By: hajirndud
“Sudah lama terakhir kali ketika bola matanya meneteskan harapan & kerinduan. Lama ketika ketakutan menyelubungi pikirnya. Lama mengira hatinya telah ‘membatu’.”
Peperangan selesai saat masyarakat saling bahu-membahu mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh. Dipimpin oleh seorang panglima perang dari golongan petani sederhana. Mereka mengusir lawan-lawan dengan gagah berani hanya dengan menggunakan alat sederhana, pun dengan jumlah mereka yang tak seberapa. Singkat cerita Sang Panglima akhirnya diangkat menjadi Raja oleh rakyatnya karena kebijaksanaan dalam memimpin. Kemudian negeri ini menjadi negeri yang makmur, sejahtera, dan damai.
Raja yang bijak suatu ketika melakukan percobaan pada rakyatnya. Dititahkan agar setiap orang, pada suatu malam yang telah di tentukan, membawa sesendok madu untuk di tuangkan pada sebuah bejana yang telah disediakan di puncak bukit di tengah kota. Seluruh warga sepakat dan memahami benar perintah tersebut dan menyatakan kesediaan mereka untuk melaksanakannya sebagai kewajiban yang sudah selayaknya. Mereka tahu benar tentang hak sang raja tersebut, yang untuk kali pertama meminta sesuatu imbalan pada rakyatnya.
Setan datang dari segala arah, mengendap-mengendap, mengincar setiap celah di hati manusia yang lalai. Di hati seorang yang dibelokkan membuncah rasa ingin mengelak, mencari pembenaran atas suara ‘hatinya’ yang gelisah, “Aku akan membawa sesendok penuh, tetapi bukan madu. Aku akan membawa air. Kegelapan malam akan melindungi dari pandangan mata seseorang. Sesendok air tidak akan memengaruhi bejana yang kelak akan diisi madu oleh seluruh warga kota.”
Hingga tiba saat yang telah ditetapkan. Bejana telah terisi penuh. Titah raja telah ditunaikan tepat pada waktunya. Namun apa yang terjadi kemudian bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh sang raja. Rupanya hampir seluruh rakyat lalai hatinya dan kemudian berhasil dibimbangkan oleh setan tentang hak sang raja. Bejana itu sekarang penuh, bukan dengan madu di dalamnya, tapi dengan air yang hampir-hampir sangat jernih dengan sisa-sisa madu yang mulai larut.
Ps: (versi lentera hati – ust.Quraish Shihab – 2007)
Setelah itu raja mengumumkan kepada rakyatnya. Raja mengumumkan kepada rakyatnya seperti apa yang diharapkan rakyatnya yang lalai. Raja mengumumkan bahwa titahnya telah terpenuhi, rasa terima kasih kepada rakyat karena telah mengumpulkan madu sesuai dikabarkan ke pelosok negeri. Sang raja merasa ia melakukan kebajikan dengan sikap itu. Sang raja takut rakyatnya menjadi kecewa dengan dirinya sendiri karena sudah lalai dengan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Hingga malaikat dalam diri raja pun mengamininya, katanya, “Sudah benar apa yang kau lakukan, jangan tunjukan kebenarannya. Biarlah rakyatmu merasa benar, damai, tenang, tanpa rasa bersalah, maka negerimu akan damai.” Berbohonglah demi kebaikan bersama, simpul hatinya.
Dengan rasa lega bercampur tatapan terkejut, mereka yang tak menyangka akan hasil yang diumumkan raja semakin kuat hatinya terhadap apa yang coba ia benarkan, bahwa sesendok air tidak akan berpengaruh banyak pada sebejana madu. Ia semakin yakin, yakin bahwa dirinya tidak salah mengambil keputusan itu. yang berarti semua orang yang melakukan hal sama pun semakin kuat dengan pembenarannya, pilihan yang sangat ‘benar’ bagi hatinya sekaligus juga sangat ‘salah’ karena mereka akhirnya mendustakan hak raja mereka, hak yang sudah seharusnya diberikan karena itulah kebenaran yang mereka jungkir balikkan.
Berjalannya waktu negeri itu menampakkan ‘ketenangan’, tapi ada yang menjanggal dari citra negeri itu. Suatu ketika sang raja berkeliling kota. Ditemuinya seorang yang tak pernah ia jumpai. Entah dari negeri mana? Yang jelas dia pasti seorang pelancong miskin dengan pakaian lusu. Sekonyong-konyongnya ia berteriak di hadapan raja; “Raja munafik! Hentikan kebajikanmu itu! Kau seorang raja yang harusnya meneriakkan kesalahan atas perilaku rakyatmu, kau bukan malaikat, kau bukan prajurit, bukan pahlawan, bukan nabi, kau hanya seorang penipu, pembohong, kau seorang penjilat.”.
Sang raja terkejut mempertanyakan maksud dari orang asing tersebut. Mencoba membalas kalimat itu dengan bibir bergetar dan ragu. Belum juga sempat mengedip, sosok itu menghilang, seakan tak pernah ada. Lenyap bak kilat menyambar meninggalkan gemuruh yang terngiang-ngiang bergemah membelah keponggahan batu yang kuat di dalam dadanya. Masih juga raja mencoba menafsir kata demi kata dari si asing. Namun sudah hancur, luluh lantah hati sang raja. Ia hanya lagi dan lagi menenangkan dirinya, merasionalkan segalanya, lalu pembenaran atas dirinya, “Itu suara setan! Ya setan yang coba mongombang-ambingkan bahteraku. Setan harus dijauhi, dia menyesatkan.”
Di lain waktu, sampailah sebuah risalah di negeri itu. yang tidak pernah sama sekali diketahui sang raja. Dibawa oleh pedagang-pedagang dari negeri yang jauh. Kira-kira bunyinya, “Siapa yang dizalimi dirinya oleh orang lain, itu karena ia membiarkannya.” Ungkapan yang sangat runut. Akal akan menerima dengan penuh dan nir penyangkalan. Yah tentu saja, kezaliman hanya terjadi jika ada yang menzalimi dan ada yang dizalimi, pun orang yang dizalimi akan tetap terzalimi jika ia tidak mencoba menjaga dirinya dari kezaliman orang lain. Toh raja tahu betul bahwa kezaliman adalah anti dari kemanusiaan, karena fitrah manusia harusnya membawa kita pada kedamaian, saling berbagi, dan keadilan. Dan sekali lagi kezaliman adalah anti dari kemanusiaan.
Di negeri yang damai itu, ternyata tidak lebih dari perumpamaan semangka yang indah tampakannya namun menyimpan kebusukan di dalammnya. Raja kini mendapati rakyatnya saling berpecah. Apa penyebabnya? Tanya raja bingung. Seorang rakyatnya menjelaskan ‘Si A memiliki janji hutang pada si B tapi janji itu tak kunjung ditepati. Si A berontak menagih janji, dengan ramah pada awalnya namun Si B tak kunjung menepatinya. Lama waktu berselang si A berada dalam kondisi terjepit. Ia hampiri B menagih janji sekali lagi (untuk kesekian kali). Sial! Tapi B belum siap, ia mengira A telah melupakannya atau setidaknya masih bisa ditunda. Namun terlambat untuknya, ia tewas di tangan A yang pitam, kalap, pesakitan, buta hati karena deritanya.”.
Persidangan lalu dia adakan untuk menentukan nasib A. Sidang yang ‘adil’ memvonis mati si A tanpa pembelaan, tanpa banding, tanpa memohon, ia menerima penuh kesalahannya. Mati meninggalkan duri, duka, dan luka bagi negeri damai. Membuka tabir dari citra negeri yang terlihat baik-baik saja.
Waktu terus membanting dirinya, kini telah lama semenjak kematian itu bersuar di negeri sang raja. Namun sekarang berbeda, malam-malam sang raja tak pernha sama lagi. Temannya hanya mimpi buruk, penyesalan, ia merasa dibuntuti di sebuah lorong gelap tanpa seorang yang berlalu-lalang atau menemani. Raja menyesal tapi tak tahu apa yang disesalinya. Ia bingung, menyesal, kalah, tanpa tahu apa sebabnya.
Hingga pada siang bolong yang silau dengan matanya masih sayup-sayup membuka. Dua sosok yang akrab di masa-masa yang lalu muncul di hadapanya. Satu malaikat yang selalu mendukungnya, dan satu setan yang membencinya, menolaknya, memakinya. Dan melempar semua ingatan, menghantam kepalanya yang kebingungan tentang awal kisah ini bermula, dengan sentakan yang mengerikan, “Kisah sesendok madu”. Dan risalah itu, ya risalah yang belum pernah terdengar sebelumnya, risalah dari negeri yang jauh di ufuk harapannya. Sekonyong-konyongnya ia pecah ditemani petir dan guntur. Dipacuhnya kuda dengan pelana yang mencekiknya. Di hati dan pikirannya terhubung segala sesuatu, segala hal yang coba ia sembunyikan, yang coba tipu dirinya sendiri, tapi kali ini tidak ada kalimat yang mampu membenarkan, sama sekali tidak ada. Sekonyong-konyongnya semua mejadi jelas, bahwa madu harus tetap menjadi madu, karena air dan madu masing-masing punya kesempurnaannya sendiri. Dikarenakan madu yang berubah menjadi air, maka menipu, membunuh, merampas, curang, berharap, menindas yang lemah, memperkosa, despostis, korup, semua menjadi benar adanya. Ya! Akan menjadi benar, karena air bagaimanapun akan menjadi madu di hadapan sang raja. Bahkan jika madu itu berubah menjadi bangkai, darah, daging, tinja, tanah hitam, air selokan, bagi sang raja itu adalah madu. Yang ada hanya penyesalan, dari bibirnya yang kering terdengar, “Aku telah membunuh... Aku seorang pembunuh... Aku raja yang zalim....”
Epilog.
Sang raja melanjutkan hidup dengan damai. Rakyatnya damai. Atas nama rakyatnya, Raja tetap menjadi pengikut malaikat. Ia menyimpan dalam-dalam bisikan setan itu. Dan risalah jauh itu ditulis hanya dalam hatinya. Ia terlalu sungkan pada rakyatnya. Ia terlanjur sayang. Hingga ia mati dengan menyimpan rahasia yang rapat tak bercelah di dalam kerangkeng limbo.
"karena cinta harus diungkapakan maka ku suarakan ke penjura negeri, lautan dan dunia. 'aku mencintai mu'. lalu sekonyong-konyongnya matanya menumpahkan kasih."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar