Selasa, 10 Desember 2013

Learn to Love

"tidak aku menyembunyikan cinta, karena cinta bukan aib yang menghinakanku..
tidak aku memprasangkai cinta, karena cinta pasti tidak seperti dugaan burukku..
tidak aku mempersalahkan cinta, karena cinta tak akan mengecewakan pecinta sejatinya..
tidak aku membenci cinta, sedang karena cinta aku menjadi ada..

ribuan kali aku jatuh kedalam cinta, bejuta kali juga cinta mengangkat, lalu menghiburku..
ribuan kali aku tertipu oleh cinta, berjuta kali juga cinta menunjukan kebenarannya..
ribuan kali cinta menghinakan aku, berjuta kali cinta menyelamatkan aku..
ribuan kali cinta menakut-nakuti aku, namun berjuta-juta kali cinta mandamaikan lalu membahagiakan aku..

jika cinta menyakiti, menipu, memperdaya, menghinakan, mempermalukan, membuat gunda, cemas, ketakuatan.. aku sangsi klo itu cinta.."

Minggu, 08 Desember 2013

TENGGELAM DALAM CAHAYA

"Terus tenggelam dalam, hingga dasar kubangan begitu hitam dan gelap..
Sudah terlalu lama hingga gelap dan aku mulai menyatu..
Ketika cahaya menerpa, silau aku tak terbiasa atau tak mampu sama sekali..
Di hadapannya hancur aku menjadi biji-biji atom, lalu menjadi tiada..

Tak akan ada kegelapan bertahan di hadapan cahaya, karena kegelapan itu menjadi mungkin karena ketiadan cahaya itu sendiri.

Bagiku, hanya seberkas cahaya dari lilin kecil yang mampu untuk aku pandangi.. 

Cukup bagiku, demi tegasnya mana cahaya dan mana diriku..
Cukup hingga, terpesona, terpaku, zahir, dan ekstase karenanya.. 
Cukup untuk menunjukan jalan pulang dan mana jurang, mana gelap, dan mana harapan.. 

Jika tidak ada lagi setitik cahayapun untukku, 
maka putuslah segala kesempatan dan sirna segala harapan.."

ps: besama tengelamnya alarm penyesalan, terbit pula mentari harapan.. selamat pagi.. selamat bersyukur.. selamat berbahagia..

SURAT UNTUK KEKASIH



Aku meminta maaf pada mu (kalian) duhai yang terkasih.. Maafkan aku karena menciptakan angan-angan buruk tentang dirimu, yang kusangkai terluka karena kucintai. Ungkapan cinta yang selalu aku haturkan, entah benakku menangkap engkau tersiksa karenanya. Kutuliskan ini sebagai usahaku mengampuni diri sendiri. Dengan maaf yang moga kamu (kalian) berikan padaku.

Terkasih, aku selalu mencintaimu. Namun aku tidak bermaksud memilikmu, karena kita tidak layak saling mengklaim. Pada kenyataannya kita ini adalah milik_Nya, Dia yang paling berhak atas segala klaim kepemilikan. Aku tidak lagi ingin memandangmu dengan tatapan mengharap dan memaksa. Bagiku kini, kamu aku cintai karena memang untuk dicintai. Siapapun dirimu entah kamu sudah ada yang punya, lajang, janda, gadis, sahabat, turis, bahkan jika kamu orang yang tak perna aku kenal sebelumnya pun bertemu. Aku akan mencoba memandang dengan tatapan cinta. Namun, aku tidak berhak memilikimu. Memiliki berarti menundukan, sedang itu hak Tuhan. Aku hanya percaya bahwa memang aku dan kamu diciptakan untuk saling mencintai.

Jika aku memang mencintai, sekali-kali aku tidak akan menyembunyikan cinta ini. Bahkan, akan aku suarakan dan kabarkan pada penjuru langit dan bumi, bahwa aku mencintaimu. Begitulah awal mengapa aku selalu mengutarakan rasa cintaku padamu (semua). Aku dan kamu adalah manusia, kita diciptakan saling berbeda agar kita bisa saling mengenal. Lalu bagaimana kita bisa saling menganal jika kita tidak saling mencintai. Dengan saling mengenal kita akan sangat sadar bahwa kita diciptakan bukan untuk saling membenci, berperang, menundukkan. Malahan dengan mengenali, kita akan tahu dengan tepat bahwa kita benar-benar berbeda. Dan kasih sayang itu hanya dapat terwujud jika kita berbeda. Maka bagiku kehidupan ini sendiri mengisyaratkan kepada kita untuk saling mencintai, damai, dan berbahagia.

Mungkin kalimat cinta ini tidak biasa untukmu mendengakannya. Kamu terbiasa mendengarnya dari kekasih hatimu, belahan jiwamu. Kamu berharap ini harusnya datang darinya seorang yang akan menjadi jodohmu. Sehingga kamu menjadi bersedih, tidak senang mendengarnya dariku. Begitulah sangkaku sehingga aku meminta maaf padamu yang terkasih.

"Untuk mereka teman seperjalanan pulang, sudah selayaknya ku ungkapakan bahwa 'aku mencintai mu'. sebagai tanda bahwa kalian memang diciptakan bersamaku untuk saling mencintai, mengasihi, menjaga.."

Aku sadar perkataanku terlalu sering seperti bujuk dan rayuan, pun aku paham bila kamu (seluruh manusia) senang dengan perkataan lemah lembut. Namun, sungguh duhai yang terkasih aku mencoba menghilangkan segalah motif buruk dari perkataanku. Agar kamu menjadi senang padaku atau menjadi selalu bersamaku. Tidak! Aku tak bermaksud seperti itu, sungguh aku hanya ingin kamu bahagia. Simpati bahkan empatimu mungkin menjadi bonus-bonus menyenangkan yang aku dapatkan, tapi bukan itu intinya! Aku hanya berharap kamu menjadi bahagia dan bersemangat dengan atau tanpa aku. Rayuaanku telah menjadi pengatahuaanmu, dan kamu menjadi dirimu sendiri. Lalu kamu menjadi merdeka menjalani hidupmu. Bagiku itulah hadia terindah yang mungkin akan aku dapatkan darimu, rasa bahagia dalam hidupmu.

“Sedang bagimu kekasih, rahasia Sang Pengasih. Pada suatu saat yang tepat dan telah 'tetap', kita akan bertemu. Aku mungkin tidak mengenalmu, belum perna bertemu denganmu, atau mungkin kita sudah sangat akrab. Aku akan meminangmu, 'menikahlah denganku tanpa rasa curiga dan rasa takut terhadap masa depan...'

Ps: Potongan cerita yang suatu saat akan aku jadikan sebuah cerpen..... ^_^

KITA SALING MENGENAL

"Aku begitu yakin bahwa siapapun dia (manusia), dimana pun ia (di dunia), bersamaku saat ini, atau leluhurku di masa yang lalu, bahkan anak-cucu-cicitku pada waktu yang akan datang, mereka tidak benar-benar terpisah jauh denganku, hingga membuat antara aku dan mereka menjadi tidak saling mengenal.. Tanpa sadar pun jika disadari, sepanjang hidup ini, mereka (yang dari masa lalu dan masa depan) adalah kehidupan yang akan selalu dijalani bersama tepat saat ini.. kamu tau kenapa? karena, aku adalah anak masa lalu dan aku adalah ayah dari anak masa depan.. 

Aku mencoba mengenal mereka dengan baik, karena mereka menyembunyikan kearifan waktu.. bahwa masa lalu telah menjadi pembelajaran dan masa depan mesti dipersiapkan dengan baik demi hidup yang hakiki.. mereka yang datang dari masa lalu telah aku afirmasi, dan yang akan terjadi di masa depan bukan lagi sebuah kejutan berarti, karena akulah yang mensyaratkannya, mempersiapkannya, aktornya, sebabnya.. Maka mungkin kita belum perna bertemu, namun kita telah akrab dan saling mengenal sejak masa-masa yang silam. Sekarang tugasku mengingat kembali semuanya, lalu mempersiapakan pertemuan kita, saat itu aku akan menyambutmu dengan senyuman bahagiaku.."  

"Mungkin saja kita belum bertemu muka, namun kita telah akrab dan saling mengenal sejak masa-masa silam yang jauh. Maka ketika kita bertemu muka pada suatu masa yang tepat dan 'tetap', aku merasa tidak akan terlalu terkejut."
#Anotherstory

SEDERHANA.

"Mataku terlalu berat, Namun hatiku bahagia.. aku mulai terbang.. klo aku terjatuh.. mohonku senyummu.." #AnotherStory

SEDERHANA

"Oh.. Ini rumit..
 

aku menaruh hati padamu, aku mencintamu..

katanya: mengapa menjadi rumit?

sungguh kasih, aku menginginkanmu..

katanya: Akupun mencintaimu, 

tapi tidak menginginkanmu..
karna dengan begitu aku tidak mencintaimu, tapi menafsuimu..
kita diciptakan memang untuk saling mencintai..
jadi aku tak butuh apa-apa untuk mencintai..
karena cinta itu tak perlu kata tanya? itu merumitkannya.."

#AnotherStory



GADIS SENDU

"Kasih kadang butuh perpanjangan tangan, agar tangan bisa belajar mengasihi. Begitulah manusia yang selalu menjadi perpanjangan tangan_Nya, mendididk manusia belajar kasih, mengasihi." 

Sedih rasanya melihat seorang yang terkasih menangis terseduh, jika mengahadapi hal seperti itu kebanyakan orang akan mengatakan, kenapa kamu menangis? Sudah! jangan menangis? Ada pula yang membentak, jangan menangis! Kamu harusnya kuat! Tidak seharusnya kamu menangis! Dasar cengeng! Dasar manja! Tapi kali ini aku membiarkannya tetap terisak-isak dengan semua sedihnya, semua marahnya, semua gejolak aneh yang membuat dadanya sesak, hingga bola matanya menuangkan air seperti keran yang mengalirkan deras karena lama tertahan.

Ia menangis terseduh, menutup wajahnya dengan ransel yang ada di tangan. Sambil memeluknya erat-erat, mencoba menyembunyikan wajah yang mulai memerah basah. Entah mengapa ia malu dengan wajahnya. Apa yang salah? Apa karena ia sedang menangis. Seolah-olah seseorang akan menghukuminya, memakinya, menghujatnya, mejatuhkan, dan mempersalahkannya karena air matanya yang mengalir semakin deras. Seakan-akan yang sedang terjadi padanya adalah kesalahan terbesar yang ia lakukan.
Semakin dalam ia dengan perasaannya. Udara sekitar pun tetiba berubah, ada aura yang mengharu-birukan setiap hati yang cukup sensitif membaca air muka yang terlalu jujur, terlihat sedih. Setiap wajah mulai sayup-sayup mengarahkan pandangan pada sumber kesedihan itu, air mata itu, gadis yang menangis tersedu-seduh. Sedangkan ia tidak ingin menjadi pusat perhatian.

Apa yang salah dengan menangis? Mengapa harus menganggap temeh tangisan? Seakan-akan tangisan pernah sekali-kali menghukum mereka, membuat mereka menjadi pesakitan. Hingga mereka menjadikan tangisan sebagai tanda kelemahan, tanda ketidakmampuan, anti kebahagian, suatu aib kemunusiaan. Mungkin saja seperti itu, aku hanya berspekulasi! Gadis itu masih tetap manangis, aku sedikitpun tidak mencoba menghentikannya. Bukannya tahan dengan air mata, tapi tangisan juga sebuah bentuk pengungkapan paling sederhana, paling indah, sebuah bahasa tanpa perlu berkata-kata, bahasa univesal dari perasaan. Sedih atau bahagia. Maka ia perlu dicerapi.

Kita tidak benar-benar akan melupakan saat-saat ketika kita menangis dimasa-masa yang lalu. Entah apapun alasannya manusia harusnya pernah mengalirkan air matanya, paling tidak ketika kita melalui masa kanak-kanak. Mengapa? Karena itulah bahasa pertama seorang anak manusia di dunia ini, bahasa yang kita gunakan untuk mengungkapakn sesuatu yang belum kita pahami maksudnya. Sedangkan tubuh membutuhkannya dan tergantung padanya. Ketika itu bahasa manusia cuma satu, sama pada setiap insan, tangisan!

Sekonyong-konyongnya dewasa menjadikan tangisan terlihat begitu menjijikan bagi manusia-manusia yang mulai percaya penuh dengan kemerdekaannya, dengan kemandiriaannya, dengan kekuatannya, tanpa tangisan, mampu menjalini hidup ini lebih baik, sekali lagi tanpa air mata. Air mata menjadi penghalang manusia menuju kebahagiaan, dan kebahagiaan hanya dapat dicapai tanpa tangisan. Begitulah tangisan ditafsirkan menurutku.
Tidak akan aku tanyakan mengapa! Hingga ia sendiri yang mulai berbicara, yang artinya dadanya tidak lagi terlalu sesak untuk mulai menyusun kata-demi-kata. Tangisan itu seperti tangisan seorang bayi yang kelaparan, kedinginan, kesakitan, meminta kepada ibu atau bapaknya apa-apa yang tak mampu untuk diungkapakannya. Dengan sederhana pula mampu dipahami oleh kedua orang tuanya. Begitulah air mata mengambil perannya pada seorang anak manusia. Entah apa yang akan terjadi jika seorang anak tidak dapat mengungkapkan bahkan dengan tangisan. Kematian karena rasa lapar, sakit yang menggrogoti, atau dingin yang menusuk, bisa terjadi kapan saja tanpa pertanda apapun. Tanpa tangisan seorang anak berarti sedang berada dalam kondisi tanpa sebuah perlindungan sama sekali.

Perlindungan adalah hal yang diharapakan seoarang anak manusia dari tangisannya, dan dengan tangisannya ia akan bahagia. Kedua orang tuanya pun akan bahagia karena hati mereka yang penuh kekhawatiran, legah seiring tangisan sang anak yang mulai berhenti. Begitu menenangkan. Entah kapan dimulainya masa dalam kehidupan manusia, tangisan menjadi tabu, anti dari kebahagiaan. Apa karena anak manusia mulai merasa cukup kuat dengan segalah daya dan upayanya, sehingga merasa bisa mengendalikan segala hal di luar dirinya. Entah sejak kapan tangisan dan bahagia menjadi oposisi biner yang benar-benar saling anti. Apa karena seooarang yang bahagia akan merasa paradoks jika ia menangis. Padahal masa-masa hidup kita telah membuktikan bahwa tangisan tidak lahir begitu saja, tercipta dalam diri sebagai sebuah kesia-siaan, atau minimal dikala usia mendewasa.

Gadis itu kini seperti bayi yang meminta perlindungan, anak yang ingin lepas dari kebingungannya, kegalauaannya, ketidakpahamannya, dari ketidakmampuannya, dari kelemahannya yang hanya bisa ia ungkapkan dalam satu bahasa, tangisan! Hanya dengan itu ia bisa mengungkapkannya. Berapapun usianya saat ini, atau berapapun usia mereka yang menangis, orang-orang yang punya hati cukup lembut akan menaruh rasa iba padanya, karena tidak ada bedanya tangisan bayi dengan seorang dewasa. Tujuannya sama simpati, empati, perlindungan.

Tangsiannya pun mulai terhenti, dari bibirnya yang bergetar mulai mengucakan kata-demi-kata, menceritakan sebab-musababnya kenapa ia bersedih. Sudah 3 bulan terakhir ia tidak mendapat kabar dari kedua orang tuanya, tidak ada telepon, sms, menanyakan “bagaimana kabarmu nak?” apalagi “kami menyayangimu?” hatinya mulai menaruh kecurigaan bahwa ia tidak lagi disayangi, tidak lagi diperhatikan. Sempat sesaat ia menghubungi ibunya entah mengapa kata “sudah duluh yah nak, ibu lelah!” Semakin menguatkan sangkaanya. Sekonyong-konyongnya gadis itu menjadi menderita. Tapi itu sebelum ia tahu bahwa ia sedang bahagia.

Di hadapan gadis itu kini sili-berganti petir halilintar menghujam setiap kekhwatirannya.  Ia cemas dan ketakutan, di matanya tak terlihat lagi perhatian, kasih, dan cinta kedua orang tuannya kepadanya. Namun begitulah halilintas bekerja, sekejab menimbulakan ketakutan sekaligus juga malahirkan harapan yang besar. Tanpa gadis itu sadari ia sedang mengandung kebahagiaan yang sebentar lagi kan ia lahirkan. Di balik ketakutannya terselip rasa cinta yang mendalam kepada kedua orang tuannya, di balik kecurigaannya terbersit harapan untuk disayangi.

Ingatkah kamu bagai mana perasaanmu ketika awan mendung, lalu petir menyambar, dan guntur menggelegar ditelinga. Ketakutan lah yang akan menyelimuti kita.Namun lupakah kita, apa yang terjadi setelah itu, air hujan pun turun. Dahaga akibat kekeringan berkepanjangan tersudahi, rasa syukur yang besar terlihat disenyum sumringah kita. Kita menjadi bahagia berpuluh-puluh kali lipat dari sebelumnya. Mereka bahagia setelah melalui ketakutan yang sekejab saja berlalu. Merekah menajdi lebih hidup.

Hujan deras itu membasahi tanah-tanah yang kering, kemudian tanah-tanah itu akan kembali menjadi subur lagi. Kehidupan akan terlahir dari cela-cela tanah yang basah nan subur, memberikan harapan bagi kehidupan yang bergantung padanya. Pun seperti itulah air matanya. Seperti hujan yang membasahi tanah yang kering, air matanya kini membasahi hatinya yang kering. Hatinya yang ia tidak sadari sama seperti orang tuanya. Lupa menaruh kasih sama-sekali kepada kepadanya, si gadis pun sama kepada kedua orang tuanya. Kesibukannya, kegalauaanya, urusan cintanya, pekerjaannya telah mengelabuhinya dari sebentar saja mengucap salam sapah kasih kepada kedua orang tuanya. Yah, aku menyebutnya masa-masa paceklik hati. Masa ketika hati tidak merasak nikmatnya cinta, kasih, dan sayang. Hatinya seperti tanah kering kalau tidak membatu saat itu.

Akhinya dari hatinya tumbuh bersemi benih cinta yang baru. Setelah ia menjadi kecewa, menjadi gunda gulana akibat halilintarnya. Mencuat kebahagian berkali-kali lipat dari harapannya, dari hatinya yang basah akibat air matanya. Si gadis mesti sadar bahwa hatinya selama ini mulai gersang, berada pada musim kering berkepanjangan. Namun hati yang fitrahnya merindu seperti tanah yang harapannya curahan hujan. Lewat air matanya yang deras mengalir, menandakan rindu yang teramat sangat. Si gadis hidup kembali. Ia hanya perlu mengubah cara pandangnya terhadap halilintar itu. Realitanya tetap saja halilintar. Tapi tafsirnya sangat tergantung pada mata apa yang kita gunakan untuk memaknainya.

“Hidup kita ini tak beralas realitas. Kita hanya berdiri di atas defenisi dan penafsiran terhadap realitas.” (Jalaluddin Rakhmat)

Kita tidak benar-benar bisa melihat dengan jernih menggunakan mata ini. Mata ini hanya mempelihatkan apa saja yang ingin ia lihat, bagiku yang kita lakuakan selama ini adalah mengimajinasikan apa-apa yang tercitrakan dari segala hal yang berada di luar kita. Mata ini tidak pernah sepenuhnya melihat sesuatu sebagaimana mestinya, sebagaimana adanya, mata ini lebih sering menipu kita. Karena mata ini tidak benar-benar bekerja sendiri, mata bekerja sebagaimana sangkaan si pemilik mata. Mata melihat sesuai dengan hati pemiliknya. Namun kita sudah terlanjur percaya dengan mata ini, hingga wajarlah jika kita sering dikecewakannya.

***

Dalam hidup kasih kadang tak sampai karena tabir-tabir yang menghalanginya. Kejerniaan hati kadang ternodai oleh nila buruk sangka, membuatnya menjadi pekat. Si gadis yang rindunya terpatri di dada. Terungkap lewat air matanya. Mengalirkan kehidupan dalam hidupnya. Yang perlu ia lakukan hanya menyusun kata-kata sederhana. Tanpa prasangka tidak dibalasnya ungkapan kasihnya. Tanpa takut dan ragu mengirimkan kata “aku sayang mama papa!” apapun yang terjadi selanjutnya. Sang gadis yang terseduh itu tercerhakan oleh kebahagiaannya, oleh air mata kasihnya.

Yang mengenaskan malahan mereka yang kehilangan air matanya. Yang dibutakan matanya. Yang kekeringan hatinya. Yang gersang mulai mengeras, membatu. Mereka seperti bayi tanpa air mata. Tanpa perlindungan, karena mereka telah menjadi individu yang kuat, mandiri tanpa air mata. Kerinduaannya tidak memberikan kesegaran lagi bagi jiwanya. Mereka menjadi kebingungan, kehilangan sesuatu tapi tidak menyadarinya. Dicari-carinya tapi tak kunjung mereka dapati. Bagi mereka petir akan tetap menjadi petir. Sebuah tantangan yang mesti ditaklukkan. Bukan suatu yang berisi harapan.
Mereka adalah aku. Aku yang berharap belum menjadi batu.

(Untuk mengingatkan diri untuk tidak menjadi batu.)

PENGEMIS YANG HINA

Di atas bangku taman yang lapuk ia duduk bersedih dan meratap. Entah apa yang terjadi! Sebelumnya  ia berada di dalam istana yang megah. Ada sofa yang begitu indah, busanya begitu nyaman ketika tubuh disandarkan padanya. Rasa nyaman itu merasuk hingga fikiran, membuat ekstase dan hampir-hampir saja tertidur.  Bahu dan kaki yang letih perlahan bugar kembali. Perutnya yang buncit karena hidangan sang raja mulai mengempis tercerna oleh tubuh. Semuanya begitu nikmat, hingga ia begitu bersyukur akan anugerah yang ia terima pagi itu. Namun tetiba wajahnya menjadi begitu murung, pucat pasih.

Di hadapannya kini hadir sesosok perempuan mudah yang lusuh, hitam, di dahinya mengucur keringat tak tertahankan. Perempuan itu bisa berjalan dengan normal, tubuhnya pun normal, tapi ia terus saja membungkukan tubuhnya, terus menjaga pandangannya pada raja dan tetamunya sambil membersihkan sisa makanan di meja sang raja. Mengapa ia tak berdiri dengan tegak? Mengapa suaranya begitu pelan atau hanya diam? Mengapa dia merendahkan diri dihadapan tamu seakan ada panggung yang membuat posisinya lebih rendah? Ia kini merasa hampa dalam segalah kenyamanan yang hadir di sisinya.

Hatinya menjadi gunda gulana, ia lalu berfikir dan tenggelam dalam benaknya sendiri. Apa yang membuatnya tidak lagi menikmati segalah anugereh itu. Ia lalu meninggalkan istana setelah pamit di hadapan raja, mengundurkan diri, seraya berterima kasih atas jamuaanya. Siapa gerangan perempuan yang menjadikan hatinya tidak bahagia! Atau mengapa perempuan itu membuat hatinya menjadi luluh lantah?

Mulailaj ia merenung! Semakin lama ia menyelami fikiranya, namun ia tidak kunjung mendapati kesalahan di dalamnya. Rasionalitasnya tidak mendeteksis kesalahan sedikitpun. Namun dadanya masih saja sesak, entah apa yang terjadi? Ia mencoba merunutkan apa yang terjadi, dan yang muncul hanya bayangan sosok perempuan itu! Dari mulutnya lalu terucap “budak perempuan”.

Perempuan itu adalah budak sang raja. Apa yang salah dengan perbudakan dalam sebuah sistem kemasyarakatan yang dipimpin oleh seorang raja. Budak malah menjadi penyokong, tiang-tiang yang mejaga keseimbangan sistem ini. Namun ada rasa “aneh” yang muncul dari dadanya. Oh. Seharusnya ini bukan sebuah masalah, ini cukup rasional. Apa masalahnya dengan budak dan perbudakan?

*****

Pernah ia pelisiran ke kota mengendarai kuda. Orang-orang silih berganti berlalu-lalang di hadapanya. Begitulah pasar pada umumnya. Di langit-langit kota terpasang atap-atap  yang megah. Dibawahnya bertengger para pedagang yang berbaris dengan rapi memenuhi jalan setapak kota. Para pelancong satu persatu singah berbelanja atau sekedar melihat barang-barang baru dari negeri-negeri yang jauh. Di lantai-lantai kota banyak anak laki dan perempuan, orang cacat, orang tua, dan lansia. Mereka bebaring, duduk, tunduk merendahkan dirinya seakan merekalah lantai kota. Tangan-tangan mereka terus terbuka menadah setiap keping sen yang mengucur dari jemari tuan-tuan pelancong yang berbaik hati. Atau tidak jarang mendapat caci, maki, dari orang yang tidak senang dengan kehadiran pengemis.

Ia turun dari pelananya, dan duduk di salah satu bangku kosong taman yang tepat menghadap kota dan keramaiaannya. Lalu pemandangan yang tak lazim tertayang dihadapannya. Seorang pengemis mulai menangis merintih kelaparan memohon-mohon pada para pelancong. Rasa iba yang timbul dari rintihan pengemis, mengucurkan dengan cepat sen demi sen dari kantong para pelancong. Ia pun turut iba, hampir-hampir saja ia akan melompat menghampiri pengemis itu. Namun tetiba tertahan ketika pengemis itu membalikkan badan dari para dermawan yang berlalu dengan cepat, dan pengemis itu tersenyum puas.

Senyuman! Sekonyong-konyongnya ia menjadi pitam, marah, kesal, pada pengemis itu. “Sial! Dia pengemis penipu.” gerutu dalam hatinya. Pengemis itu memanfaatkan rasa iba dan empati para pelancong yang derma itu. Tangisan itu hanya kepalsuan belaka, sebuah kamuflase yang dipajang ketika mereka menjalankan perannya sebagai pengemis. Sungguh tega para pengemis itu menipu para penderma. “Dasar penipu munafik!” kesalnya.

*****

Ia pernah belajar di negeri yang jauh, pula pernah singgah dibeberapa negeri yang lain. Diperjanannya ia belajar banyak tentang berbagai hal. Astronomi, pemerintahan, filsafat, bahasa, budaya, alam, dan Tuhan. Kebijaksanaan adalah hal yang melekat padanya dimata orang-orang yang pernah menemuinya. Hingga orang-orang mulai memanggilnya sebagai filsuf. Dan ia mulai senang bila orang-orang memanggilnya seperti itu.

Banyak guru yang ia temui diperjalanannya. Berbagai pengetahuan telah ia kuasai dari guru- gurunya. Namun ada satu pesan yang hampir sama pada setiap gurunya. Seakan-akan telah terpatri dalam setiap pengetahuan bahwa apapun pengetahuan itu, pesan itu harus melekat padanya. “Setiap pengetahuan mestinya bermuara pada tanggung jawab pada orang lain.” Guru-guru berpesan “kebahagian hakiki adalah kebahagian yang muncul dengan menaruh kebahagian pada diri orang lain.” Kemaslahatan manusia menjadi tujuan pengetahuan. Entah apapun atau dari mana ia berasal,  kepercayaannya, agama, ideologi, mashab, asal daerah, dari manapun ia.  Pengetahuan yang hakiki ketika ia hadir dalam diri manusia akan mengantarkannya pada kebahagian, kebahagiaan bersama manusia lain, kebahagiaan universal.

*****

Oh tidak! Sekarang ia tahu mengapa kesedihan memenuhi hatinya pada saat ia berada dalam  istana raja yang nyaman dengan sofa mewah nan empuk. Saat ia duduk bersandar santai merehatkan tubuhnya. Yang kemudian merasa tegang dan tidak nyaman sama sekali setelah perempuan budak itu tetiba hadir dihadapannya.  Ia melihat air muka yang tidak bahagia dari budak itu, dan kemudian membebaninya. Yang ia anggap rasional menjadi sangat paradoks terlalu kotradiktif dan itu menyakiti hati dan fikirannya. Ia menghadapi kerancuaan dalam memandang dunianya. Mengapa perbudakan bisa terlahir dalam bentuk baru, manusia menjadi pelayan bagi manusia lainnya. Apakah itu wajar saja? Bahwa ada manusia yang terlahir lebih rendah dibanding manusia yang lain. Apakah Tuhan menakdirkan hal seperti itu? Oh sungguh tidak seperti itu. Pengetahuaan yang ia dapatkan dari guru-guru membuktikan pada akalnya bahwa Tuhan itu harusnya maha adil.

Ia tahu “bahwa melayani adalah seni pekerjaan Tuhan”. Namun jiwanya menolak perbudakan yang ia temui di hadapannya. Melayani bukan berarti mencerabut kemausiaan sesorang dengan merendahkan manusia yang lain. Keangkuhannyalah yang telah jauh menyesatkan dan membutakan matanya pada sesuatu yang terlalu nyata. Ia yang merasa telah sampai pada kebijaksanaan hanya mampu berfikir, merenung, berdiskusi di ruang-ruang nyaman tentang pengetahuan. Luar biasanya ia sering memperbincangkan tentang alam, tentang manusia, akhlak, etika, tentang Tuhan, namun itu hanya sebuah perbincangan belaka. Ia terlalu nyaman berlehai-lehai dalam istana raja-raja yang megah. Hingga ia tak merasakan apa yang ia selalu perbincangkan. Tentang keadilan, tentang cinta kasih, tentang manusia, tanggung jawab. Tepat ketika ketidak-adilan itu mewujud dalam bentuk perempuan budak pelayan, dan raja-raja yang memberi kenyamanan, semua menjadi kabur.

Kesombongannya atas kebijaksanaan dan gelar filsuf yang ia punya. Membakar hangus pengetahuaanya hingga menjadi setumpukan arang hitam yang tak berarti apa-apa. Namun arang itu itu kemudian tersirami hujan, menjadi basah, dan kembali menyatu dengan tanah, hingga tanah itu menjadi tanah yang subur. Tanah yang subur itu lalu menumbuhkan setiap bibit baru yang akan menajdi sumber oksigen, yang akan memberi kehidupan baru. Melegahkan nafasnya yang mulai sesak kekurangan oksigen.

Arang itu adalah pengetahuan yang dibakar api keangkuhan dan kesombongan! Air hujan itu adalah curahan pencerahan dari hati yang hancur lebur, yang tidak menerima perbudakan! Dan bibit-bibit itu adalah harapanya yang tumbuh setelah kehancuran! Harapan akan penyesalannya yang teramat dalam. Mencari pengetahuan untuk bisa berlehai-lehai di istana raja. Dan menjadikan budak sebagai objek perbincangan atas nama kebijaksanaan. Dan lalu menyokong perbudakan secara “tidak sadar”, sungguh paradoks! Namun paradoks itulah awal dari sebuah pencerahan, ia hanya berharap belum terlambat lalu kehabisan udara dan oksigen, dan tidak bisa berbuat sesuatu.

Oksigen mulai memenuhi paru-parunya. Dadanya yang tadinya sesak kekurangan udara kini terpenuhi hingga legah. Oksigen itu adalah kehidupanya yang baru, yang memeberikan waktu untuk hidup sedikit lebih lama. Usia yang akan ia gunakan mencari ilmu lebih banyak lagi dan membersihakan paradoks-parodoks yang memenuhi dirinya. Pengetahuan yang akan ia cari adalah penegetahuan suci, jauh melampaui renungan filosofis, ilmu logika, pengetahuan belaka. Pengetahuan yang tidak kehilangan esensinya. Penegetahuan yang berpihak pada budak dan menentang tiran. Yang menumbuhkan kebahagiaan dihati orang lain. Ia sekarang bertranformasi bersama penegetahuaannya, akalnya, dan lakunya menjadi oksigen bagi manusia lainya. Memberi kelegaan bagi mereka yang selama ini sesak dalam ketidakadilan, ketertindasan, sedih, dan hancur hatinya. Seperti yang terjadi pada budak perempuan itu.

Ia lalu teringat pesan-pesan dari guru-guru yang pernah membagi ilmu padanya. Yang semuanya mengajarkan tentang satu hal, bahwa semestinya pengetahuan itu untuk kebahagian umat manusia. Untuk itu, ilmu pengetahuan harusnya tidak terpisah dari praktek keseharian. Bahkan senyuman sekalipun, harusnya dibagi kepada semua orang. Kebersiahan pun seperti itu, karena bersih bukan sekedar masalah individu tapi bersih juga menyangkut masalah sosial dan milik bersama. Pengetahuan dengan pasti mengkonsekuensikannya seperti itu. Maka kepada siapapun, kita mestinya memberikan senyum terbaik dan tertulus, hingga konsep budak lenyap dari kehidupan kita. Tidak ada lagi yang asing. Perempuan budak itu akan duduk bersama kita, memakan hidangan yang sama. Piring-piring kotor itu akan kita bersihkan bersama. Kursi-kursi megah itu digantiakan karpet yang membuat semua orang duduk sama rata. Sang raja akan duduk bersama yang lain.

*****

Masih saja ia duduk terdiam di bangku rapuh, ketika orang-orang telah melangkahkan jauh kaki-kakinya menuju rumah mereka masing-masing kala senja tiba. Di hadapannya tepat malam mengulurkan tangan-tanganya dan menyambutnya dengan jamuan yang menyenangkan hati untuk beristirahat. Pasar menjadi begitu sepi, angin sepoi-sepoi mendayu-dayukan nyanyian pengantar tidur. Tepat di belakangnya taman kota yang mulai berdebuh tak terurus menemaninya menanti saat yang tidak kunjung datang. Tapi ia masih tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya, entah apa yang ia tungguh! Dia hanya membiarkan mereka pergi sambil melayangkan senyum tipis kepada mereka yang berlalu.

Pengemis itu membuatnya kembali merenungkan “senyuman” itu. Apa yang sebelumnya ia anggap salah berabalik membuatnya meraguh dengan ketetapan hatinya. Ia yang pitam, marah, dan membenci, kini mulai merasakan rasa bersalah dengan sikap reaksionernya yang arogan. Apa masalahnya dengan “senyuman” itu? Bukankah mereka yang hidup kesulitan akan merasa bahagia jika seorang manusia lain menaruh kasih dan perhatian padanya. Bukankah fitrah manusia bahwa mereka akan bahagia jika ia menadapat bantuan. Dan bukannya fitrah manusia untuk selalu mau melakukan kebaikan.

Pengemis itu! Apakah ia terlahir memang sudah menjadi pengemis yang utuh sejak lahirnya. Dan juga raja itu! Apakah sudah takdirnya untuk hidup dalam kemewahan, di istana-istana megah dengan sofa empuknya. Apakah memang seperti itu adanya? Maka ia ingat kembali segala pembelajaran yang dulu ia dapatkan dari guru-gurunya.  Dibaliknya pandangan dari “senyuman” itu ke arah dirinya sendiri. Menyelam ke kedalam hatinya mengecek kembali apa yang terjadi. Di dalam hatinya ia melihat sesosok hamba yang mulai merintih memohon kepada Tuhannya, berdoa dalam kekhusuannya. Meminta dengan segala kerendahan hatinya atas segalah kebutuhannya yang mendesak. Dan dengan segerah Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang memenuhi hajad-hajad si hamba. Seperti pengemis yang dilihatnya sesaat yang lalu, persis dengan itu ia pun tersenyum puas.

Setelah ia mendapatkan hajadnya. Ia yang bahagia lalu membalikkan badan dan pergi meninggalkan Tuhannya. Di masyarakanya ia menjadi manusia kaya raya yang zalim. Harta yang melimpah membautnya hidup dengan kemewahan. Ia lupa bersedekah, berzakat,  menyantuni fakir miskin dan orang yang kesusahan hidupnya, apa lagi memerdekakan budak. Sosok yang ia lihat dihatinya membuatnya begitu marah, hingga semakin jelas wajahnya tersingkapkan. Wajah itu sangat akrab dengannya, ia tak mungkin melupakan wajah itu, karena wajah itu adalah dirinya sendiri.

Pada akhirnya ia menjadi sangat malu. Kini ia tahu dengan pasti alasan mengapa ia marah pada pengemis itu. Ia seperti melihat dirinya sendiri di hadapan Tuhan menjadi seoarang pengemis. Ya manusia sudah selayaknya mengemis di hadapan_Nya. Namun  setelah terpenuhinya hajad-hajadnya, ia lalu meninggalkan hak Tuhan untuk membelanjakan harta pada perniagaan yang mensejahterakan orang lain. Yang ia benci sebenarnya adalah dirinya! Pengemis itu bagaikan cermin yang memantulkan refleksi dirinya. Kini dialah orang yang hina, dialah pengemis yang hina. Sedangkan sang pengemis sudah seharusnya disantuni, dan menaruh rasa iba padanya. Bukankah didebagian harta seseorang ada hak orang lain.

Dia merasa sangat hina dihadapan pengemis itu, dan dihadapan Tuhan yang maha baik. Sama seperti budak perempuan itu. Manusialah yang menciptakan tatanan seperti itu. Dan Tuhan tentu telah menetapakan keadilannya. “Oh malangnya! Aku pengemis penipu.” sesal dalam hatinya. Pengemis yang memanfaatkan kebaikan, kasih, sayang, dan cinta Tuhan. Tangisan itu hanya kepalsuan belaka, sebuah kamuflase yang dipajang ketika menjalankan perannya sebagai pengemis di hadapan Sang Maha Pengasih. Sungguh tega pengemis ini menipu Sang Maha Penderma. “Akulah penipu yang munafik!”

*****

EPILOG

Bukankah seperti itu yang diajarkan dan ditunjukan seorang penggembala domba dari jazirah arab. Yang kemudian menjadi pemimpin kaum miskin. Yang menghilangkan perbudakan dari dunia. Yang ilmunya seluas langit dan bumi, namun selalu berbicara dengan sederhana pada ummatnya, masyarakatnya, musuhnya, pecintanya. Perilakunya menggambarkan pengetahuaanya yang seluas samudera. Beliau adalah pimpinan negaranya, jendral para tentaranya, imam bagi ummatnya, suami dari istrinya, bapak dari anak-anaknya. Beliau menjalankan perannya tanpa paradoks, non kontradiksi. Pekerjaannya menaruh rasa bahagia kepada manusia-manusia yang kehilangan arah. Tugas baginda membawa kabar kembira bagi meraka yang hancur hatinya. Bahwa ia telah ditunjuk karena cahaya pengetahuan yang merupakan jiwanya yang suci. Dialah guru para guru, dialah Ahmad sang paraqlita (penerang).

Allahumma salli ala Muhammad wa Ali Muhammad...

Shalom... salam... santi... damai..

ADAKAH BADUT TERTIPU

Sang badut memainkan permainan,  merayu pandang acuh.
Sang badut merekah senyum merona, menanti simpati  urung datang.
Sang badut bahagia selalu,  menipu tatap tak peduli.
Sang badut terus menari dan merayu, memaksa cinta dari anak yang takut.

Sang badut lalu menangis,  memohon perhatian dan simpat.
Sang badut lalu mengemis, demi sen empati  tuan.
Sang badut lalu melucu, mengemis bahagia  penoton budiman.
Sang badut selalu sembunyi, dari rasa malu di balik topeng.

Maka adakah yang mengenal sang badut dengan baik?
Sedang ia tak menganal dirinya sendiri! Atau itu hanya dugaan belaka, karana badutlah yang mengenal dirinya seutuhnya.
Badut hanyalah badut, namun topengnya menunjukan kejujuran; Bahwa wajah yang ia tunjukan adalah murni kepalsuan.
Maka untuk apakah badut besedih, pun wajah aslinya tertutup dengan rapih oleh senyum merah merona.



by: google.com
by: google.com

KASIH

Tak perlu kau mempertanyakan..
Aku kebingungan menjawabnya..
Ini terlalu sederhana..
Aku takut malah merumitkanya..

Apa kau tidak seperti itu..
Apa semua tidak jelas..
Sehingga mungkin kau ragu..
Atau pahaman kita yang berbeda sejak awal..

Tidak mengapa karena kau bukan pihak yang bersalah..
Pun jika salah tidak mengapa..
Ini terlalu sederhana..
Sudah ku bilang! Aku ragu malah merumitkanya..

KISAH AIR DAN MADU


By: hajirndud

“Sudah lama terakhir kali ketika bola matanya meneteskan harapan & kerinduan. Lama ketika ketakutan menyelubungi pikirnya. Lama mengira hatinya telah ‘membatu’.”

Peperangan selesai saat masyarakat saling bahu-membahu mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh. Dipimpin oleh seorang panglima perang dari golongan petani sederhana. Mereka mengusir lawan-lawan dengan gagah berani hanya dengan menggunakan alat sederhana, pun dengan jumlah mereka yang tak seberapa. Singkat cerita Sang Panglima akhirnya diangkat menjadi Raja oleh rakyatnya karena kebijaksanaan dalam memimpin. Kemudian negeri ini menjadi negeri yang makmur, sejahtera, dan damai.

Raja yang bijak suatu ketika melakukan percobaan pada rakyatnya. Dititahkan agar setiap orang, pada suatu malam yang telah di tentukan, membawa sesendok madu untuk di tuangkan pada sebuah bejana yang telah disediakan di puncak bukit di tengah kota. Seluruh warga sepakat dan memahami benar perintah tersebut dan menyatakan kesediaan mereka untuk melaksanakannya sebagai kewajiban yang sudah selayaknya. Mereka tahu benar tentang hak sang raja tersebut, yang untuk kali pertama meminta sesuatu imbalan pada rakyatnya.
Setan datang dari segala arah, mengendap-mengendap, mengincar setiap celah di hati manusia yang lalai. Di hati seorang yang dibelokkan membuncah rasa ingin mengelak, mencari pembenaran atas suara ‘hatinya’ yang gelisah, “Aku akan membawa sesendok penuh, tetapi bukan madu. Aku akan membawa air. Kegelapan malam akan melindungi dari pandangan mata seseorang. Sesendok air tidak akan memengaruhi bejana yang kelak akan diisi madu oleh seluruh warga kota.”

Hingga tiba saat yang telah ditetapkan. Bejana telah terisi penuh. Titah raja telah ditunaikan tepat pada waktunya. Namun apa yang terjadi kemudian bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh sang raja. Rupanya hampir seluruh rakyat lalai hatinya dan kemudian berhasil dibimbangkan oleh setan tentang hak sang raja. Bejana itu sekarang penuh, bukan  dengan madu di dalamnya, tapi dengan air yang hampir-hampir sangat jernih dengan sisa-sisa madu yang mulai larut.
Ps: (versi lentera hati – ust.Quraish Shihab – 2007)

Setelah itu raja mengumumkan kepada rakyatnya. Raja mengumumkan kepada rakyatnya seperti apa yang diharapkan rakyatnya yang lalai. Raja mengumumkan bahwa titahnya telah terpenuhi, rasa terima kasih kepada rakyat karena telah mengumpulkan madu sesuai dikabarkan ke pelosok negeri. Sang raja merasa ia melakukan kebajikan dengan sikap itu. Sang raja takut rakyatnya menjadi kecewa dengan dirinya sendiri karena sudah lalai dengan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Hingga malaikat dalam diri raja  pun mengamininya, katanya, “Sudah benar apa yang kau lakukan, jangan tunjukan kebenarannya. Biarlah rakyatmu merasa benar, damai, tenang, tanpa rasa bersalah, maka negerimu akan damai.” Berbohonglah demi kebaikan bersama, simpul hatinya.

Dengan rasa lega bercampur tatapan terkejut, mereka yang tak menyangka akan hasil yang diumumkan raja semakin kuat hatinya terhadap apa yang coba ia benarkan, bahwa sesendok air tidak akan berpengaruh banyak pada sebejana madu. Ia semakin yakin, yakin bahwa dirinya tidak salah mengambil keputusan itu. yang berarti semua orang yang melakukan hal sama pun semakin kuat dengan pembenarannya, pilihan yang sangat ‘benar’ bagi hatinya sekaligus juga sangat ‘salah’ karena mereka akhirnya mendustakan hak raja mereka, hak yang sudah seharusnya diberikan karena itulah kebenaran yang mereka jungkir balikkan.

Berjalannya waktu negeri itu menampakkan ‘ketenangan’, tapi ada yang menjanggal dari citra negeri itu. Suatu ketika sang raja berkeliling kota. Ditemuinya seorang yang tak pernah ia jumpai. Entah dari negeri mana?  Yang jelas dia pasti seorang pelancong miskin dengan pakaian lusu. Sekonyong-konyongnya ia berteriak di hadapan raja; “Raja munafik! Hentikan kebajikanmu itu! Kau seorang raja yang harusnya meneriakkan kesalahan atas perilaku rakyatmu, kau bukan malaikat, kau bukan prajurit, bukan pahlawan, bukan nabi, kau hanya seorang penipu, pembohong, kau seorang penjilat.”.

Sang raja terkejut mempertanyakan maksud dari orang asing tersebut. Mencoba membalas kalimat itu dengan bibir bergetar dan ragu. Belum juga sempat mengedip, sosok itu menghilang, seakan tak pernah ada. Lenyap bak kilat menyambar meninggalkan gemuruh yang terngiang-ngiang bergemah membelah keponggahan batu yang kuat di dalam dadanya. Masih juga raja mencoba menafsir kata demi kata dari si asing. Namun sudah hancur, luluh lantah hati sang raja. Ia hanya lagi dan lagi menenangkan dirinya, merasionalkan segalanya, lalu pembenaran atas dirinya,  “Itu suara setan! Ya setan yang coba mongombang-ambingkan bahteraku. Setan harus dijauhi, dia menyesatkan.”

Di lain waktu, sampailah sebuah risalah di negeri itu. yang tidak pernah sama sekali diketahui sang raja. Dibawa oleh pedagang-pedagang dari negeri yang jauh. Kira-kira bunyinya, “Siapa yang dizalimi dirinya oleh orang lain, itu karena ia membiarkannya.” Ungkapan yang sangat runut. Akal akan menerima dengan penuh dan nir penyangkalan. Yah tentu saja, kezaliman hanya terjadi jika ada yang menzalimi dan ada yang dizalimi, pun orang yang dizalimi akan tetap terzalimi jika ia tidak mencoba menjaga dirinya dari kezaliman orang lain. Toh raja tahu betul bahwa kezaliman adalah anti dari kemanusiaan, karena fitrah manusia harusnya membawa kita pada kedamaian, saling berbagi, dan keadilan. Dan sekali lagi kezaliman adalah anti dari kemanusiaan.

Di negeri yang damai itu, ternyata tidak lebih dari perumpamaan semangka yang indah tampakannya namun menyimpan kebusukan di dalammnya. Raja kini mendapati rakyatnya saling berpecah. Apa penyebabnya? Tanya raja bingung. Seorang rakyatnya menjelaskan ‘Si A memiliki janji hutang pada si B tapi janji itu tak kunjung ditepati. Si A berontak menagih janji,  dengan ramah pada awalnya namun Si B tak kunjung menepatinya. Lama waktu berselang si A berada dalam kondisi terjepit. Ia hampiri B menagih janji sekali lagi (untuk kesekian kali). Sial! Tapi B belum siap, ia mengira A telah melupakannya atau setidaknya masih bisa ditunda. Namun terlambat untuknya, ia tewas di tangan A yang pitam, kalap, pesakitan, buta hati karena deritanya.”.

Persidangan lalu dia adakan untuk menentukan nasib A. Sidang yang ‘adil’ memvonis mati si A tanpa pembelaan, tanpa banding, tanpa memohon, ia menerima penuh kesalahannya. Mati meninggalkan duri, duka, dan luka bagi negeri damai. Membuka tabir dari citra negeri yang terlihat baik-baik saja.

Waktu terus membanting dirinya, kini telah lama semenjak kematian itu bersuar di negeri sang raja. Namun sekarang berbeda, malam-malam sang raja tak pernha sama lagi. Temannya hanya mimpi buruk, penyesalan, ia merasa dibuntuti di sebuah lorong gelap tanpa seorang yang berlalu-lalang atau menemani. Raja menyesal tapi tak tahu apa yang disesalinya. Ia bingung, menyesal, kalah, tanpa tahu apa sebabnya.

Hingga pada siang bolong yang silau dengan matanya masih sayup-sayup membuka. Dua sosok yang akrab di masa-masa yang lalu muncul di hadapanya. Satu malaikat yang selalu mendukungnya, dan satu setan yang membencinya, menolaknya, memakinya. Dan melempar semua ingatan, menghantam kepalanya yang kebingungan tentang awal kisah ini bermula,  dengan sentakan yang mengerikan, “Kisah sesendok madu”. Dan risalah itu, ya risalah yang belum pernah terdengar sebelumnya, risalah dari negeri yang jauh di ufuk harapannya. Sekonyong-konyongnya ia pecah ditemani petir dan guntur. Dipacuhnya kuda dengan pelana yang mencekiknya. Di hati dan pikirannya terhubung segala sesuatu, segala hal yang coba ia sembunyikan, yang coba tipu dirinya sendiri, tapi kali ini tidak ada kalimat yang mampu membenarkan, sama sekali tidak ada. Sekonyong-konyongnya semua mejadi jelas, bahwa madu harus tetap menjadi madu, karena air dan madu masing-masing punya kesempurnaannya sendiri. Dikarenakan madu yang berubah menjadi air, maka menipu, membunuh, merampas, curang, berharap, menindas yang lemah, memperkosa, despostis, korup, semua menjadi benar adanya. Ya! Akan menjadi benar, karena air bagaimanapun akan menjadi madu di hadapan sang raja. Bahkan jika madu itu berubah menjadi bangkai, darah, daging, tinja, tanah hitam, air selokan, bagi sang raja itu adalah madu. Yang ada hanya penyesalan, dari bibirnya yang kering terdengar, “Aku telah membunuh... Aku seorang pembunuh... Aku raja yang zalim....”


Epilog.
Sang raja melanjutkan hidup dengan damai. Rakyatnya damai. Atas nama rakyatnya, Raja tetap menjadi pengikut malaikat. Ia menyimpan dalam-dalam bisikan setan itu. Dan risalah jauh itu ditulis hanya dalam hatinya. Ia terlalu sungkan pada rakyatnya. Ia terlanjur sayang. Hingga ia mati dengan menyimpan rahasia yang rapat tak bercelah di dalam kerangkeng limbo.

"karena cinta harus diungkapakan maka ku suarakan ke penjura negeri, lautan dan dunia. 'aku mencintai mu'. lalu sekonyong-konyongnya matanya menumpahkan kasih."

YANG (SEDANG) BERSIAP..

Masa persiapan menjadi saat-saat yang menyenangkan  setiap kali ia akan melakukan perjalanan. Seperti ketika ia akan berangkat pulang kampung, jalan-jalan, liburan, piknik, naik gunung, hunting foto, atau ke kota lain. Ya, senang rasanya ketika akan melakukan perjalanan dan mempersiapkan segala bekal baik untuk diri maupun untuk orang terkasih, teman seperjalanan. Lalu ia tersadar bahwa seluruh hidup ini adalah sebuah bagian perjalanan.

Semalam mimpi memberi ia pertanda yang tidak asing tafsirnya. Pernah ia temukan tafsirnya pada sebuah buku. Penulis buku itu dalam sebuah kisah dianugerahi kemampuan menafsir mimpi setelah menolak berzina dengan isteri sodagar kaya raya yang cantik jelita. Sangat mirip dengan kisah Nabi Harun as. yang mampu menafsir mimpi raja dalam kitab-kitab suci. Nama beliau adalah ibnu sirin yang sangat menginspirasi kaum muda untuk menjaga kesucian diri.

Dalam buku mimpi itu ditafsirkannya bahwa “seorang laki-laki dari keluarga terkasih pemimpi akan melakukan perjalanan”. perjalanan ini adalah perjalanan sebenarnya setelah beristirahat, bersenda-gurau, berbagi kasih-sayang, mengungkapkan cinta di dunia dalam beberapa saat yang singkat. Perjalanan selanjutnya ini adalah perjalanan abadi. Perjalanan ini adalah perjalanan yang dinanti oleh setiap jiwa yang rindu untuk pulang ke kampung halamannya, seperti kata Rumi dalam puisi suling bambunya.

 “Kisah Lagu Seruling”

Dengar alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan

Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku

Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu

Ya! Seseorang yang jiwanya begitu merindu akan segera berpulang ke “Rumpun Bambunya”, seperti itu kira-kira tafsir dari mimpi itu. Baginya ini bukan mimpi yang buruk, akal menolaknya. Karena mana mungkin ada seorang perantau yang benar-benar lupa untuk pulang. Bahkan seorang yang sibuk sekalipun di rantaunya, yang menikah, beranak pinak, hidup layak, punya rumah bak istana, sesekali dalam hidupnya tak terbersit dipikiranya untuk pulang ke kampung halamannya. Ya! Kerinduan itulah yang tidak bisa ditolak. Jiwa dan kampung halamannya.

Mimpi itu mengantarkan ia pada masa-masa silam yang begitu kelam pada sudut pandangnya saat itu, dan sekaligus pada masa-masa yang menyenangkan. Menghadapkan ia pada serang pemuda yang bersedih, pesimis, yang di bibirnya selalu nampak setengah lengkungan ke bawah, karena segala hal yang “menakutkan” akan tepat berada di hadapannya di masa depan, menghantui hari-harinya. Hidup menjadi neraka bahkan sebelum ia melihat neraka sebenarnya, masa depan menjadi teroris yang sekonyong-konyong mengantarkan padanya bom terbesar yang mungkin akan ditemuinya. Ia menyebutnya “kematian”.  

Namun entah banyak hal yang akhir-akhir ini menjadi sangat berubah. Kini sudut pandangnya berputar 180 derajat. Ia melihat masa depan bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Ia sekarang bahagia, optimis, dan dari bibirnya ada cahaya bulan sabit yang indah. Setelah ia menyadari bahwa semua jiwa memang sudah harus berpulang ke Kampung abadinya. Matanya kini selalu menatap ke ufuk kerinduannya. Jiwanya saat ini lebih siap menerima tafsir mimpi itu.

Kini yang harus ia lakukan adalah mempersiapkan sebuah perjalan. Ia sadar harus mengumpulkan beberapa ransum yang akan dijadikan bekal yang pas untuk membawanya dalam perjalan panjang ini. Jika ia tidak bisa membawa carier 90lt mungkin 35lt sudah cukup. Yang terpenting ia tidak melupakan bahkan menganggap enteng persiapan itu hingga melalaikannya. Bukankah ia senang dengan pesiapan-persiapan di setiap awal perjalanannya!?

Akhirnya ia yakin kalau bukan ia yang dahulu memulai perjalanannya. Bisa juga orang yang ia kasihi, sayangi, cintai lebih dahulu meninggalkannya. Baik itu laki-laki ataupun perempuan. Bukankah semua manusia berasal dari Rumpun Bambu yang sama? Kampung halaman yang sama? Maka manusia adalah sebuah keluarga besar yang sedang bersiap-siap untuk pulang Kampung. Ada yang lebih dahulu, ada juga yang kemudian, dan terkadang beramai-ramai. Kendaraannya pun bereda-beda, ada yang naik kereta super jet, bus jet, bus tua, concorde, kereta ekonomi, kuda, keledai, sapi, motor, kambing, elang, kura-kura, mobil, sepeda, merpati, dan ada yang mengendari buraq. Semua menuju tempat yang sama.

Saat ini yang bisa ia lakukan adalah menunggu giliran. Yang bisa ia lakukan adalah bersiap-siap. Yang bisa ia lakukan adalah berdoa. Ia bahagia karena ia tahu dengan pasti bahwa satu-satunya tempat kembali adalah rumahnya, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyang. Ke mana lagi manusia dapat berpulang? Ke mana lagi “Kampung” yang lain? Jawabnya pasti tidak ada, dan itu adalah neraka terburuk.

Walapun belum terjadi ia akan mempersiapkan diri untuk mendengar seorang yang ia kasihi mendapat undangan dari langit. Ia akan bersiap sebaik mungkin walau dengan air mata yang membanjiri wajahnya sebagai tanda cintanya. Ia akan bersiap!


PS:  "Bagaimana mungkin dia yang merasa lemah karena memang tidak punya daya, sedangkan "tangannya" terus-menerus menadah curahan kasih dan sayang, mampu untuk mengangkat kepalanya yang merunduk dan bersimpuh. Ia yang Modalnya hanya harapan, maka ia meneteskan untaian harapan."

(Awal minggu, pada saat bulan penuh. Di dalam kotak tempatku berteman demam.)

SAKIT DAN BAHAGIA!

Tuhan memperlihatkan padamu halilintar untuk menimbulakan ketakutan dan harapan..... (al-Ra'd 12)


Tidak ada yang benar-benar senang dengan sakit, atau lebih tepatnya adakah seseorang yang ingin sakit? Senang menjadi pesakitan! Tentu tidak jawabnya. Sakit menjadi momok dalam kehidupan manusia, rasa yang asing, aneh, dan berbeda dari ketika sehat. Tanpa penjelasan, tanpa dipersiapkan, diduga, sekonyong-konyong bisa menjadi benalu yang menyerap energi si pesakitan, membuatnya lemah tak berdaya. Tubuh perkasa, kerempeng, tirus, gemuk, sixpack, langsing ketika angin ini menghampiri tubuhnya tidak ada seorang yang bisa menolak. Perbedaannya hanya pada cepat atau lambatnya ia dapat bertahan darinya, meminjam bahasa seorang teman dokter “tergantung imunitasnya”.

Sudah 20 jam ia hanya berselimut saja, bukan hanya selimut, ‘sleeping bags’ yang menjadi perlengkapan tidur pendaki untuk menghangatkan diri dari ganasnya suhu dingin di puncak-puncak tertinggi di dunia, membungkusnya rapat-rapat bersama selimut yang melilitnya dan jaket hangat yang ia kenakan. Padahal suhu di kota saat itu tidak seperti di atas puncak pegunungan. Kota itu berada di tepian pantai. Dan seperti biasa, kota di tepi pantai selalu punya suhu yang hangat atau lebih sering panas. Sekitar 27 derajat celsius saat itu.
Peluh terus mengucur deras dari setiap celah pori-pori tubuhnya. Namun selama berjam-jam ia hanya menetap dalam rutan selimut tak bercelah yang membuat badannya mendidih. Tapi yang ia rasakan hanya kedinginginan tak tertahankan atau mungkin indra perasanya sedang tidak berfungsi dengan baik, sehingga ia masih saja mengigil dalam jaket, berselimut dalam selimut seperti pisang molen. Ia masih saja mengigil, bukan karena kedinginan tapi karena rasa yang ‘asing’ yang menyelubungi dirinya.

Ia menjadi berhalusinasi, kenangan masa kecilnya tumpah ruah di hadapannya. Kenangan yang hampir ia lupakan. Kenangan ketika berada pada kondisi yang sama di masa-masa kecilnya dulu, di sebuah gubuk berdindingkan rotan yang dianyam menjadi seperti tripleks. Ketika malam datang dan angin berhembus, dari sela-sela anyaman yang tidak terlalu rapat akan berhembus angin sepoi-sepoi nan sejuk atau kadang sangat dingin, karena rumah tua itu berada di daerah perbukitan yang rindang. Orang-orang menyebut dinding itu  “kamacca”.

Kenangan ketika bapaknya memegang kedua tangan saat ia tertidur dalam demam tinggi, lalu berkata “kamu sakit, nak!” dengan raut muka memerah khawatir. Sekonyong-konyong hatinya menjadi bahagia. Ia yang hidup sendiri, mengurusi dirinya sendiri, menyelimuti dirinya sendiri, jauh dari kedua orangtuanya, keluarga, kerabat, tersenyum puas dalam halusinasinya. Bapaknya seakan-akan hadir di hadapannya seperti masa-masa itu. Ia bahagia karena dalam kesendiriannya dengan tubuhnya yang menjadi pesakitan dan mulai memaki, menghujat, mencemooh pada ‘sakit’. Kini semua berubah menjadi rasa syukur, damai, akan segala anugerah yang melimpah ruah dalam hidupnya. Termasuk masa-masa sehat yang panjang ia rasakan, ia gunakan untuk berteman, berbagi kasih, disayangi, menyayangi, belajar, diajari, mencintai, dicintai, mengasihi, dikasihi, bersedekah, disedekahi. Bahwa dalam hidupnya lebih banyak ia lalui dengan kebahagiaan, nikmat, anugerah yang tak mungkin menafikkannya.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Qs al-Rahman 36) 

Sempat ia merasa sangat benci dengan tubuhnya yang merasakan hal yang ‘asing’ itu. Dalam imajinya muncul wajah-wajah yang sepertinya sangat membenci dirinya. Seakan tak ada seorang pun yang menaruh rasa iba, simpati dan empati padanya. Ia dibutakan prasangkanya. Setiap panggilan, salam, sapaan, senyuman, begitu palsu di matanya. Entah mengapa dalam kondisi ‘asing’ ini rasa benci, dendam, yang bersemayam di hatinya tetiba saja muncul mendongengkan kemalasan pada setiap orang yang ia kenali. Seakan-akan tidak ada lagi orang baik (mengerti dirinya) di dunia ini. Setiap tatapan mata yang mengarah padanya seperti lampu sorot yang seakan-akan ingin menghakimi, mempersalahkan, menghujat, membunuh setiap kemungkinan baik yang mungkin ada. Ia merasa kesepian di tengah hiruk-pikuk keramaian. Entah mengapa ia menjadi seorang yang benar-benar berbeda, ia cemas, marah, hatinya penuh dengan prasangka negatif. Rasionalitasnya menjadi sangat kabur, buram, bahkan hilang. Ia menjadi pesakitan bukan hanya pada tubuhnya, tapi juga pada jiwanya. Oh, malang benar ia, sekejap kebahagiaannya sirna, hilang bersama energi yang terus dihisap oleh sakitnya, hilang bersama keringat yang mengucur deras dari tubuhnya, bersama hatinya yang buta dan mulai membatu. Ia menjadi pesakitan yang menderita.

“Bila Tuhan memberi kemuliaan dan anugerah, manusia akan mengatakan bahwa Tuhan sedang memuliakannya. Dan, jika Ia menyempitkan rezeki, manusia akan berfikir bahwa Tuhan sedang merendahkannya. Sama sekali tidak seperti itu.” (Qs al-Fajr: 15-17)

Lalu kenangannya tentang masa-masa kecilnya yang penuh perhatian dari bapaknya tercinta, masa-masa sehatnya yang penuh kebahagian bersama orang-orang terkasih, membantingnya dengan hantaman yang sangat keras tepat di jantung hatinya. Menghantamnya tepat di pusat prasangkanya, menampar setiap kemarahannya, kecemasanya, kesepiannya mulai sirna seiring bahagia yang mulai memenuhi hatinya. Kebahagian yang lahir dari kebahagiaan yang ia saksikan sehari-harinya ketika ia sehat. Ia tersadar bahwa di dalam hatinya ia menyimpan batu yang kotor, yang tetiba timbul-tenggelam karena sakit yang menimpanya. Sakit yang ia dapatkan karena syarat-syaratnya terpenuhi, sakit yang ia mengambil peran dalamnya. Maka dengan sakit ia tahu dengan pasti bahwa ia bukan orang yang suci, bukan orang yang bersih dari kotoran, ia lalu mampu melihat segala plak-plak, borok hitam yang mulai mengeras di hatinya, dan baru tercium bau busuknya. Dengan sakit ia sadar bahwa betapa nikmatnya masa-masa sehat yang ia lalui dengan bahagia, dan tetiba mempersalahkan semua orang yang tidak iba, simpati, empati padanya yang ujung-ujungnya mempersalahkan Tuhan atas apa yang menimpanya. Oh, sama sekali tidak seperti itu.

Setan telah menghias prasangka itu dalam hati kalian. Kalian telah berprasangka buruk, maka jadilah kalian kaum yang menderita (Qs al-fath 12)

Dalam selimut berselimutnya beserta tubuhnya yang mulai mampu merasakan suhu yang begitu panas diakibatkan berlapis-lapis kain yang melilit tubuhnya yang berpeluh. Ia merasakan kelegaan yang begitu menenangkan hatinya, dan kaos yang paling dekat dengan kulitnya terasa begitu basah, tembus hingga selimut sebelum sleeping bag. Ia menjadi begitu bersemangat dan bahagia, ia ingin sehat lalu segera bertemu teman-temanya tercinta, berbagi cerita, senyuman, ilmu, kesedihan, tangisan, coklat, biskuit, permen, buku, novel, pengetahuan. Kini ia mampu membedakan suhu ruang sekitar, lalu satu persatu melepas selimut terluar hingga mengganti baju basahnya yang sudah bisa diperah saking basahnya. Ia ambil segelas air, dan lalu menelan pil pahit yang kurang ia sukai. Ia ingin segera sehat kembali.

Bersama piluh yang mengucur deras keluar dari tubuhnya, menguaplah kebenciaan di hatinya. Sekarang ketika seorang bertanya padanya ketika ia sakit, ia akan menjawab bahwa ia sedang sakit, namun ia bahagia. Jika ditanya mengapa ia bahagia padahal sedang sakit? Ia akan menjawab karena sakit ia sadar kasih sayang Tuhan selalu tercurah baginya. Karena sakit ia tahu bahwa ia makhluk yang lemah. Karena sakit orang-orang mengasihinya, mendoakannya. Karena sakit ia mengenal dirinya.”

“Ya Allah, aku tidak tahu. Apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam kondisi sakitku ini. Sebab, berkat sakit ini, aku terhindar dari berbagai kenistaan, aku  punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul bersama keluarga.” (Doa Imam Ali Zainal Abidin saat beliau sakit.)

TERLALU PETANG...

Pagi ini kulihat sepasang anak manusia di masa senja hidupnya, duduk di trotoar jalan menunggu dengan setia rezeki  dari jagung, kacang, gogos, mangga dan telur asin..

Pagi ini  menjelang fajar terbit, aku dapati anak manusia usia lima tahun dengan mata yang terkantuk-kantuk menunggu dengan sabar seribuh rupiah dari koran terakhir di pelukannya..

Pagi ini didatangi ku dua anak manusia yang saling teriakat darah, dengan tabah menundah kepulangannya ke istana kardusnya karena tiga puluh lima ribu rupiah setoran hariannya belum terpenuhi..

Pagi ini dan seperti pagi di hari-hari lainnya, kudapati pemulung memulai pekerjaanya lebih dini dari sesiapapun di kota ini, memunguti kesombongan zaman yang lupa dengan dirinya.

Pagi ini dan banyak pagi-pagi yang lainnya, dihadapanku tertayang tragedi kemanusiaan. Sepasang anak,  kakak beradik dalam dinginnya malam, tidur pulas beralas paving bloc yang disapunyaberselimutkan kardus bekas.

Oh.. betapa dini, betapa tabah, betapa pagi!


Saat ini kudapati diriku di dalam rumah yang aman, bebas dari debuh jalanan, dengan uang bulanan  di saku, dan aku masih mengeluh karena belum punya ini dan itu.

Saat ini kudapati diriku dengan perut buncit dan dompet yang terisi, begitu tersiksa memberikan seribuh perak pada peminta-minta, karena ku tau dengan pasti makanannya lebih enak.

Saat ini kudapati diriku di atas kasur nyaman tempat ku bersitirahat, dan masih saja mengerutu karena suhu panas kota yang membuat peluh mengucur.

Saat ini kudapati diriku merokok dengan bangga karena tidak tertipu oleh industri kesehatan, lalu menipu diri atau lupa  dengan puntung rokok dan abu berserakan di lantai.

Saat ini kudapati diriku mebuang, mengotori , ruang tempatku bersantai-ria. Demi tugas cleaning service agar membersihkannya esok pagi.

Saat ini kudapati  diriku tidur bersama sampah yang berserakan, tanpa ada inisiatif untuk sekedar membersihkan alas tidurku, karena nantinya akan kotor kembali.


Oh.. betapa terlambat, betapa marah, betapa petang!


Oh... malang benar aku! Kumohon! Kumohon! maki saja aku...

Maki hingga hancur hati ku.. Maki hingga hancur keponggahan serta kesombonganku...

Maki aku sehina-hinanya.. Jika aku tetap menjadi  penipu dengan dompet berisi, yang hidup aman, nyaman,
mengerutu, tidak bertanggung jawab, tidak peduli.. biarkan aku kau maki!

Sesiapapun?  Kumohon jangan biarkan aku menjadi zombi yang berjalan, danging tanpa jiwa, hewan ternak,
atau batu.    Aku ingin menjadi manusia..........


(Rumah kedua, bersama dada yang sesak dan jiwa yang tertinggal..)

TERLALU PAGI............

Pagi ini kulihat anak perempuan berseragam lengkap melompat kegirangan menuju pertemanan gembira.

Pagi ini kulihat wajah tanpa senyum menyapa di tengah keramaiaan yang sepi.

Pagi ini kulihat sejoli datang dari pulau seberang yang jauh, berkeliling kota dengan gendongan yang berat, mengadu nasib demi hidup yang lebih baik.

Pagi ini kulihat anak putus sekolah datang lebih pagi, lebih pagi di kampus para golongan tengah memungut sampah-sampah kesombongan para intelek yang ponggah dan paradoks.

Pagi ini kulihat seorang bapak berpakaian rapi menjajalkan nasi berwarna dengan citi car putih demi kehidupan yang mungkin tak akan kutahu realitanya.

Pagi ini aku disambut senyuman  hangat sodara-sodariku yang serahim pun tidak. Senyum kebahagiaan yang tak ternilai oleh sebatang coklat.

Kemarin kulihat wajahnya mulai menceking. Entah apa yang menggerogoti hatinya, senyumnya tak setulus biasanya. Entah apa yang menguras jiwa dan pikirannya. Ia bukan perempuan berseragam, ia tersenyum, bukan anak putus sekolah. Entah apa yang sedang ia kejar. Entah apa yang ingin ia raih. Obsesinya terpancar dari gestur tubuhnya yang menunjukan kegelisahan yang tidak ketulungan. Namun ada ketulusan yang seperti biasa memancar dari hatinya dan dari ucapan yang berbisik penuh harapan. Harapan pada hasratnya untuk menjawab segala tanya yang selama ini mulai ia cari jawabannya, lalu terputus untuk sesuatu yang selalu menimbulkan keresahan, ketakutan, lalu kekecewaan. Kebahagiaan  adalah  semua yang ia cari. Tapi ia menjalani jalan yang berbeda, bahagianya hanya topeng yang diganti sesuai panggung tempatnya tampil. Bukan bahagia dengan senyuman sebagai toping manis, tulus, nan indah.

MAKA BERBAHAGIALAH

Lama aku menanti sebuah perjumpaan. Perjumpaan yang cemas dan harapan bergonta-ganti meramaikan setiap detik penantian. Pertanda dari sebuah mimpi yang berarti kepergian atau juga kelahiran. Bagaikan sebuah sekoci yang tersesat di hamparan lautan lepas, mananti bala bantuan, menyerah atau berserah. Lalu  antara pergi atau datang, hadir atau pergi, lahir atau mati, akhirnya yang dinantikan memilih untuk terlahir, hadir sebagai buah harapan yang dianugerahi oleh Kasih, Sayang, dan Kebijasanaan_Nya dalam memutuskan semua perkara.

Apapun yang terjadi sudah harusnya hamba bersiap akan keputusan final dari Sang Penetap Keputusan. Tak sedikitpun meragukan ketetapan_Nya. Tentu saja karena ia memang Yang Maha Adil. Namun tidak adakah pintu terbuka untuk mempertanyakan bagaimana keadilan itu? Karena aku takut salah memahami keadilan_Nya, sehingga salah mengenal_Nya. Sungguh kecemasan ini telah menenggalam aku dalam ketakutan, hingga hampir-hampir saja aku ragu akan keadilan_Nya. Maafkan hamba yang hina, Tuhan yang suci dari sifat kezaliman.

Hidup Bukan Sebuah Keterpaksaan

Mimpi itu membuatku bertanya untuk kesekiaan kalinya, mengapa aku ada disini? Tanya yang Tetiba muncul karena ada ketakutan yang luar biasa, pada harapan yang ada di dalamnya. Megapa tetiba saja aku duduk di hadapan mesin tik modern dengan layar terpaku, atau berkumpul pada sebuah keluaga yang sederhana, berteman dengan sejawat di kampus, jatuh cinta pada seorang gadis baik, dan menanti bayi kedua dari kakakku terkasih. Lalu semua itu membuatku mual untuk memuntahkan tanya dalam jiwaku, adakah jawab untuk semua  yang lancang aku tanyakan ini? Aku ketakutan akan arti sebuah mimpi dan pada akhirnya aku harus menyimpulkan bahwa segalanya terpaksa untuk menjadi ada disini, lalu menjalaninya karena memang harus dijalani, karena sudah begitu adanya. Tapi mengapa aku masih saja cemas? Dan mengapa aku begitu mengharap (berharap) jawaban?

Apakah tawa, senyum, bahagia, marah, sabar, baik, berjuang, menyerah, kalah, buruk, menang, hidup, sengsara, mati, surga, lahir, ditindas, dan nereka adalah semua yang terpaksakan untuk kita jalani? Lalu mengapa aku bertanya? Lalu mengapa mencinta? Lalu mengapa takut, cemas, bersedih, dan berharap? Jika semuanya hanya sebuah keterpaksaan! Lalu mengapa harus ada ‘mengapa’ lagi? Toh semuanya hanya keterpaksaan belaka. Maka aku harusnya hanya terpaku saja, patuh pada segala apa yang akan terjadi.
Namun tidak! Aku tidak bisa berhenti mempertanyakannya? Aku tidak bisa menerima, lalu berhenti, dan mengakui bahwa aku terpaksa untuk mengharap, mencinta, bahagia, dan menanti seorang kekasih hati yang akan menemani ku hidup. Dengan merasa terpaksa menjalaninya, lalu membuat ku harus menggugurkan semua hal yang membuat hidup ini menjadi bermakna. Perjuangan, cinta, senang, suka, baik, indah, pahala, dan surga menjadi gugur. Akupun yang bertanya ini menjadi tak berarti apa-apa! Karena semuanya dipaksakan oleh_Nya yang maha menguasai. Oh! aku berlindung dari penyifatan yang tidak layak bagi_Nya.

Tuhan tidak sedang bermain Dadu”. (Einstein)

Hingga dalam kegelapan ini, sebuah titik cahaya dari temaram pelita harapan menyingkapkan sebuah kebenaran yang tidak bisa untuk ditolak. Seberkas cahaya dalam gelap akan membedakan dengan jelas, mana cahaya dan gelap, yang benar dan salah. Bahwa hidup dan kehidupan ini bukan sebuah kesia-siaan yang tak bermakna. Bahwa hidup ini diciptakan untuk sebuah kepatuhan kepada ketidakadilan. Maka keyakinanku menyuarakan pemberontakan pada keterpaksaan absolute seperti itu. Bahwa tidak bisa diterima jika menyakiti, merusak, membenci, membunuh, merampok, adalah benar dan harus diterima, karena sudah seharusnya dilakukan, karena semuanya adalah kepastian final.

Hidup dan kehidupan ini sendirilah yang kembali memberi jawaban bagi sang tanya. Kehidupan ini bukanlah sebuah kebetulan belaka yang didalamnya manusia dipaksakan untuk menjalakan apa-apa saja ketentuaan yang berlaku.  Malahan hidup ini haruslah sebuah keabsolutan yang berdiri pada fondasi keadilan dari yang Maha Adil. Kalaupun ada apa-apa yang telah di tentukan haruslah demi sebuah tujuan yang hakiki. Tidak seperti melempar sebuah dadu, berharap keberuntungan. Penciptaan ini terencana dengan sempurna.

Kehidupan ini haruslah dimaknai agar rasa syukur, perjuangan, harapan, keadilan, kebenaran, dan cinta-kasih menjadi berarti, tegak lalu memberikan arah gerak dan tujuan dalam penciptaan. Rasa cemas, sakit, kesusahan, kelaparan menjadi saksi bahwa setelah semua itu ada sesuatu yang menjadi tujuan kita. Kedamaiaan, sehat, solusi, dan kebugaran bukan sesuatu yang dipaksakan untuk mensyukurinya, namun merupakan harapan yang bisa dipilih daripada sekedar pasrah dalam keterpurukan.

Kehendak Adalah Keadialan Penciptaan

Sakit dan sehat, lelah dan rehat, baik dan buruk, benar dan salah, cerdas dan bodoh, mengetahui dan tidak, adalah pilihan-pilhan yang tak akan pernah terlepas dari kehidupan manusia. Kehendak menjadi anugerah istimewa dan tertinggi yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Api yang sifatnya membakar, menjadi berguna bagi kehidupan manusia tanpa harus membakar dan melukainya. Kehendak yang membuat para pesakitan berjuang untuk mengecap kembali nikmat kesehatan. Kehendak yang membangunkan manusia dari rehat panjang demi ruang sosial tempat berbagi kebahagiaan.

Namun tidak berarti manusia berada dalam kemandiriaan absolute juga. Dimana segalah kehendak manusia lahir dari kebebasan mutlak untuk menentukan arah dan pilihannya. Jika seperti itu semua akan bepulang sama seperti keterpaksaan hidup. Dimana tujuan hidup dan pelaku hidup menjadi gugur tidak bermakna. Sekonyong-konyongnya hadir di muka bumi, hidup seperti apapun maunya, berbuat sesuka-hatinya, dan menunggu kematiaannya. Tanpa makna dan tanpa tujuan. Sekali lagi hidup menjadi tidak bermakna, dan akan menyebakan kesengsaraan dalam hidup. Hidup berpusat pada aku, maka aku yang paling kuatlah yang akan bertahan dalam hidup ala rimbah.

Sekali lagi hidup dengan bijaksana menjadi pelita penunjuk jalan kita. Bahwa sekali-kali hidup ini bukan sesuatu yang tidak bermakna, yang di dalamnya kezaliman dilazimkan, membunuh diperbolehkan, menyakiti merupakan sebuah keniscayaan dari sebuah kehendak yang bebas sebebas-bebasnya. Bagaimanpun kuatnya sebuah argumentasi kebebasan, ia tidak akan benar-benar terbebas dari sesuatu yang melekat dengannya semenjak ia terlahir ke dunia, yaitu kematian.

Kematian akan selalu menjadi pembatas paling sederhana dari sebuah kemandirian yang diyakini mutlak. Namun apakah masih bisa ia dikatakan sebagai mutlak sesuatu yang terbatasi? Maka gugurlah kemutlakan dari sebuah kehendak bebas. Yang mutlak malahan adalah kematiaan itu sendiri. Dengan begitu kehiduan sepertinya menunjukan pada mereka yang menjalaninya bahwa ada kemutlakan dimana manusia menuju kepadanya. Sebagai tujuan dari kehidupan, yang melampaui kematiaan itu sendiri. Sehingga dalam menjalani hidup manusia akan terus berjuang mengarakan kehendaknya pada pilihan-pilihan yang terbaik, yang ujungnya ada kebahagiaan dan kebenaran yang hakiki.

Perbuatan zalim akan mendapatkan balasannya, dan perbuatan baik akan mendapakan balasannya. Hanya bisa terwujud jika kehidupan ini memiliki tujuan yang jelas, dan Dia Yang Maha Adil haruslah ada menjadi Sang Pengadil dari pilihan manusia. Maka kehendak menjadi anugerah tertinggi yang diserahkan pada manusia dalam kekuasaan mutlak_Nya. Sehingga kehidupan ini akan mempersaksikan kepada yang menjalaninya, bahwa setiap pilihan yang kita jalani akan membuahkan buah keadilan_Nya. Mewujud dalam kesengsaraan atau kebahagiaan, surga atau neraka, dalam nyatanya suatu hari pembalasan.

Apapun yang menjadi pilihan manusia nantinya, hidupnya akan menjadi saksi keberadaan_Nya yang terlalu kuat untuk di tolok, dan kematiaanya menjadi bukti keterbatasannya untuk terlalu yakin bisa terbebas dari keadilan_Nya.

"Bagaimana mungkin dia yang merasa lemah karena memang tidak punya daya, sedangkan "tangannya" terus-menerus menadah curahan kasih dan sayang, mampu untuk mengangakat kepalanya yang merunduk dan bersimpuh. Ia yang Modalnya hanya harapan, maka ia meneteskan untaian harapan." (H.M) 

Yang Memilih Untuk Terlahir

Ia terlahir Rumi Ali RausyanFikr adalah anak yang kunanti kelahirannya, yang membuatku ketakutan dan sekaligus berharap. Jika kematian merupakan keniscayaan dari sebuah kehidupan. Kelahiran seorang anak manusia adalah sebuah kegaiban yang begitu nyata. Anak bukan sekedar pertemuan dua buah sel telur yang menjadi pasti untuk terlahir. Bagaimanapun coba aku meminjam penjelasan biologi, kelahiran seorang anak manusia masih saja hal yang paling ajaib untuk bisa dijelaskan.

Namun setelah menelaah keterpaksaan dan kemadirian manusia, dimana akhirnya untuk melihat kehidupan ini keduaanya merupakan hal yang mustahil dipisahkan dari manusia. Yaitu mutlaknya sebagai Tuhan yang maha awal dan akhir, maka niscaya Dia mengetahuai segalah sesuatu awal maupun akhir. Dan Mutlak pula Tuhan maha adil dalam menciptakan agar tegak ke Maha Sempurna_Nya, maka niscaya Dia tidak mencipta untuk sekedar menzalimi ciptaan_Nya (walaupun Dia sungguh mampu). Maka Dia memberi keistimewaan untuk memilih kepada manusia yang diciptakan_Nya untuk memilih jalan-jalan hidupnya masing-masing. Demi agar nyata dan terlaksana sifat kemaha-adilan_Nya itu. Ini membuatku yakin tidak ada kezaliman pada Zat dan Sifat Tuhan.

Dengan kelahiran anak manusia ini pula, menjadi jelas bahwa lahir adalah sebuah pilihan dari manusia yang berani menjalaninya dan merupakan Ketetapan Mutlak dari yang Maha Segala. Maka lewat kelahiranmu anandaku Rumi. Aku menjadi memahami bahwa hidup yang kita jalani ini adalah hal yang telah Ditetapkan dimana kita telah memilih untuk menjalaninya.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al A’raf: 172)

Maka berbahagialah anandaku, bahwa kita tidaklah terlahir untuk dizalimi, bahwa kita terlahir tidak untuk besedih, bahwa kita terlahir bukan untuk menyakiti, bahwa kita terlahir bukan untuk membenci, kalah, menyerah, tanpa harapan, tanpa tujuan, tanpa arah, tanpa cahaya, hidup sekedar untuk mati. Namun kita terlahir untuk mencari kebahagiaan, kita lahir untuk kebenaran, kita lahir untuk memaknai hidup, kita mati karena kita siap, kita lahir untuk mengenal_Nya. Maka mana mungkin ia Yang Maha Adil tiba-tiba saja melemparkan kita menjadi hidup di belatara dunia yang liar, tanpa sedikitpun perbekalan untuk menjalaninya.

Dia yang menciptakan kita, telah membekali kita dengan begitu banyak hal yang akan menyelamatkan kita dalam menjalani hidup ini. Bekal yang cukup agar kita bisa selamat pada sebuah bahtera, pejalanan mengarungi ombaknya begitu deras. Cahaya yang terlalu terang untuk menerangi jalan yang kita melangkahkan kaki untuk kembali pada_Nya. Dia tidaklah zalim kepada kita dengan membiarkan kita meraba-raba kehidupan ini, namun demi keadilan Dia pasti membekali kita, kita hanya perlu mengerahkan usaha kita agar semua bekal itu menjadi nyata bagi kita. Itulah ikhtiar kita, pilihan kita, usaha kita.

Karena yakinlah anandaku, kita tidak akan pernah keluar dari jangkauan kekuasan Sang Pencipta. Sadar ataupun tidak, mau ataupun tidak, senang ataupun tidak. Tidak ada kemandirian yang mampu berdiri dihadapan_Nya yang mutlak. Namun jangan pernah berfikir bahwa Dia tidaklah adil. Karena dengan keadilan_Nya lah kita bisa berpindah dari satu ketetapan kepada ketetapan_Nya yang lain. Sekali lagi kita hanya perlu untuk berusaha lebih keras.

"Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)." – (QS.13:39)

Inilah kesyukuran yang begitu besar yang harus kita sambut dengan bahagia anandaku. Bagaimana Dia secara nyata menunjukan kepada kita Cinta_Nya yang begitu besar, setelah dengan Cinta_Nya pula kita diciptakan. Kini kita diberikan petunjuk untuk memudahkan segala langkah kita dalam menjalani hidup ini. Begitu jelasnya Dia menunjukan kepada kita jalan yang terbaik yang akan menyelamatkan kita dari azab keadilan_Nya. Lalu masih adakah ruang bagi kita untuk merasa dicurangi dilahirkan ke dunia ini. Tentu saja tidak!

Berbahagialah karena hidup yang telah selesai ini, akan dan baru saja kita memulainya. Menyebabkan segala akhirnya akan sangat bergantung pada pilihan kita untuk mengarahkannya kepada kecenderungan yang mana. Namun bagaimana kita menjalaninya akan sangat bergantung pula pada bagaimana cara kita memahami kehidupan ini. Sudah semestinya kita menaruh perhatian pada apa saja yang menumbuhkan pemahaman terhadapnya. Bahkan perubahan sekecil apapun dalam hidup ini adalah berkat rahmat dari_Nya. Maka menghamba, beribadah, menTauhidkan_Nya, berdoa, bersimpu, memohon pada_Nya merupakan sebuah keniscayaan kita sebagai makhluk yang tidak memliki daya dan upaya sedikitpun. Karena sekali lagi ikhtiar kita sekalipun adalah rezeki yang berasal dari Kemurahan, Keadilan, serta Kasih dan Sayang_Nya.

“Dialah yang telah menciptakanmu dari tanah lalu menetapkan suatu ajal dan ‘ajal lainnya’ yang ditentukan di sisi_Nya.” (QS 6 : 2)

Berbahagialah

"Anandaku tercinta.. telah lama aku merindukanmu.. kini engkau memilih untuk terlahir, dan Tuhan telah mengabulkannya.. karena Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.. di sisi_Nya segalah ketetapan, dan ketetapan_Nya adalah keadilan_Nya.. maka jadilah anak yang optimis, bahagia, periang, dan lembut hatinya; karena Tuhan Telah, Sedang, dan Akan memberkatimu.. Aku pun akan mencintaimu.. sambut ku padamu, dengan nama 'Rumi Ali RausyanFikr' (semoga Rumi tercerahkan melalui gerbang ilmu Nabi) sebagai untaian doa yang mengiringimu sepanjang masa.. Jadilah anak bahagia.." 

Kisah Yang Lain

Baru-baru sebuah kabar gembira datang dari sahabatku. Banyak pula kabar gembira lainnya, silih berganti membanjiri hatiku. Kejutan-kejutan mistik dari masa depan. Sebuah hadiah dalam kotak yang isinya tersembunyi sekaligus juga tersingkap, sebagai rezeki yang tak henti menghujani keringnya ketakutan akan masa depan.

Dia adalah adikku terkasih, akhirnya menemukan dan ditemukan oleh seorang pemberani, yang lalu mengajaknya menyongsong masa depan dengan tanpa curiga, ketakutan, dan prasangka. Lalu wajah manisnya yang seperti biasa dengan berani pula memekarkan senyum merona manyambut panggilan itu. Pada sebuah jalan yang harapan menjadi pelitanya, kabar bahagia itu bahwa ia telah dipersunting. Begitulah jalan-jalan takdir bergerak menghantarkan kita (manusia) kepada takdir lain. Buruk, baik, atau lebih baik. Tanpa disangka-sangka, tidak sadar atau bahkan jika disadari kita berada dalam sebuah pusaran keadilan_Nya yang gaib.

"Puji Tuhan atas cinta yang telah, sedang, dan akan selalu tercurah bagi seluruh makhluk yang bergantung pada_Nya." (H.M) 


Ps: Alarm untuk mengingatkan aku pada janji yang terpatri di hati.
Rumah kedua, menjelang matahari terbit 30/11/13