Di atas bangku taman yang
lapuk ia duduk bersedih dan meratap. Entah apa yang terjadi! Sebelumnya
ia berada di dalam istana yang megah. Ada sofa yang begitu indah,
busanya begitu nyaman ketika tubuh disandarkan padanya. Rasa nyaman itu
merasuk hingga fikiran, membuat ekstase dan hampir-hampir saja
tertidur. Bahu dan kaki yang letih perlahan bugar kembali. Perutnya
yang buncit karena hidangan sang raja mulai mengempis tercerna oleh
tubuh. Semuanya begitu nikmat, hingga ia begitu bersyukur akan anugerah
yang ia terima pagi itu. Namun tetiba wajahnya menjadi begitu murung,
pucat pasih.
Di hadapannya kini hadir sesosok perempuan mudah yang lusuh, hitam, di dahinya mengucur keringat tak tertahankan. Perempuan itu bisa berjalan dengan normal, tubuhnya pun normal, tapi ia terus saja membungkukan tubuhnya, terus menjaga pandangannya pada raja dan tetamunya sambil membersihkan sisa makanan di meja sang raja. Mengapa ia tak berdiri dengan tegak? Mengapa suaranya begitu pelan atau hanya diam? Mengapa dia merendahkan diri dihadapan tamu seakan ada panggung yang membuat posisinya lebih rendah? Ia kini merasa hampa dalam segalah kenyamanan yang hadir di sisinya.
Hatinya menjadi gunda gulana, ia lalu berfikir dan tenggelam dalam benaknya sendiri. Apa yang membuatnya tidak lagi menikmati segalah anugereh itu. Ia lalu meninggalkan istana setelah pamit di hadapan raja, mengundurkan diri, seraya berterima kasih atas jamuaanya. Siapa gerangan perempuan yang menjadikan hatinya tidak bahagia! Atau mengapa perempuan itu membuat hatinya menjadi luluh lantah?
Mulailaj ia merenung! Semakin lama ia menyelami fikiranya, namun ia tidak kunjung mendapati kesalahan di dalamnya. Rasionalitasnya tidak mendeteksis kesalahan sedikitpun. Namun dadanya masih saja sesak, entah apa yang terjadi? Ia mencoba merunutkan apa yang terjadi, dan yang muncul hanya bayangan sosok perempuan itu! Dari mulutnya lalu terucap “budak perempuan”.
Perempuan itu adalah budak sang raja. Apa yang salah dengan perbudakan dalam sebuah sistem kemasyarakatan yang dipimpin oleh seorang raja. Budak malah menjadi penyokong, tiang-tiang yang mejaga keseimbangan sistem ini. Namun ada rasa “aneh” yang muncul dari dadanya. Oh. Seharusnya ini bukan sebuah masalah, ini cukup rasional. Apa masalahnya dengan budak dan perbudakan?
*****
Pernah ia pelisiran ke kota mengendarai kuda. Orang-orang silih berganti berlalu-lalang di hadapanya. Begitulah pasar pada umumnya. Di langit-langit kota terpasang atap-atap yang megah. Dibawahnya bertengger para pedagang yang berbaris dengan rapi memenuhi jalan setapak kota. Para pelancong satu persatu singah berbelanja atau sekedar melihat barang-barang baru dari negeri-negeri yang jauh. Di lantai-lantai kota banyak anak laki dan perempuan, orang cacat, orang tua, dan lansia. Mereka bebaring, duduk, tunduk merendahkan dirinya seakan merekalah lantai kota. Tangan-tangan mereka terus terbuka menadah setiap keping sen yang mengucur dari jemari tuan-tuan pelancong yang berbaik hati. Atau tidak jarang mendapat caci, maki, dari orang yang tidak senang dengan kehadiran pengemis.
Ia turun dari pelananya, dan duduk di salah satu bangku kosong taman yang tepat menghadap kota dan keramaiaannya. Lalu pemandangan yang tak lazim tertayang dihadapannya. Seorang pengemis mulai menangis merintih kelaparan memohon-mohon pada para pelancong. Rasa iba yang timbul dari rintihan pengemis, mengucurkan dengan cepat sen demi sen dari kantong para pelancong. Ia pun turut iba, hampir-hampir saja ia akan melompat menghampiri pengemis itu. Namun tetiba tertahan ketika pengemis itu membalikkan badan dari para dermawan yang berlalu dengan cepat, dan pengemis itu tersenyum puas.
Senyuman! Sekonyong-konyongnya ia menjadi pitam, marah, kesal, pada pengemis itu. “Sial! Dia pengemis penipu.” gerutu dalam hatinya. Pengemis itu memanfaatkan rasa iba dan empati para pelancong yang derma itu. Tangisan itu hanya kepalsuan belaka, sebuah kamuflase yang dipajang ketika mereka menjalankan perannya sebagai pengemis. Sungguh tega para pengemis itu menipu para penderma. “Dasar penipu munafik!” kesalnya.
*****
Ia pernah belajar di negeri yang jauh, pula pernah singgah dibeberapa negeri yang lain. Diperjanannya ia belajar banyak tentang berbagai hal. Astronomi, pemerintahan, filsafat, bahasa, budaya, alam, dan Tuhan. Kebijaksanaan adalah hal yang melekat padanya dimata orang-orang yang pernah menemuinya. Hingga orang-orang mulai memanggilnya sebagai filsuf. Dan ia mulai senang bila orang-orang memanggilnya seperti itu.
Banyak guru yang ia temui diperjalanannya. Berbagai pengetahuan telah ia kuasai dari guru- gurunya. Namun ada satu pesan yang hampir sama pada setiap gurunya. Seakan-akan telah terpatri dalam setiap pengetahuan bahwa apapun pengetahuan itu, pesan itu harus melekat padanya. “Setiap pengetahuan mestinya bermuara pada tanggung jawab pada orang lain.” Guru-guru berpesan “kebahagian hakiki adalah kebahagian yang muncul dengan menaruh kebahagian pada diri orang lain.” Kemaslahatan manusia menjadi tujuan pengetahuan. Entah apapun atau dari mana ia berasal, kepercayaannya, agama, ideologi, mashab, asal daerah, dari manapun ia. Pengetahuan yang hakiki ketika ia hadir dalam diri manusia akan mengantarkannya pada kebahagian, kebahagiaan bersama manusia lain, kebahagiaan universal.
*****
Oh tidak! Sekarang ia tahu mengapa kesedihan memenuhi hatinya pada saat ia berada dalam istana raja yang nyaman dengan sofa mewah nan empuk. Saat ia duduk bersandar santai merehatkan tubuhnya. Yang kemudian merasa tegang dan tidak nyaman sama sekali setelah perempuan budak itu tetiba hadir dihadapannya. Ia melihat air muka yang tidak bahagia dari budak itu, dan kemudian membebaninya. Yang ia anggap rasional menjadi sangat paradoks terlalu kotradiktif dan itu menyakiti hati dan fikirannya. Ia menghadapi kerancuaan dalam memandang dunianya. Mengapa perbudakan bisa terlahir dalam bentuk baru, manusia menjadi pelayan bagi manusia lainnya. Apakah itu wajar saja? Bahwa ada manusia yang terlahir lebih rendah dibanding manusia yang lain. Apakah Tuhan menakdirkan hal seperti itu? Oh sungguh tidak seperti itu. Pengetahuaan yang ia dapatkan dari guru-guru membuktikan pada akalnya bahwa Tuhan itu harusnya maha adil.
Ia tahu “bahwa melayani adalah seni pekerjaan Tuhan”. Namun jiwanya menolak perbudakan yang ia temui di hadapannya. Melayani bukan berarti mencerabut kemausiaan sesorang dengan merendahkan manusia yang lain. Keangkuhannyalah yang telah jauh menyesatkan dan membutakan matanya pada sesuatu yang terlalu nyata. Ia yang merasa telah sampai pada kebijaksanaan hanya mampu berfikir, merenung, berdiskusi di ruang-ruang nyaman tentang pengetahuan. Luar biasanya ia sering memperbincangkan tentang alam, tentang manusia, akhlak, etika, tentang Tuhan, namun itu hanya sebuah perbincangan belaka. Ia terlalu nyaman berlehai-lehai dalam istana raja-raja yang megah. Hingga ia tak merasakan apa yang ia selalu perbincangkan. Tentang keadilan, tentang cinta kasih, tentang manusia, tanggung jawab. Tepat ketika ketidak-adilan itu mewujud dalam bentuk perempuan budak pelayan, dan raja-raja yang memberi kenyamanan, semua menjadi kabur.
Kesombongannya atas kebijaksanaan dan gelar filsuf yang ia punya. Membakar hangus pengetahuaanya hingga menjadi setumpukan arang hitam yang tak berarti apa-apa. Namun arang itu itu kemudian tersirami hujan, menjadi basah, dan kembali menyatu dengan tanah, hingga tanah itu menjadi tanah yang subur. Tanah yang subur itu lalu menumbuhkan setiap bibit baru yang akan menajdi sumber oksigen, yang akan memberi kehidupan baru. Melegahkan nafasnya yang mulai sesak kekurangan oksigen.
Arang itu adalah pengetahuan yang dibakar api keangkuhan dan kesombongan! Air hujan itu adalah curahan pencerahan dari hati yang hancur lebur, yang tidak menerima perbudakan! Dan bibit-bibit itu adalah harapanya yang tumbuh setelah kehancuran! Harapan akan penyesalannya yang teramat dalam. Mencari pengetahuan untuk bisa berlehai-lehai di istana raja. Dan menjadikan budak sebagai objek perbincangan atas nama kebijaksanaan. Dan lalu menyokong perbudakan secara “tidak sadar”, sungguh paradoks! Namun paradoks itulah awal dari sebuah pencerahan, ia hanya berharap belum terlambat lalu kehabisan udara dan oksigen, dan tidak bisa berbuat sesuatu.
Oksigen mulai memenuhi paru-parunya. Dadanya yang tadinya sesak kekurangan udara kini terpenuhi hingga legah. Oksigen itu adalah kehidupanya yang baru, yang memeberikan waktu untuk hidup sedikit lebih lama. Usia yang akan ia gunakan mencari ilmu lebih banyak lagi dan membersihakan paradoks-parodoks yang memenuhi dirinya. Pengetahuan yang akan ia cari adalah penegetahuan suci, jauh melampaui renungan filosofis, ilmu logika, pengetahuan belaka. Pengetahuan yang tidak kehilangan esensinya. Penegetahuan yang berpihak pada budak dan menentang tiran. Yang menumbuhkan kebahagiaan dihati orang lain. Ia sekarang bertranformasi bersama penegetahuaannya, akalnya, dan lakunya menjadi oksigen bagi manusia lainya. Memberi kelegaan bagi mereka yang selama ini sesak dalam ketidakadilan, ketertindasan, sedih, dan hancur hatinya. Seperti yang terjadi pada budak perempuan itu.
Ia lalu teringat pesan-pesan dari guru-guru yang pernah membagi ilmu padanya. Yang semuanya mengajarkan tentang satu hal, bahwa semestinya pengetahuan itu untuk kebahagian umat manusia. Untuk itu, ilmu pengetahuan harusnya tidak terpisah dari praktek keseharian. Bahkan senyuman sekalipun, harusnya dibagi kepada semua orang. Kebersiahan pun seperti itu, karena bersih bukan sekedar masalah individu tapi bersih juga menyangkut masalah sosial dan milik bersama. Pengetahuan dengan pasti mengkonsekuensikannya seperti itu. Maka kepada siapapun, kita mestinya memberikan senyum terbaik dan tertulus, hingga konsep budak lenyap dari kehidupan kita. Tidak ada lagi yang asing. Perempuan budak itu akan duduk bersama kita, memakan hidangan yang sama. Piring-piring kotor itu akan kita bersihkan bersama. Kursi-kursi megah itu digantiakan karpet yang membuat semua orang duduk sama rata. Sang raja akan duduk bersama yang lain.
*****
Masih saja ia duduk terdiam di bangku rapuh, ketika orang-orang telah melangkahkan jauh kaki-kakinya menuju rumah mereka masing-masing kala senja tiba. Di hadapannya tepat malam mengulurkan tangan-tanganya dan menyambutnya dengan jamuan yang menyenangkan hati untuk beristirahat. Pasar menjadi begitu sepi, angin sepoi-sepoi mendayu-dayukan nyanyian pengantar tidur. Tepat di belakangnya taman kota yang mulai berdebuh tak terurus menemaninya menanti saat yang tidak kunjung datang. Tapi ia masih tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya, entah apa yang ia tungguh! Dia hanya membiarkan mereka pergi sambil melayangkan senyum tipis kepada mereka yang berlalu.
Pengemis itu membuatnya kembali merenungkan “senyuman” itu. Apa yang sebelumnya ia anggap salah berabalik membuatnya meraguh dengan ketetapan hatinya. Ia yang pitam, marah, dan membenci, kini mulai merasakan rasa bersalah dengan sikap reaksionernya yang arogan. Apa masalahnya dengan “senyuman” itu? Bukankah mereka yang hidup kesulitan akan merasa bahagia jika seorang manusia lain menaruh kasih dan perhatian padanya. Bukankah fitrah manusia bahwa mereka akan bahagia jika ia menadapat bantuan. Dan bukannya fitrah manusia untuk selalu mau melakukan kebaikan.
Pengemis itu! Apakah ia terlahir memang sudah menjadi pengemis yang utuh sejak lahirnya. Dan juga raja itu! Apakah sudah takdirnya untuk hidup dalam kemewahan, di istana-istana megah dengan sofa empuknya. Apakah memang seperti itu adanya? Maka ia ingat kembali segala pembelajaran yang dulu ia dapatkan dari guru-gurunya. Dibaliknya pandangan dari “senyuman” itu ke arah dirinya sendiri. Menyelam ke kedalam hatinya mengecek kembali apa yang terjadi. Di dalam hatinya ia melihat sesosok hamba yang mulai merintih memohon kepada Tuhannya, berdoa dalam kekhusuannya. Meminta dengan segala kerendahan hatinya atas segalah kebutuhannya yang mendesak. Dan dengan segerah Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang memenuhi hajad-hajad si hamba. Seperti pengemis yang dilihatnya sesaat yang lalu, persis dengan itu ia pun tersenyum puas.
Setelah ia mendapatkan hajadnya. Ia yang bahagia lalu membalikkan badan dan pergi meninggalkan Tuhannya. Di masyarakanya ia menjadi manusia kaya raya yang zalim. Harta yang melimpah membautnya hidup dengan kemewahan. Ia lupa bersedekah, berzakat, menyantuni fakir miskin dan orang yang kesusahan hidupnya, apa lagi memerdekakan budak. Sosok yang ia lihat dihatinya membuatnya begitu marah, hingga semakin jelas wajahnya tersingkapkan. Wajah itu sangat akrab dengannya, ia tak mungkin melupakan wajah itu, karena wajah itu adalah dirinya sendiri.
Pada akhirnya ia menjadi sangat malu. Kini ia tahu dengan pasti alasan mengapa ia marah pada pengemis itu. Ia seperti melihat dirinya sendiri di hadapan Tuhan menjadi seoarang pengemis. Ya manusia sudah selayaknya mengemis di hadapan_Nya. Namun setelah terpenuhinya hajad-hajadnya, ia lalu meninggalkan hak Tuhan untuk membelanjakan harta pada perniagaan yang mensejahterakan orang lain. Yang ia benci sebenarnya adalah dirinya! Pengemis itu bagaikan cermin yang memantulkan refleksi dirinya. Kini dialah orang yang hina, dialah pengemis yang hina. Sedangkan sang pengemis sudah seharusnya disantuni, dan menaruh rasa iba padanya. Bukankah didebagian harta seseorang ada hak orang lain.
Dia merasa sangat hina dihadapan pengemis itu, dan dihadapan Tuhan yang maha baik. Sama seperti budak perempuan itu. Manusialah yang menciptakan tatanan seperti itu. Dan Tuhan tentu telah menetapakan keadilannya. “Oh malangnya! Aku pengemis penipu.” sesal dalam hatinya. Pengemis yang memanfaatkan kebaikan, kasih, sayang, dan cinta Tuhan. Tangisan itu hanya kepalsuan belaka, sebuah kamuflase yang dipajang ketika menjalankan perannya sebagai pengemis di hadapan Sang Maha Pengasih. Sungguh tega pengemis ini menipu Sang Maha Penderma. “Akulah penipu yang munafik!”
*****
EPILOG
Bukankah seperti itu yang diajarkan dan ditunjukan seorang penggembala domba dari jazirah arab. Yang kemudian menjadi pemimpin kaum miskin. Yang menghilangkan perbudakan dari dunia. Yang ilmunya seluas langit dan bumi, namun selalu berbicara dengan sederhana pada ummatnya, masyarakatnya, musuhnya, pecintanya. Perilakunya menggambarkan pengetahuaanya yang seluas samudera. Beliau adalah pimpinan negaranya, jendral para tentaranya, imam bagi ummatnya, suami dari istrinya, bapak dari anak-anaknya. Beliau menjalankan perannya tanpa paradoks, non kontradiksi. Pekerjaannya menaruh rasa bahagia kepada manusia-manusia yang kehilangan arah. Tugas baginda membawa kabar kembira bagi meraka yang hancur hatinya. Bahwa ia telah ditunjuk karena cahaya pengetahuan yang merupakan jiwanya yang suci. Dialah guru para guru, dialah Ahmad sang paraqlita (penerang).
Allahumma salli ala Muhammad wa Ali Muhammad...
Shalom... salam... santi... damai..
Di hadapannya kini hadir sesosok perempuan mudah yang lusuh, hitam, di dahinya mengucur keringat tak tertahankan. Perempuan itu bisa berjalan dengan normal, tubuhnya pun normal, tapi ia terus saja membungkukan tubuhnya, terus menjaga pandangannya pada raja dan tetamunya sambil membersihkan sisa makanan di meja sang raja. Mengapa ia tak berdiri dengan tegak? Mengapa suaranya begitu pelan atau hanya diam? Mengapa dia merendahkan diri dihadapan tamu seakan ada panggung yang membuat posisinya lebih rendah? Ia kini merasa hampa dalam segalah kenyamanan yang hadir di sisinya.
Hatinya menjadi gunda gulana, ia lalu berfikir dan tenggelam dalam benaknya sendiri. Apa yang membuatnya tidak lagi menikmati segalah anugereh itu. Ia lalu meninggalkan istana setelah pamit di hadapan raja, mengundurkan diri, seraya berterima kasih atas jamuaanya. Siapa gerangan perempuan yang menjadikan hatinya tidak bahagia! Atau mengapa perempuan itu membuat hatinya menjadi luluh lantah?
Mulailaj ia merenung! Semakin lama ia menyelami fikiranya, namun ia tidak kunjung mendapati kesalahan di dalamnya. Rasionalitasnya tidak mendeteksis kesalahan sedikitpun. Namun dadanya masih saja sesak, entah apa yang terjadi? Ia mencoba merunutkan apa yang terjadi, dan yang muncul hanya bayangan sosok perempuan itu! Dari mulutnya lalu terucap “budak perempuan”.
Perempuan itu adalah budak sang raja. Apa yang salah dengan perbudakan dalam sebuah sistem kemasyarakatan yang dipimpin oleh seorang raja. Budak malah menjadi penyokong, tiang-tiang yang mejaga keseimbangan sistem ini. Namun ada rasa “aneh” yang muncul dari dadanya. Oh. Seharusnya ini bukan sebuah masalah, ini cukup rasional. Apa masalahnya dengan budak dan perbudakan?
*****
Pernah ia pelisiran ke kota mengendarai kuda. Orang-orang silih berganti berlalu-lalang di hadapanya. Begitulah pasar pada umumnya. Di langit-langit kota terpasang atap-atap yang megah. Dibawahnya bertengger para pedagang yang berbaris dengan rapi memenuhi jalan setapak kota. Para pelancong satu persatu singah berbelanja atau sekedar melihat barang-barang baru dari negeri-negeri yang jauh. Di lantai-lantai kota banyak anak laki dan perempuan, orang cacat, orang tua, dan lansia. Mereka bebaring, duduk, tunduk merendahkan dirinya seakan merekalah lantai kota. Tangan-tangan mereka terus terbuka menadah setiap keping sen yang mengucur dari jemari tuan-tuan pelancong yang berbaik hati. Atau tidak jarang mendapat caci, maki, dari orang yang tidak senang dengan kehadiran pengemis.
Ia turun dari pelananya, dan duduk di salah satu bangku kosong taman yang tepat menghadap kota dan keramaiaannya. Lalu pemandangan yang tak lazim tertayang dihadapannya. Seorang pengemis mulai menangis merintih kelaparan memohon-mohon pada para pelancong. Rasa iba yang timbul dari rintihan pengemis, mengucurkan dengan cepat sen demi sen dari kantong para pelancong. Ia pun turut iba, hampir-hampir saja ia akan melompat menghampiri pengemis itu. Namun tetiba tertahan ketika pengemis itu membalikkan badan dari para dermawan yang berlalu dengan cepat, dan pengemis itu tersenyum puas.
Senyuman! Sekonyong-konyongnya ia menjadi pitam, marah, kesal, pada pengemis itu. “Sial! Dia pengemis penipu.” gerutu dalam hatinya. Pengemis itu memanfaatkan rasa iba dan empati para pelancong yang derma itu. Tangisan itu hanya kepalsuan belaka, sebuah kamuflase yang dipajang ketika mereka menjalankan perannya sebagai pengemis. Sungguh tega para pengemis itu menipu para penderma. “Dasar penipu munafik!” kesalnya.
*****
Ia pernah belajar di negeri yang jauh, pula pernah singgah dibeberapa negeri yang lain. Diperjanannya ia belajar banyak tentang berbagai hal. Astronomi, pemerintahan, filsafat, bahasa, budaya, alam, dan Tuhan. Kebijaksanaan adalah hal yang melekat padanya dimata orang-orang yang pernah menemuinya. Hingga orang-orang mulai memanggilnya sebagai filsuf. Dan ia mulai senang bila orang-orang memanggilnya seperti itu.
Banyak guru yang ia temui diperjalanannya. Berbagai pengetahuan telah ia kuasai dari guru- gurunya. Namun ada satu pesan yang hampir sama pada setiap gurunya. Seakan-akan telah terpatri dalam setiap pengetahuan bahwa apapun pengetahuan itu, pesan itu harus melekat padanya. “Setiap pengetahuan mestinya bermuara pada tanggung jawab pada orang lain.” Guru-guru berpesan “kebahagian hakiki adalah kebahagian yang muncul dengan menaruh kebahagian pada diri orang lain.” Kemaslahatan manusia menjadi tujuan pengetahuan. Entah apapun atau dari mana ia berasal, kepercayaannya, agama, ideologi, mashab, asal daerah, dari manapun ia. Pengetahuan yang hakiki ketika ia hadir dalam diri manusia akan mengantarkannya pada kebahagian, kebahagiaan bersama manusia lain, kebahagiaan universal.
*****
Oh tidak! Sekarang ia tahu mengapa kesedihan memenuhi hatinya pada saat ia berada dalam istana raja yang nyaman dengan sofa mewah nan empuk. Saat ia duduk bersandar santai merehatkan tubuhnya. Yang kemudian merasa tegang dan tidak nyaman sama sekali setelah perempuan budak itu tetiba hadir dihadapannya. Ia melihat air muka yang tidak bahagia dari budak itu, dan kemudian membebaninya. Yang ia anggap rasional menjadi sangat paradoks terlalu kotradiktif dan itu menyakiti hati dan fikirannya. Ia menghadapi kerancuaan dalam memandang dunianya. Mengapa perbudakan bisa terlahir dalam bentuk baru, manusia menjadi pelayan bagi manusia lainnya. Apakah itu wajar saja? Bahwa ada manusia yang terlahir lebih rendah dibanding manusia yang lain. Apakah Tuhan menakdirkan hal seperti itu? Oh sungguh tidak seperti itu. Pengetahuaan yang ia dapatkan dari guru-guru membuktikan pada akalnya bahwa Tuhan itu harusnya maha adil.
Ia tahu “bahwa melayani adalah seni pekerjaan Tuhan”. Namun jiwanya menolak perbudakan yang ia temui di hadapannya. Melayani bukan berarti mencerabut kemausiaan sesorang dengan merendahkan manusia yang lain. Keangkuhannyalah yang telah jauh menyesatkan dan membutakan matanya pada sesuatu yang terlalu nyata. Ia yang merasa telah sampai pada kebijaksanaan hanya mampu berfikir, merenung, berdiskusi di ruang-ruang nyaman tentang pengetahuan. Luar biasanya ia sering memperbincangkan tentang alam, tentang manusia, akhlak, etika, tentang Tuhan, namun itu hanya sebuah perbincangan belaka. Ia terlalu nyaman berlehai-lehai dalam istana raja-raja yang megah. Hingga ia tak merasakan apa yang ia selalu perbincangkan. Tentang keadilan, tentang cinta kasih, tentang manusia, tanggung jawab. Tepat ketika ketidak-adilan itu mewujud dalam bentuk perempuan budak pelayan, dan raja-raja yang memberi kenyamanan, semua menjadi kabur.
Kesombongannya atas kebijaksanaan dan gelar filsuf yang ia punya. Membakar hangus pengetahuaanya hingga menjadi setumpukan arang hitam yang tak berarti apa-apa. Namun arang itu itu kemudian tersirami hujan, menjadi basah, dan kembali menyatu dengan tanah, hingga tanah itu menjadi tanah yang subur. Tanah yang subur itu lalu menumbuhkan setiap bibit baru yang akan menajdi sumber oksigen, yang akan memberi kehidupan baru. Melegahkan nafasnya yang mulai sesak kekurangan oksigen.
Arang itu adalah pengetahuan yang dibakar api keangkuhan dan kesombongan! Air hujan itu adalah curahan pencerahan dari hati yang hancur lebur, yang tidak menerima perbudakan! Dan bibit-bibit itu adalah harapanya yang tumbuh setelah kehancuran! Harapan akan penyesalannya yang teramat dalam. Mencari pengetahuan untuk bisa berlehai-lehai di istana raja. Dan menjadikan budak sebagai objek perbincangan atas nama kebijaksanaan. Dan lalu menyokong perbudakan secara “tidak sadar”, sungguh paradoks! Namun paradoks itulah awal dari sebuah pencerahan, ia hanya berharap belum terlambat lalu kehabisan udara dan oksigen, dan tidak bisa berbuat sesuatu.
Oksigen mulai memenuhi paru-parunya. Dadanya yang tadinya sesak kekurangan udara kini terpenuhi hingga legah. Oksigen itu adalah kehidupanya yang baru, yang memeberikan waktu untuk hidup sedikit lebih lama. Usia yang akan ia gunakan mencari ilmu lebih banyak lagi dan membersihakan paradoks-parodoks yang memenuhi dirinya. Pengetahuan yang akan ia cari adalah penegetahuan suci, jauh melampaui renungan filosofis, ilmu logika, pengetahuan belaka. Pengetahuan yang tidak kehilangan esensinya. Penegetahuan yang berpihak pada budak dan menentang tiran. Yang menumbuhkan kebahagiaan dihati orang lain. Ia sekarang bertranformasi bersama penegetahuaannya, akalnya, dan lakunya menjadi oksigen bagi manusia lainya. Memberi kelegaan bagi mereka yang selama ini sesak dalam ketidakadilan, ketertindasan, sedih, dan hancur hatinya. Seperti yang terjadi pada budak perempuan itu.
Ia lalu teringat pesan-pesan dari guru-guru yang pernah membagi ilmu padanya. Yang semuanya mengajarkan tentang satu hal, bahwa semestinya pengetahuan itu untuk kebahagian umat manusia. Untuk itu, ilmu pengetahuan harusnya tidak terpisah dari praktek keseharian. Bahkan senyuman sekalipun, harusnya dibagi kepada semua orang. Kebersiahan pun seperti itu, karena bersih bukan sekedar masalah individu tapi bersih juga menyangkut masalah sosial dan milik bersama. Pengetahuan dengan pasti mengkonsekuensikannya seperti itu. Maka kepada siapapun, kita mestinya memberikan senyum terbaik dan tertulus, hingga konsep budak lenyap dari kehidupan kita. Tidak ada lagi yang asing. Perempuan budak itu akan duduk bersama kita, memakan hidangan yang sama. Piring-piring kotor itu akan kita bersihkan bersama. Kursi-kursi megah itu digantiakan karpet yang membuat semua orang duduk sama rata. Sang raja akan duduk bersama yang lain.
*****
Masih saja ia duduk terdiam di bangku rapuh, ketika orang-orang telah melangkahkan jauh kaki-kakinya menuju rumah mereka masing-masing kala senja tiba. Di hadapannya tepat malam mengulurkan tangan-tanganya dan menyambutnya dengan jamuan yang menyenangkan hati untuk beristirahat. Pasar menjadi begitu sepi, angin sepoi-sepoi mendayu-dayukan nyanyian pengantar tidur. Tepat di belakangnya taman kota yang mulai berdebuh tak terurus menemaninya menanti saat yang tidak kunjung datang. Tapi ia masih tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya, entah apa yang ia tungguh! Dia hanya membiarkan mereka pergi sambil melayangkan senyum tipis kepada mereka yang berlalu.
Pengemis itu membuatnya kembali merenungkan “senyuman” itu. Apa yang sebelumnya ia anggap salah berabalik membuatnya meraguh dengan ketetapan hatinya. Ia yang pitam, marah, dan membenci, kini mulai merasakan rasa bersalah dengan sikap reaksionernya yang arogan. Apa masalahnya dengan “senyuman” itu? Bukankah mereka yang hidup kesulitan akan merasa bahagia jika seorang manusia lain menaruh kasih dan perhatian padanya. Bukankah fitrah manusia bahwa mereka akan bahagia jika ia menadapat bantuan. Dan bukannya fitrah manusia untuk selalu mau melakukan kebaikan.
Pengemis itu! Apakah ia terlahir memang sudah menjadi pengemis yang utuh sejak lahirnya. Dan juga raja itu! Apakah sudah takdirnya untuk hidup dalam kemewahan, di istana-istana megah dengan sofa empuknya. Apakah memang seperti itu adanya? Maka ia ingat kembali segala pembelajaran yang dulu ia dapatkan dari guru-gurunya. Dibaliknya pandangan dari “senyuman” itu ke arah dirinya sendiri. Menyelam ke kedalam hatinya mengecek kembali apa yang terjadi. Di dalam hatinya ia melihat sesosok hamba yang mulai merintih memohon kepada Tuhannya, berdoa dalam kekhusuannya. Meminta dengan segala kerendahan hatinya atas segalah kebutuhannya yang mendesak. Dan dengan segerah Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang memenuhi hajad-hajad si hamba. Seperti pengemis yang dilihatnya sesaat yang lalu, persis dengan itu ia pun tersenyum puas.
Setelah ia mendapatkan hajadnya. Ia yang bahagia lalu membalikkan badan dan pergi meninggalkan Tuhannya. Di masyarakanya ia menjadi manusia kaya raya yang zalim. Harta yang melimpah membautnya hidup dengan kemewahan. Ia lupa bersedekah, berzakat, menyantuni fakir miskin dan orang yang kesusahan hidupnya, apa lagi memerdekakan budak. Sosok yang ia lihat dihatinya membuatnya begitu marah, hingga semakin jelas wajahnya tersingkapkan. Wajah itu sangat akrab dengannya, ia tak mungkin melupakan wajah itu, karena wajah itu adalah dirinya sendiri.
Pada akhirnya ia menjadi sangat malu. Kini ia tahu dengan pasti alasan mengapa ia marah pada pengemis itu. Ia seperti melihat dirinya sendiri di hadapan Tuhan menjadi seoarang pengemis. Ya manusia sudah selayaknya mengemis di hadapan_Nya. Namun setelah terpenuhinya hajad-hajadnya, ia lalu meninggalkan hak Tuhan untuk membelanjakan harta pada perniagaan yang mensejahterakan orang lain. Yang ia benci sebenarnya adalah dirinya! Pengemis itu bagaikan cermin yang memantulkan refleksi dirinya. Kini dialah orang yang hina, dialah pengemis yang hina. Sedangkan sang pengemis sudah seharusnya disantuni, dan menaruh rasa iba padanya. Bukankah didebagian harta seseorang ada hak orang lain.
Dia merasa sangat hina dihadapan pengemis itu, dan dihadapan Tuhan yang maha baik. Sama seperti budak perempuan itu. Manusialah yang menciptakan tatanan seperti itu. Dan Tuhan tentu telah menetapakan keadilannya. “Oh malangnya! Aku pengemis penipu.” sesal dalam hatinya. Pengemis yang memanfaatkan kebaikan, kasih, sayang, dan cinta Tuhan. Tangisan itu hanya kepalsuan belaka, sebuah kamuflase yang dipajang ketika menjalankan perannya sebagai pengemis di hadapan Sang Maha Pengasih. Sungguh tega pengemis ini menipu Sang Maha Penderma. “Akulah penipu yang munafik!”
*****
EPILOG
Bukankah seperti itu yang diajarkan dan ditunjukan seorang penggembala domba dari jazirah arab. Yang kemudian menjadi pemimpin kaum miskin. Yang menghilangkan perbudakan dari dunia. Yang ilmunya seluas langit dan bumi, namun selalu berbicara dengan sederhana pada ummatnya, masyarakatnya, musuhnya, pecintanya. Perilakunya menggambarkan pengetahuaanya yang seluas samudera. Beliau adalah pimpinan negaranya, jendral para tentaranya, imam bagi ummatnya, suami dari istrinya, bapak dari anak-anaknya. Beliau menjalankan perannya tanpa paradoks, non kontradiksi. Pekerjaannya menaruh rasa bahagia kepada manusia-manusia yang kehilangan arah. Tugas baginda membawa kabar kembira bagi meraka yang hancur hatinya. Bahwa ia telah ditunjuk karena cahaya pengetahuan yang merupakan jiwanya yang suci. Dialah guru para guru, dialah Ahmad sang paraqlita (penerang).
Allahumma salli ala Muhammad wa Ali Muhammad...
Shalom... salam... santi... damai..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar