Minggu, 28 Juni 2015

Saat Berkunjung ke Kota Itu

"Pernah terbersit bahwa kita ini anak2 Adam.. Yang merantau meninggalkan ayah purbah kita dan menatap di berbagai tempat.. Kita berhijra dari rumah 'Ayah ibu' kita berpencar mengisi kerak bumi.. Kemudian kita beranak pinak, menjadi keluarga, menjadi suku, bangsa, negara.. Kita menetap, dan jauh dari 'ayah-ibu' kita secara geografis, dan juga masa.. Mereka telah lama tiada.. Tidak ada lagi tempat anak2 safir ini berkumpul, dalam lingdung kasih mereka.. Anak safir perlahan saling melupakan.. Identitas keluarga besar anak Adam mulai runtuh, diganti dengan kesukuan, ras, bahasa, wilaya.. Kita menjadi lupa garis2 besar pohon kekeluagaan anak2 manusia.. Hingga suatu ketika, Tuhan rindu agar manusia mengenal kembali keluarganya.. Maka diutuslah, Nabi-Nabi, mereka berperilaku lembut, sifatnya ramah pada semua, misinya persatuan, anti pada perpecahan, citanya kedamaian, cenderung pada Kaum yang lemah dan tertindas, dan lantang pada kezaliman penguasa.. Para Nabi mengajarkan saling mengasihi, atau mungkin mengingatkan kembali kasih yang tertidur, untuk mengasihi pada sesama.. Mereka yang terbangun, lalu sadar akan darah yang mengalir _tidak dalam pembulu darah_ namun mempertemukan mereka sebagai keluarga.. Mungkin demikianlah hakikat selaturahmi, menyambungkan kembali tali-temali kekeluagaan yang terlupakan.. Saling bertemu dengan sodara, melepas kerinduaan purba dalam kenyataannya _dalam segala perbedaan yang ada, dan dijadikan bahan bakar permusuhan, pertengkaran, perselisihan, yang tak patut_ kita adalah anak2 Adam, makhluk Tuhan sekalian alam (Hanya Tuhan yang boleh senidiri)..
Mungkin kita tak saling mengasihi, karena kita tidak saling ber-selaturahmi.." _anonymous_

Surat untuk Sahabat

"Itu pasti pukulan berat bagimu, tp mungkin kamu masih tersenyum seperti saat kita pertama kali berjumpa,  saat orang berlalu lalang dan kamu mendahului menyapaku yang asing. Saya percaya kamu sekarang baik-baik saja juga kudoakan demikian. Pagi ini kudapati berita laws tentang dukamu di akhir tahun lalu. Aku turut berduka, mendoakanmu semoga tabah. Kita sudah bertahun-tahun tak berjumpa, bertegur sapa juga, namun kesan di pagi itu membuatmu selalu menjadi sahabat kapanpun dan di manapun kamu berada. Sayangnya dan beruntung bagimu, kamu tidak berada dalam media sosial satupun. Kuharap suatu saat kita bisa berjumpa dan senyum sapa ramah khasmu tetap ada. Moga Tuhan menabahkanmu beserta keluarga, moga Tuhan menerima kebaikannya. Sampai bertemu lagi sahabat lama. Moga segera bertemu."

_Surat untuk sahabat lama_

Pesan Lawas

"Aku titipkan doa dan Salam di pintu kasihmu.. Jika kamu berkenan aku akan sangat berbahagia.. Jika tidak.. Moga menjadi azimat bagimu.. Tertulis padanya.. Semoga kamu selalu dalam kesehatan, kebaikan, keberkahan, keselamatan, dalam kasih-sayang_Nya..."

Senin, 08 Juni 2015

Terima kasih permenya

Judulnya, "Terima kasih atas permenya.."
Menyayangi adalah hal biasa. Luar biasa malahan jika, mengapa tidak saling menyangi dan bahkan membenci! Tugas kita adalah saling berbagi permen. Apalah arti sebuah permen, pada akhirnya akan sirna juga.. Menjadi bermakna karena ada cinta padanya.. Rasa manisnya adalah cinta, kasih, sayang.. Seperti kata Arifin, "Berikan permen bagi mereka yang tidak merasakan cinta.".. Siapakah mereka? Yaitu aku, kamu, dia, mereka, dalam "kita".. Maka pemberian itu adalah permen manis.. Katanya, "terima kasih atas permenya..".. Segalanya manis terasa..

Minggu, 07 Juni 2015

Ekoliterasi bagi siapa?

"Pemikiran holistik seperti interdisplinernya pengetahuan, pendidikan multikultural, pandangan dunia yang lebih paripurna,  hingga sampai pada quote seperti "kita adalah semesta" ala 'Ekologi dalam', atau Eksistensialisme Heiddeger, atau lebih dalam lagi oleh para kaum Arifin adalah bentuk usaha pemikiran manusia untuk beranjak dari antroposentrisme banal dan pengkotak-kotakan kemanusiaan (dikotomisasi merupakan akar fasisme, rasisme, takfirisme) menuju makna dalam menjadi manusia.. Tantangannya adalah bisakah manusia keluar dari rasionalitas yang cenderung administratif dan condong pada rasionalitas humanis dan arif sehingga kemanusiaan menjadi terwujud.. Artinya membangun bangun kemanusiaan (termasuk gerakan ekologi dalam) dalam  kerangkeng 'saya'/'aku' tidaklah layak untuk dikatakan telah mencapai pandang yang lebih holistik dan memanusiakan, bahkan bisa dikatakan masih terjebak pada egoisme (yang cenderung dehumanis).. Bukankah "Dan Tuhan menciptakan manusia dengan warna kulit berbeda, bahasa berbeda, suku berbeda, bangsa berbeda, untuk saling mengenal.." Lalu apa gunanya saling mengenal? Apakah untuk saling membenci? Merendahkan yang lain? Atau mengunggulkan diri.. Pengetahuan manusia yang mendalam serta fitra manusia memberikan jawaban bahwa manusia berasal dari akar rumpun yang sama.. Manusia adalah keluarga besar makhluk ciptaan-Nya, bukan hanya sesama manusia bahkan seluruh semesta, tidak ada yang hidup di luar akar rumpun yang sama ini.. Maka manusia yang mengenal dirinya akan mengenal hakikat kesatuan tersebut.. Pada saat itu layaklah manusia berkata "karena kita adalah semesta..".."

Kita adalah semesta adalah pengetahuan yang sakral, sayang saja jika kita memprofankannya.. Kesakralan itu bukan berarti menjadi ekslusif dan dikotomis, indahnya jika kesakralan itu menjadikan manusia menjadi lebih manusia, berdampak pada perilaku yang makin etis dan semoga tercega dari egois, fasisme.. Karena kita adalah semesta maka kita melihat semua menjadi "sama" walaupun pada realitas "berbeda".. "Sama Itulah etika konsekuensi pengetahuan holistik.."..

Catatan:
1. revisi perjalanan menjadi semesta..
2. Tidak mesti menjadi yahudi atau nazi untuk menjadi fasis. Fasisme bahkan hadir dalam tubuh siapa saja..