Tuhan memperlihatkan padamu halilintar untuk menimbulakan ketakutan dan harapan..... (al-Ra'd 12)
Tidak
ada yang benar-benar senang dengan sakit, atau lebih tepatnya adakah
seseorang yang ingin sakit? Senang menjadi pesakitan! Tentu tidak
jawabnya. Sakit menjadi momok dalam kehidupan manusia, rasa yang asing,
aneh, dan berbeda dari ketika sehat. Tanpa penjelasan, tanpa
dipersiapkan, diduga, sekonyong-konyong bisa menjadi benalu yang
menyerap energi si pesakitan, membuatnya lemah tak berdaya. Tubuh
perkasa, kerempeng, tirus, gemuk, sixpack, langsing ketika
angin ini menghampiri tubuhnya tidak ada seorang yang bisa menolak.
Perbedaannya hanya pada cepat atau lambatnya ia dapat bertahan darinya,
meminjam bahasa seorang teman dokter “tergantung imunitasnya”.
Sudah 20 jam ia hanya berselimut saja, bukan hanya selimut, ‘sleeping bags’ yang
menjadi perlengkapan tidur pendaki untuk menghangatkan diri dari
ganasnya suhu dingin di puncak-puncak tertinggi di dunia, membungkusnya
rapat-rapat bersama selimut yang melilitnya dan jaket hangat yang ia
kenakan. Padahal suhu di kota saat itu tidak seperti di atas puncak
pegunungan. Kota itu berada di tepian pantai. Dan seperti biasa, kota di
tepi pantai selalu punya suhu yang hangat atau lebih sering panas.
Sekitar 27 derajat celsius saat itu.
Peluh terus mengucur deras
dari setiap celah pori-pori tubuhnya. Namun selama berjam-jam ia hanya
menetap dalam rutan selimut tak bercelah yang membuat badannya mendidih.
Tapi yang ia rasakan hanya kedinginginan tak tertahankan atau mungkin
indra perasanya sedang tidak berfungsi dengan baik, sehingga ia masih
saja mengigil dalam jaket, berselimut dalam selimut seperti pisang
molen. Ia masih saja mengigil, bukan karena kedinginan tapi karena rasa
yang ‘asing’ yang menyelubungi dirinya.
Ia menjadi
berhalusinasi, kenangan masa kecilnya tumpah ruah di hadapannya.
Kenangan yang hampir ia lupakan. Kenangan ketika berada pada kondisi
yang sama di masa-masa kecilnya dulu, di sebuah gubuk berdindingkan
rotan yang dianyam menjadi seperti tripleks. Ketika malam
datang dan angin berhembus, dari sela-sela anyaman yang tidak terlalu
rapat akan berhembus angin sepoi-sepoi nan sejuk atau kadang sangat
dingin, karena rumah tua itu berada di daerah perbukitan yang rindang.
Orang-orang menyebut dinding itu “kamacca”.
Kenangan
ketika bapaknya memegang kedua tangan saat ia tertidur dalam demam
tinggi, lalu berkata “kamu sakit, nak!” dengan raut muka memerah
khawatir. Sekonyong-konyong hatinya menjadi bahagia. Ia yang hidup
sendiri, mengurusi dirinya sendiri, menyelimuti dirinya sendiri, jauh
dari kedua orangtuanya, keluarga, kerabat, tersenyum puas dalam
halusinasinya. Bapaknya seakan-akan hadir di hadapannya seperti
masa-masa itu. Ia bahagia karena dalam kesendiriannya dengan tubuhnya
yang menjadi pesakitan dan mulai memaki, menghujat, mencemooh pada
‘sakit’. Kini semua berubah menjadi rasa syukur, damai, akan segala
anugerah yang melimpah ruah dalam hidupnya. Termasuk masa-masa sehat
yang panjang ia rasakan, ia gunakan untuk berteman, berbagi kasih,
disayangi, menyayangi, belajar, diajari, mencintai, dicintai, mengasihi,
dikasihi, bersedekah, disedekahi. Bahwa dalam hidupnya lebih banyak ia
lalui dengan kebahagiaan, nikmat, anugerah yang tak mungkin
menafikkannya.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Qs al-Rahman 36)
Sempat
ia merasa sangat benci dengan tubuhnya yang merasakan hal yang ‘asing’
itu. Dalam imajinya muncul wajah-wajah yang sepertinya sangat membenci
dirinya. Seakan tak ada seorang pun yang menaruh rasa iba, simpati dan
empati padanya. Ia dibutakan prasangkanya. Setiap panggilan, salam,
sapaan, senyuman, begitu palsu di matanya. Entah mengapa dalam kondisi
‘asing’ ini rasa benci, dendam, yang bersemayam di hatinya tetiba saja
muncul mendongengkan kemalasan pada setiap orang yang ia kenali.
Seakan-akan tidak ada lagi orang baik (mengerti dirinya) di dunia ini.
Setiap tatapan mata yang mengarah padanya seperti lampu sorot yang
seakan-akan ingin menghakimi, mempersalahkan, menghujat, membunuh setiap
kemungkinan baik yang mungkin ada. Ia merasa kesepian di tengah
hiruk-pikuk keramaian. Entah mengapa ia menjadi seorang yang benar-benar
berbeda, ia cemas, marah, hatinya penuh dengan prasangka negatif.
Rasionalitasnya menjadi sangat kabur, buram, bahkan hilang. Ia menjadi
pesakitan bukan hanya pada tubuhnya, tapi juga pada jiwanya. Oh, malang
benar ia, sekejap kebahagiaannya sirna, hilang bersama energi yang terus
dihisap oleh sakitnya, hilang bersama keringat yang mengucur deras dari
tubuhnya, bersama hatinya yang buta dan mulai membatu. Ia menjadi
pesakitan yang menderita.
“Bila Tuhan memberi
kemuliaan dan anugerah, manusia akan mengatakan bahwa Tuhan sedang
memuliakannya. Dan, jika Ia menyempitkan rezeki, manusia akan berfikir
bahwa Tuhan sedang merendahkannya. Sama sekali tidak seperti itu.” (Qs
al-Fajr: 15-17)
Lalu kenangannya tentang masa-masa
kecilnya yang penuh perhatian dari bapaknya tercinta, masa-masa sehatnya
yang penuh kebahagian bersama orang-orang terkasih, membantingnya
dengan hantaman yang sangat keras tepat di jantung hatinya.
Menghantamnya tepat di pusat prasangkanya, menampar setiap kemarahannya,
kecemasanya, kesepiannya mulai sirna seiring bahagia yang mulai
memenuhi hatinya. Kebahagian yang lahir dari kebahagiaan yang ia
saksikan sehari-harinya ketika ia sehat. Ia tersadar bahwa di dalam
hatinya ia menyimpan batu yang kotor, yang tetiba timbul-tenggelam
karena sakit yang menimpanya. Sakit yang ia dapatkan karena
syarat-syaratnya terpenuhi, sakit yang ia mengambil peran dalamnya. Maka
dengan sakit ia tahu dengan pasti bahwa ia bukan orang yang suci, bukan
orang yang bersih dari kotoran, ia lalu mampu melihat segala plak-plak,
borok hitam yang mulai mengeras di hatinya, dan baru tercium bau
busuknya. Dengan sakit ia sadar bahwa betapa nikmatnya masa-masa sehat
yang ia lalui dengan bahagia, dan tetiba mempersalahkan semua orang yang
tidak iba, simpati, empati padanya yang ujung-ujungnya mempersalahkan
Tuhan atas apa yang menimpanya. Oh, sama sekali tidak seperti itu.
Setan
telah menghias prasangka itu dalam hati kalian. Kalian telah
berprasangka buruk, maka jadilah kalian kaum yang menderita (Qs al-fath
12)
Dalam selimut berselimutnya beserta tubuhnya yang
mulai mampu merasakan suhu yang begitu panas diakibatkan berlapis-lapis
kain yang melilit tubuhnya yang berpeluh. Ia merasakan kelegaan yang
begitu menenangkan hatinya, dan kaos yang paling dekat dengan kulitnya
terasa begitu basah, tembus hingga selimut sebelum sleeping bag. Ia
menjadi begitu bersemangat dan bahagia, ia ingin sehat lalu segera
bertemu teman-temanya tercinta, berbagi cerita, senyuman, ilmu,
kesedihan, tangisan, coklat, biskuit, permen, buku, novel, pengetahuan.
Kini ia mampu membedakan suhu ruang sekitar, lalu satu persatu melepas
selimut terluar hingga mengganti baju basahnya yang sudah bisa diperah
saking basahnya. Ia ambil segelas air, dan lalu menelan pil pahit yang
kurang ia sukai. Ia ingin segera sehat kembali.
Bersama
piluh yang mengucur deras keluar dari tubuhnya, menguaplah kebenciaan di
hatinya. Sekarang ketika seorang bertanya padanya ketika ia sakit, ia
akan menjawab bahwa ia sedang sakit, namun ia bahagia. Jika ditanya
mengapa ia bahagia padahal sedang sakit? Ia akan menjawab karena sakit
ia sadar kasih sayang Tuhan selalu tercurah baginya. Karena sakit ia
tahu bahwa ia makhluk yang lemah. Karena sakit orang-orang mengasihinya,
mendoakannya. Karena sakit ia mengenal dirinya.”
“Ya
Allah, aku tidak tahu. Apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam
kondisi sakitku ini. Sebab, berkat sakit ini, aku terhindar dari
berbagai kenistaan, aku punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul
bersama keluarga.” (Doa Imam Ali Zainal Abidin saat beliau sakit.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar