oleh mereka yang protes, oleh mereka yang berebut surat dengan kartu pos bermatrai dengan gambar senja oranye, mereka berebut, padahal jelas sekali di sana tertulis namaku, "Untuk Alina Terkasih".
Aku tak sebodoh dirimu Sukab, tak akan kubiarkan JNE, Tiki, J&T, Pos atau bahkan seluruh suremail apapun menyesatkan surat ini untukmu. Karena surat ini hanyalah untukku, untuk Alinamu yang bahagia, yang telah memaafkanmu.
Malam ini tidak ada lagi senja Sukab. Tahukah, setelah kamu mengirimkan senja itu, keguncangan terjadi di mana-mana, orang-orang di luar sana berburu senja, mata mereka rindu dengan jingga hangat terakhir di ufuk itu. Seruni, Losari, dan dari puncak-puncak gunung, mereka memburuh sebuh senja, mereka pura-pura berharap senja akan kembali. Padahal mereka tahu, berita-berita mengabarkannya, di koran, di tv, youtube, facebook, Twitter, Path, bahkan para selebgram mengabarkan dari lokasi-lokasi pencarian mereka, bahwa senja telah hilang, hilang dicuri lelaki yang tak berhenti senyum di bibir pantai. Mereka mencari senja yang hilang dan harapan mereka agar senja menyembul kembali. Mereka tahu sukab, tapi mereka sebenarnya suka-suka saja, mereka memang suka bermain-main. Seperti permainan Pokemon Go, mereka senang mencari sesuatu yang sebenarnya tidak ada, asik dengan imajinasi mereka sendiri. Mereka senang berkumpul dan membicarakan senja yang hilang, sekan bersedih bersama.
Aku sendiri terduduk di atas pohon kelapa yang sengaja ditebang, mungkin karena sudah tua, atau memang sengaja ditaruh begitu, dibuat bangku, seakan-akan alami, biar yang duduk merasakan kesan romantis, dan betah bermelankolis. Teman-teman sudah tidur saat itu, aku melihat rembulan merah yang begitu indah, bulat penuh, cahayanya berpendar seperti cincin yang mengitari, tapi tidak juga menyatu dengan inti bulan yang merah itu.
Sungguh indah sukab. Tapi yakinlah, aku tak akan memotongnya pada empat sisinya, dengan siluet nyiur pantai, dengan pasir bening yang memantulkan bintik-bintik kilau bak berlian, manik-manik mutiara, kaca prisma, dan seperi katamu, bola mataku saat berkaca-kaca. Tak akan ku ambil semua itu dengan naif dan memasukannya ke dalam amplop lalu mengirimkannya padamu. Aku cukup waras. Cukuplah dengan semua keguncangan di dunia ini Sukab, akibat tindakanmu, sudah terlalu banyak huru-hara di mana-mana, aku tidak akan menambahnya.
Rembulan itu mungkin ketakuatan akan digunting tiba-tiba pada empat sisinya oleh orang-orang bodoh sepertimu Sukab. Ya, sungguh banyak di luar sana, mereka yang memotong sana-sini, mengatakan itu didasarkan kasihnya, dilakukan untuk seorang tercinta, dengan alasan ini-itu. Padahal kita semua tahukan, itu untuk diri mereka sendiri, itu keinginan mereka sendiri, demi kepuasannya, dirinya sendiri. Bulan itu pun telah hilang di balik awan, saat muncul lagi, begutu saja telah berganti dengan warna abu-abu keperakan yang biasa-biasa saja.
Sepertinya bulan itu berganti warna, agar jangan sampai aku menjadi bodoh, berubah pendirian, dan berniat mengirim bulan merah itu padamu. Dan saat itulah langit menjadi begitu gelap, bulan benar-benar pergi, langit benar-benar hitam, dan hal paling indah itu, membuat mataku sekan tak ingin mengatup sedetikpun, sekejap apapun. Bintang-bintang kerlap kerlip begitu indah Sukab. Jika mungkin saat itu, gemintang ini yang kamu kirim dalam amplop, dan bukan senja bodohmu itu, yang baru ku baca setelah sepuluh tahun. Walaupun itu sepuluh atau ribuan atau sejuta tahun sekalipun, jika mampu, aku akan menerimanya Sukab. Menerimanya dengan bahagia, dan akan ku ambil isi surat itu untuk diriku sendiri.
Gemintang tidak seperti senjamu Sukab. Kuakui itu indah, tak kupungkiri kusuka. Tapi gemintang Sukab, jika kamu memotongnya pada empat sisinya, orang-orang tidak akan histeris, orang-orang tidak akan ada yang merasa kehilangan. Tidak akan ada yang berebut, karena di sana, di langit itu, masih ada banyak dan akan cukup untuk dibagi ke semua orang. Ada milyaran di atas sana Sukab. Tidak akan orang berebut bintang kecuali dia cukup serakah untuk mengambil juga bintang orang lain.
Aku suka gemintang Sukab. Sering aku naik ke atap rumah di malam-malam sendirian, membayangkan menarik garis dari satu bintang paling terang ke bintang terang lainnya. Rasi bintang, seperti kata buku ensiklopedia astronomi paman yang kuciduk dari rumahnya semasa kecil. Awalnya yang terlihat di langit, hanya gugus-gugus bintang yang tertulis sesuai buku itu. Taurus, Libra, dan lainnya yang sudah ku lupa namanya, saking sulitnya untuk merangkainya di langit. Dan satu favoritku, karena begitu mudah untuk dirangkai, ditemukan, Scorpio. Tapi gugus bintang semakin menarik, dalam sendiriku, aku bisa membentuk apa saja dengan menggaris sesuka hati, membentuk apapun yang ku suka. Dan begitulah mungkin Sukab, aku menjadi pencinta gemintang, pada saat-saat gelap ia selalu datang, keindahannya setia.
Sukab, malam ini, di atas pohon yang sekan-akan romantis ini. Aku pandangi langit, penuh bintang, dan kutemukan sebuah gugus berbentuk semburat senyum merekah dengan mata berbinar, jika saja bukan karena angin bertiup yang mengoyangkan poniku, aku tahu gugus bintang itu akan berbentuk apa, wajahmu mungkin. Tapi aku lebih suka dengan dua bola mata yang berbinar dengan sebuah senyum dari pada gugus bintang itu menyempurna menjadi sebuah wajah. Entah aku yang sengaja menyusunnya dengan menarik garis-garis atau bintang-bintang itu sendiri yang menentukan dirinya!? Tapi yang terpenting, itu sungguh indah, dan ku suka.
Ada hal yang menarik dari gemintang Sukab. Jaraknya dari bumi kata buku itu, jauh se jauh-jauhnya. Saking jauhnya Sukab, kata buku itu, sebuah bintang yang berkerlip, telah mati ribuan, ratusan ribu, jutaan, bahkan milyaran tahun yang lalu. Betapah jauh jarak cahaya itu sampai, dan malam-malam dipenuhi manik-manik indah itu. Begitulah bintang, dengan kematiannya, cahaya bintang-bintang telah mengindahkan hidup kita, menjadi petunjuk di malam gelap, menjadi surat cinta pada setiap amplop yang mungkin dibuat karena cinta. Berapa kemungkinan usia kita Sukab, 40, 60, 80, 100 mungkin!? Bintang yang mati itu masih akan bisa kita nikmati sampai akhrinya nanti kita mati, bahkan sampai orang terakhir di bumi ini sendiripun yang mati, kerlip bintang itu masih akan setia. Entah apa yang terjadi setelah itu? Tapi untuk apa kita mesti tahu, setidaknya bintang itu selalu ada bersama dalam setiap hidup kita, masing-masing kita.
Itulah mengapa bintang ini tidak akan pernah ku tolak Sukab. Aku labih suka cerita cinta gemintang dari pada senjamu. Senjamu telah hilang dan orang-orang akan terus mencarinya! Suatu saat nanti akan ketemu dan orang-orang akan mulai lagi berebut sebuah senja. Lalu mencoba menguntingnya pada empat sisi, memasukannya ke amplop, mengirimiannya pada kekasih, dan terjadilah huru-hara. Orang-orang akan sibuk lagi mencari sebuah senja, yang sebenarnya sudah tidak ada, mereka tahu sudah dicuri, dan saat ketemu akan diperebutkan lagi.
Sedangkan bintang, bintang yang telah mati, yang mati agar menjadi kerlip kecil di langit pada malam gelap, pada seluruh hidup kita, tidak akan menimbukan masalah apa-apa. Semuanya sudah mendapatkannya dengan adil. Punyaku untukku sendiri, dan orang lain bahagia dengan miliknya sendiri. Bintang punya cara mencintai yang aneh, berkorban dan melakukan perjalan sangat jauh, dengan kecepatan sangat tinggi, hanya untuk berkerlib dilangit malam yang gelap. Walau mati, kerlipnya abadi, setidaknya dalam seluruh hidup kita.
Sukab yang baik hati, esok adalah hari bahagiamu. Sepuluh tahun waktu yang lama, cukup membuatmu menjadi waras kembali. Kamu tidak akan memotong pagi atau apapun terutama senja pada empat sisinya. Moga kamu sadar, bahwa ada bintang-bintang berhamburan yang cukup adil untuk kamu memotongnya pada empat sisi. Hal itu tidak akan menimbulkan kekacauan, dan yang ada hanya kebahagiaan mu dan juga dia, dan aku. Besok adalah hari penikahanmu, aku telah maafkanmu, mengikhlaskanmu, dan senja yang kamu kirimkan, esok saat matahari mulai sampai di ufuk, akan ku kembalikan ke tempat semula, agar semua orang yang penuh harapan palsu itu, tersadar, dan menemukan harapan yang sebenarnya. Akan ku rekatkan kuat-kuat, akan ku jahit agar tak lagi terjadi pemotongan senja selanjutnya.
Aku telah memenuhi janjiku Sukab, aku datang, aku tak terlambat, aku bahagia.
Malam makin larut, Pantai Bara menjadi sangat dingin, tenda merayuku untuk rehat, besok pagi hari penting. Pertama senja itu akan kukembalikan, dan kedua cincin merah ke emasan. Cincin itu dengan cepat ku pungut sebelum menghilang di balik awan, besok akan kukenakan ke jemari istrimu tercinta, yang akan menjadi kekasihmu selamanya. Ingat Sukab, Dia tak perlu senja, dia hanya butuh kamu menjadi kerlib bintangnya, selalu.
Tentu surat ini tidak akan pernah sampai padamu Sukab, aku berjanji, karena tidak ada yang boleh menjadi malang di antara kita, selain menjadi bahagia, sekan-akan abadi walau telah lama tiada.
_Alina_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar