Minggu, 08 Desember 2013

YANG (SEDANG) BERSIAP..

Masa persiapan menjadi saat-saat yang menyenangkan  setiap kali ia akan melakukan perjalanan. Seperti ketika ia akan berangkat pulang kampung, jalan-jalan, liburan, piknik, naik gunung, hunting foto, atau ke kota lain. Ya, senang rasanya ketika akan melakukan perjalanan dan mempersiapkan segala bekal baik untuk diri maupun untuk orang terkasih, teman seperjalanan. Lalu ia tersadar bahwa seluruh hidup ini adalah sebuah bagian perjalanan.

Semalam mimpi memberi ia pertanda yang tidak asing tafsirnya. Pernah ia temukan tafsirnya pada sebuah buku. Penulis buku itu dalam sebuah kisah dianugerahi kemampuan menafsir mimpi setelah menolak berzina dengan isteri sodagar kaya raya yang cantik jelita. Sangat mirip dengan kisah Nabi Harun as. yang mampu menafsir mimpi raja dalam kitab-kitab suci. Nama beliau adalah ibnu sirin yang sangat menginspirasi kaum muda untuk menjaga kesucian diri.

Dalam buku mimpi itu ditafsirkannya bahwa “seorang laki-laki dari keluarga terkasih pemimpi akan melakukan perjalanan”. perjalanan ini adalah perjalanan sebenarnya setelah beristirahat, bersenda-gurau, berbagi kasih-sayang, mengungkapkan cinta di dunia dalam beberapa saat yang singkat. Perjalanan selanjutnya ini adalah perjalanan abadi. Perjalanan ini adalah perjalanan yang dinanti oleh setiap jiwa yang rindu untuk pulang ke kampung halamannya, seperti kata Rumi dalam puisi suling bambunya.

 “Kisah Lagu Seruling”

Dengar alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan

Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku

Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu

Ya! Seseorang yang jiwanya begitu merindu akan segera berpulang ke “Rumpun Bambunya”, seperti itu kira-kira tafsir dari mimpi itu. Baginya ini bukan mimpi yang buruk, akal menolaknya. Karena mana mungkin ada seorang perantau yang benar-benar lupa untuk pulang. Bahkan seorang yang sibuk sekalipun di rantaunya, yang menikah, beranak pinak, hidup layak, punya rumah bak istana, sesekali dalam hidupnya tak terbersit dipikiranya untuk pulang ke kampung halamannya. Ya! Kerinduan itulah yang tidak bisa ditolak. Jiwa dan kampung halamannya.

Mimpi itu mengantarkan ia pada masa-masa silam yang begitu kelam pada sudut pandangnya saat itu, dan sekaligus pada masa-masa yang menyenangkan. Menghadapkan ia pada serang pemuda yang bersedih, pesimis, yang di bibirnya selalu nampak setengah lengkungan ke bawah, karena segala hal yang “menakutkan” akan tepat berada di hadapannya di masa depan, menghantui hari-harinya. Hidup menjadi neraka bahkan sebelum ia melihat neraka sebenarnya, masa depan menjadi teroris yang sekonyong-konyong mengantarkan padanya bom terbesar yang mungkin akan ditemuinya. Ia menyebutnya “kematian”.  

Namun entah banyak hal yang akhir-akhir ini menjadi sangat berubah. Kini sudut pandangnya berputar 180 derajat. Ia melihat masa depan bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Ia sekarang bahagia, optimis, dan dari bibirnya ada cahaya bulan sabit yang indah. Setelah ia menyadari bahwa semua jiwa memang sudah harus berpulang ke Kampung abadinya. Matanya kini selalu menatap ke ufuk kerinduannya. Jiwanya saat ini lebih siap menerima tafsir mimpi itu.

Kini yang harus ia lakukan adalah mempersiapkan sebuah perjalan. Ia sadar harus mengumpulkan beberapa ransum yang akan dijadikan bekal yang pas untuk membawanya dalam perjalan panjang ini. Jika ia tidak bisa membawa carier 90lt mungkin 35lt sudah cukup. Yang terpenting ia tidak melupakan bahkan menganggap enteng persiapan itu hingga melalaikannya. Bukankah ia senang dengan pesiapan-persiapan di setiap awal perjalanannya!?

Akhirnya ia yakin kalau bukan ia yang dahulu memulai perjalanannya. Bisa juga orang yang ia kasihi, sayangi, cintai lebih dahulu meninggalkannya. Baik itu laki-laki ataupun perempuan. Bukankah semua manusia berasal dari Rumpun Bambu yang sama? Kampung halaman yang sama? Maka manusia adalah sebuah keluarga besar yang sedang bersiap-siap untuk pulang Kampung. Ada yang lebih dahulu, ada juga yang kemudian, dan terkadang beramai-ramai. Kendaraannya pun bereda-beda, ada yang naik kereta super jet, bus jet, bus tua, concorde, kereta ekonomi, kuda, keledai, sapi, motor, kambing, elang, kura-kura, mobil, sepeda, merpati, dan ada yang mengendari buraq. Semua menuju tempat yang sama.

Saat ini yang bisa ia lakukan adalah menunggu giliran. Yang bisa ia lakukan adalah bersiap-siap. Yang bisa ia lakukan adalah berdoa. Ia bahagia karena ia tahu dengan pasti bahwa satu-satunya tempat kembali adalah rumahnya, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyang. Ke mana lagi manusia dapat berpulang? Ke mana lagi “Kampung” yang lain? Jawabnya pasti tidak ada, dan itu adalah neraka terburuk.

Walapun belum terjadi ia akan mempersiapkan diri untuk mendengar seorang yang ia kasihi mendapat undangan dari langit. Ia akan bersiap sebaik mungkin walau dengan air mata yang membanjiri wajahnya sebagai tanda cintanya. Ia akan bersiap!


PS:  "Bagaimana mungkin dia yang merasa lemah karena memang tidak punya daya, sedangkan "tangannya" terus-menerus menadah curahan kasih dan sayang, mampu untuk mengangkat kepalanya yang merunduk dan bersimpuh. Ia yang Modalnya hanya harapan, maka ia meneteskan untaian harapan."

(Awal minggu, pada saat bulan penuh. Di dalam kotak tempatku berteman demam.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar