Minggu, 08 Desember 2013

SAKIT DAN BAHAGIA!

Tuhan memperlihatkan padamu halilintar untuk menimbulakan ketakutan dan harapan..... (al-Ra'd 12)


Tidak ada yang benar-benar senang dengan sakit, atau lebih tepatnya adakah seseorang yang ingin sakit? Senang menjadi pesakitan! Tentu tidak jawabnya. Sakit menjadi momok dalam kehidupan manusia, rasa yang asing, aneh, dan berbeda dari ketika sehat. Tanpa penjelasan, tanpa dipersiapkan, diduga, sekonyong-konyong bisa menjadi benalu yang menyerap energi si pesakitan, membuatnya lemah tak berdaya. Tubuh perkasa, kerempeng, tirus, gemuk, sixpack, langsing ketika angin ini menghampiri tubuhnya tidak ada seorang yang bisa menolak. Perbedaannya hanya pada cepat atau lambatnya ia dapat bertahan darinya, meminjam bahasa seorang teman dokter “tergantung imunitasnya”.

Sudah 20 jam ia hanya berselimut saja, bukan hanya selimut, ‘sleeping bags’ yang menjadi perlengkapan tidur pendaki untuk menghangatkan diri dari ganasnya suhu dingin di puncak-puncak tertinggi di dunia, membungkusnya rapat-rapat bersama selimut yang melilitnya dan jaket hangat yang ia kenakan. Padahal suhu di kota saat itu tidak seperti di atas puncak pegunungan. Kota itu berada di tepian pantai. Dan seperti biasa, kota di tepi pantai selalu punya suhu yang hangat atau lebih sering panas. Sekitar 27 derajat celsius saat itu.
Peluh terus mengucur deras dari setiap celah pori-pori tubuhnya. Namun selama berjam-jam ia hanya menetap dalam rutan selimut tak bercelah yang membuat badannya mendidih. Tapi yang ia rasakan hanya kedinginginan tak tertahankan atau mungkin indra perasanya sedang tidak berfungsi dengan baik, sehingga ia masih saja mengigil dalam jaket, berselimut dalam selimut seperti pisang molen. Ia masih saja mengigil, bukan karena kedinginan tapi karena rasa yang ‘asing’ yang menyelubungi dirinya.

Ia menjadi berhalusinasi, kenangan masa kecilnya tumpah ruah di hadapannya. Kenangan yang hampir ia lupakan. Kenangan ketika berada pada kondisi yang sama di masa-masa kecilnya dulu, di sebuah gubuk berdindingkan rotan yang dianyam menjadi seperti tripleks. Ketika malam datang dan angin berhembus, dari sela-sela anyaman yang tidak terlalu rapat akan berhembus angin sepoi-sepoi nan sejuk atau kadang sangat dingin, karena rumah tua itu berada di daerah perbukitan yang rindang. Orang-orang menyebut dinding itu  “kamacca”.

Kenangan ketika bapaknya memegang kedua tangan saat ia tertidur dalam demam tinggi, lalu berkata “kamu sakit, nak!” dengan raut muka memerah khawatir. Sekonyong-konyong hatinya menjadi bahagia. Ia yang hidup sendiri, mengurusi dirinya sendiri, menyelimuti dirinya sendiri, jauh dari kedua orangtuanya, keluarga, kerabat, tersenyum puas dalam halusinasinya. Bapaknya seakan-akan hadir di hadapannya seperti masa-masa itu. Ia bahagia karena dalam kesendiriannya dengan tubuhnya yang menjadi pesakitan dan mulai memaki, menghujat, mencemooh pada ‘sakit’. Kini semua berubah menjadi rasa syukur, damai, akan segala anugerah yang melimpah ruah dalam hidupnya. Termasuk masa-masa sehat yang panjang ia rasakan, ia gunakan untuk berteman, berbagi kasih, disayangi, menyayangi, belajar, diajari, mencintai, dicintai, mengasihi, dikasihi, bersedekah, disedekahi. Bahwa dalam hidupnya lebih banyak ia lalui dengan kebahagiaan, nikmat, anugerah yang tak mungkin menafikkannya.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Qs al-Rahman 36) 

Sempat ia merasa sangat benci dengan tubuhnya yang merasakan hal yang ‘asing’ itu. Dalam imajinya muncul wajah-wajah yang sepertinya sangat membenci dirinya. Seakan tak ada seorang pun yang menaruh rasa iba, simpati dan empati padanya. Ia dibutakan prasangkanya. Setiap panggilan, salam, sapaan, senyuman, begitu palsu di matanya. Entah mengapa dalam kondisi ‘asing’ ini rasa benci, dendam, yang bersemayam di hatinya tetiba saja muncul mendongengkan kemalasan pada setiap orang yang ia kenali. Seakan-akan tidak ada lagi orang baik (mengerti dirinya) di dunia ini. Setiap tatapan mata yang mengarah padanya seperti lampu sorot yang seakan-akan ingin menghakimi, mempersalahkan, menghujat, membunuh setiap kemungkinan baik yang mungkin ada. Ia merasa kesepian di tengah hiruk-pikuk keramaian. Entah mengapa ia menjadi seorang yang benar-benar berbeda, ia cemas, marah, hatinya penuh dengan prasangka negatif. Rasionalitasnya menjadi sangat kabur, buram, bahkan hilang. Ia menjadi pesakitan bukan hanya pada tubuhnya, tapi juga pada jiwanya. Oh, malang benar ia, sekejap kebahagiaannya sirna, hilang bersama energi yang terus dihisap oleh sakitnya, hilang bersama keringat yang mengucur deras dari tubuhnya, bersama hatinya yang buta dan mulai membatu. Ia menjadi pesakitan yang menderita.

“Bila Tuhan memberi kemuliaan dan anugerah, manusia akan mengatakan bahwa Tuhan sedang memuliakannya. Dan, jika Ia menyempitkan rezeki, manusia akan berfikir bahwa Tuhan sedang merendahkannya. Sama sekali tidak seperti itu.” (Qs al-Fajr: 15-17)

Lalu kenangannya tentang masa-masa kecilnya yang penuh perhatian dari bapaknya tercinta, masa-masa sehatnya yang penuh kebahagian bersama orang-orang terkasih, membantingnya dengan hantaman yang sangat keras tepat di jantung hatinya. Menghantamnya tepat di pusat prasangkanya, menampar setiap kemarahannya, kecemasanya, kesepiannya mulai sirna seiring bahagia yang mulai memenuhi hatinya. Kebahagian yang lahir dari kebahagiaan yang ia saksikan sehari-harinya ketika ia sehat. Ia tersadar bahwa di dalam hatinya ia menyimpan batu yang kotor, yang tetiba timbul-tenggelam karena sakit yang menimpanya. Sakit yang ia dapatkan karena syarat-syaratnya terpenuhi, sakit yang ia mengambil peran dalamnya. Maka dengan sakit ia tahu dengan pasti bahwa ia bukan orang yang suci, bukan orang yang bersih dari kotoran, ia lalu mampu melihat segala plak-plak, borok hitam yang mulai mengeras di hatinya, dan baru tercium bau busuknya. Dengan sakit ia sadar bahwa betapa nikmatnya masa-masa sehat yang ia lalui dengan bahagia, dan tetiba mempersalahkan semua orang yang tidak iba, simpati, empati padanya yang ujung-ujungnya mempersalahkan Tuhan atas apa yang menimpanya. Oh, sama sekali tidak seperti itu.

Setan telah menghias prasangka itu dalam hati kalian. Kalian telah berprasangka buruk, maka jadilah kalian kaum yang menderita (Qs al-fath 12)

Dalam selimut berselimutnya beserta tubuhnya yang mulai mampu merasakan suhu yang begitu panas diakibatkan berlapis-lapis kain yang melilit tubuhnya yang berpeluh. Ia merasakan kelegaan yang begitu menenangkan hatinya, dan kaos yang paling dekat dengan kulitnya terasa begitu basah, tembus hingga selimut sebelum sleeping bag. Ia menjadi begitu bersemangat dan bahagia, ia ingin sehat lalu segera bertemu teman-temanya tercinta, berbagi cerita, senyuman, ilmu, kesedihan, tangisan, coklat, biskuit, permen, buku, novel, pengetahuan. Kini ia mampu membedakan suhu ruang sekitar, lalu satu persatu melepas selimut terluar hingga mengganti baju basahnya yang sudah bisa diperah saking basahnya. Ia ambil segelas air, dan lalu menelan pil pahit yang kurang ia sukai. Ia ingin segera sehat kembali.

Bersama piluh yang mengucur deras keluar dari tubuhnya, menguaplah kebenciaan di hatinya. Sekarang ketika seorang bertanya padanya ketika ia sakit, ia akan menjawab bahwa ia sedang sakit, namun ia bahagia. Jika ditanya mengapa ia bahagia padahal sedang sakit? Ia akan menjawab karena sakit ia sadar kasih sayang Tuhan selalu tercurah baginya. Karena sakit ia tahu bahwa ia makhluk yang lemah. Karena sakit orang-orang mengasihinya, mendoakannya. Karena sakit ia mengenal dirinya.”

“Ya Allah, aku tidak tahu. Apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam kondisi sakitku ini. Sebab, berkat sakit ini, aku terhindar dari berbagai kenistaan, aku  punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul bersama keluarga.” (Doa Imam Ali Zainal Abidin saat beliau sakit.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar