Masa persiapan menjadi saat-saat yang menyenangkan setiap kali ia
akan melakukan perjalanan. Seperti ketika ia akan berangkat pulang
kampung, jalan-jalan, liburan, piknik, naik gunung, hunting foto, atau
ke kota lain. Ya, senang rasanya ketika akan melakukan perjalanan dan
mempersiapkan segala bekal baik untuk diri maupun untuk orang terkasih,
teman seperjalanan. Lalu ia tersadar bahwa seluruh hidup ini adalah
sebuah bagian perjalanan.
Semalam mimpi memberi ia
pertanda yang tidak asing tafsirnya. Pernah ia temukan tafsirnya pada
sebuah buku. Penulis buku itu dalam sebuah kisah dianugerahi kemampuan
menafsir mimpi setelah menolak berzina dengan isteri sodagar kaya raya
yang cantik jelita. Sangat mirip dengan kisah Nabi Harun as. yang mampu
menafsir mimpi raja dalam kitab-kitab suci. Nama beliau adalah ibnu
sirin yang sangat menginspirasi kaum muda untuk menjaga kesucian diri.
Dalam
buku mimpi itu ditafsirkannya bahwa “seorang laki-laki dari keluarga
terkasih pemimpi akan melakukan perjalanan”. perjalanan ini adalah
perjalanan sebenarnya setelah beristirahat, bersenda-gurau, berbagi
kasih-sayang, mengungkapkan cinta di dunia dalam beberapa saat yang
singkat. Perjalanan selanjutnya ini adalah perjalanan abadi. Perjalanan
ini adalah perjalanan yang dinanti oleh setiap jiwa yang rindu untuk
pulang ke kampung halamannya, seperti kata Rumi dalam puisi suling
bambunya.
“Kisah Lagu Seruling”
Dengar alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku
Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu
Ya!
Seseorang yang jiwanya begitu merindu akan segera berpulang ke “Rumpun
Bambunya”, seperti itu kira-kira tafsir dari mimpi itu. Baginya ini
bukan mimpi yang buruk, akal menolaknya. Karena mana mungkin ada seorang
perantau yang benar-benar lupa untuk pulang. Bahkan seorang yang sibuk
sekalipun di rantaunya, yang menikah, beranak pinak, hidup layak, punya
rumah bak istana, sesekali dalam hidupnya tak terbersit dipikiranya
untuk pulang ke kampung halamannya. Ya! Kerinduan itulah yang tidak bisa
ditolak. Jiwa dan kampung halamannya.
Mimpi itu
mengantarkan ia pada masa-masa silam yang begitu kelam pada sudut
pandangnya saat itu, dan sekaligus pada masa-masa yang menyenangkan.
Menghadapkan ia pada serang pemuda yang bersedih, pesimis, yang di
bibirnya selalu nampak setengah lengkungan ke bawah, karena segala hal
yang “menakutkan” akan tepat berada di hadapannya di masa depan,
menghantui hari-harinya. Hidup menjadi neraka bahkan sebelum ia melihat
neraka sebenarnya, masa depan menjadi teroris yang sekonyong-konyong
mengantarkan padanya bom terbesar yang mungkin akan ditemuinya. Ia
menyebutnya “kematian”.
Namun entah banyak hal yang
akhir-akhir ini menjadi sangat berubah. Kini sudut pandangnya berputar
180 derajat. Ia melihat masa depan bukan lagi sesuatu yang menakutkan.
Ia sekarang bahagia, optimis, dan dari bibirnya ada cahaya bulan sabit
yang indah. Setelah ia menyadari bahwa semua jiwa memang sudah harus
berpulang ke Kampung abadinya. Matanya kini selalu menatap ke ufuk
kerinduannya. Jiwanya saat ini lebih siap menerima tafsir mimpi itu.
Kini
yang harus ia lakukan adalah mempersiapkan sebuah perjalan. Ia sadar
harus mengumpulkan beberapa ransum yang akan dijadikan bekal yang pas
untuk membawanya dalam perjalan panjang ini. Jika ia tidak bisa membawa
carier 90lt mungkin 35lt sudah cukup. Yang terpenting ia tidak melupakan
bahkan menganggap enteng persiapan itu hingga melalaikannya. Bukankah
ia senang dengan pesiapan-persiapan di setiap awal perjalanannya!?
Akhirnya
ia yakin kalau bukan ia yang dahulu memulai perjalanannya. Bisa juga
orang yang ia kasihi, sayangi, cintai lebih dahulu meninggalkannya. Baik
itu laki-laki ataupun perempuan. Bukankah semua manusia berasal dari
Rumpun Bambu yang sama? Kampung halaman yang sama? Maka manusia adalah
sebuah keluarga besar yang sedang bersiap-siap untuk pulang Kampung. Ada
yang lebih dahulu, ada juga yang kemudian, dan terkadang beramai-ramai.
Kendaraannya pun bereda-beda, ada yang naik kereta super jet, bus jet,
bus tua, concorde, kereta ekonomi, kuda, keledai, sapi, motor, kambing,
elang, kura-kura, mobil, sepeda, merpati, dan ada yang mengendari buraq.
Semua menuju tempat yang sama.
Saat ini yang bisa ia
lakukan adalah menunggu giliran. Yang bisa ia lakukan adalah
bersiap-siap. Yang bisa ia lakukan adalah berdoa. Ia bahagia karena ia
tahu dengan pasti bahwa satu-satunya tempat kembali adalah rumahnya,
Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyang. Ke mana lagi manusia dapat
berpulang? Ke mana lagi “Kampung” yang lain? Jawabnya pasti tidak ada,
dan itu adalah neraka terburuk.
Walapun belum terjadi ia
akan mempersiapkan diri untuk mendengar seorang yang ia kasihi mendapat
undangan dari langit. Ia akan bersiap sebaik mungkin walau dengan air
mata yang membanjiri wajahnya sebagai tanda cintanya. Ia akan bersiap!
PS: "Bagaimana
mungkin dia yang merasa lemah karena memang tidak punya daya, sedangkan
"tangannya" terus-menerus menadah curahan kasih dan sayang, mampu untuk
mengangkat kepalanya yang merunduk dan bersimpuh. Ia yang Modalnya
hanya harapan, maka ia meneteskan untaian harapan."
(Awal minggu, pada saat bulan penuh. Di dalam kotak tempatku berteman demam.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar