Minggu, 08 Desember 2013

MAKA BERBAHAGIALAH

Lama aku menanti sebuah perjumpaan. Perjumpaan yang cemas dan harapan bergonta-ganti meramaikan setiap detik penantian. Pertanda dari sebuah mimpi yang berarti kepergian atau juga kelahiran. Bagaikan sebuah sekoci yang tersesat di hamparan lautan lepas, mananti bala bantuan, menyerah atau berserah. Lalu  antara pergi atau datang, hadir atau pergi, lahir atau mati, akhirnya yang dinantikan memilih untuk terlahir, hadir sebagai buah harapan yang dianugerahi oleh Kasih, Sayang, dan Kebijasanaan_Nya dalam memutuskan semua perkara.

Apapun yang terjadi sudah harusnya hamba bersiap akan keputusan final dari Sang Penetap Keputusan. Tak sedikitpun meragukan ketetapan_Nya. Tentu saja karena ia memang Yang Maha Adil. Namun tidak adakah pintu terbuka untuk mempertanyakan bagaimana keadilan itu? Karena aku takut salah memahami keadilan_Nya, sehingga salah mengenal_Nya. Sungguh kecemasan ini telah menenggalam aku dalam ketakutan, hingga hampir-hampir saja aku ragu akan keadilan_Nya. Maafkan hamba yang hina, Tuhan yang suci dari sifat kezaliman.

Hidup Bukan Sebuah Keterpaksaan

Mimpi itu membuatku bertanya untuk kesekiaan kalinya, mengapa aku ada disini? Tanya yang Tetiba muncul karena ada ketakutan yang luar biasa, pada harapan yang ada di dalamnya. Megapa tetiba saja aku duduk di hadapan mesin tik modern dengan layar terpaku, atau berkumpul pada sebuah keluaga yang sederhana, berteman dengan sejawat di kampus, jatuh cinta pada seorang gadis baik, dan menanti bayi kedua dari kakakku terkasih. Lalu semua itu membuatku mual untuk memuntahkan tanya dalam jiwaku, adakah jawab untuk semua  yang lancang aku tanyakan ini? Aku ketakutan akan arti sebuah mimpi dan pada akhirnya aku harus menyimpulkan bahwa segalanya terpaksa untuk menjadi ada disini, lalu menjalaninya karena memang harus dijalani, karena sudah begitu adanya. Tapi mengapa aku masih saja cemas? Dan mengapa aku begitu mengharap (berharap) jawaban?

Apakah tawa, senyum, bahagia, marah, sabar, baik, berjuang, menyerah, kalah, buruk, menang, hidup, sengsara, mati, surga, lahir, ditindas, dan nereka adalah semua yang terpaksakan untuk kita jalani? Lalu mengapa aku bertanya? Lalu mengapa mencinta? Lalu mengapa takut, cemas, bersedih, dan berharap? Jika semuanya hanya sebuah keterpaksaan! Lalu mengapa harus ada ‘mengapa’ lagi? Toh semuanya hanya keterpaksaan belaka. Maka aku harusnya hanya terpaku saja, patuh pada segala apa yang akan terjadi.
Namun tidak! Aku tidak bisa berhenti mempertanyakannya? Aku tidak bisa menerima, lalu berhenti, dan mengakui bahwa aku terpaksa untuk mengharap, mencinta, bahagia, dan menanti seorang kekasih hati yang akan menemani ku hidup. Dengan merasa terpaksa menjalaninya, lalu membuat ku harus menggugurkan semua hal yang membuat hidup ini menjadi bermakna. Perjuangan, cinta, senang, suka, baik, indah, pahala, dan surga menjadi gugur. Akupun yang bertanya ini menjadi tak berarti apa-apa! Karena semuanya dipaksakan oleh_Nya yang maha menguasai. Oh! aku berlindung dari penyifatan yang tidak layak bagi_Nya.

Tuhan tidak sedang bermain Dadu”. (Einstein)

Hingga dalam kegelapan ini, sebuah titik cahaya dari temaram pelita harapan menyingkapkan sebuah kebenaran yang tidak bisa untuk ditolak. Seberkas cahaya dalam gelap akan membedakan dengan jelas, mana cahaya dan gelap, yang benar dan salah. Bahwa hidup dan kehidupan ini bukan sebuah kesia-siaan yang tak bermakna. Bahwa hidup ini diciptakan untuk sebuah kepatuhan kepada ketidakadilan. Maka keyakinanku menyuarakan pemberontakan pada keterpaksaan absolute seperti itu. Bahwa tidak bisa diterima jika menyakiti, merusak, membenci, membunuh, merampok, adalah benar dan harus diterima, karena sudah seharusnya dilakukan, karena semuanya adalah kepastian final.

Hidup dan kehidupan ini sendirilah yang kembali memberi jawaban bagi sang tanya. Kehidupan ini bukanlah sebuah kebetulan belaka yang didalamnya manusia dipaksakan untuk menjalakan apa-apa saja ketentuaan yang berlaku.  Malahan hidup ini haruslah sebuah keabsolutan yang berdiri pada fondasi keadilan dari yang Maha Adil. Kalaupun ada apa-apa yang telah di tentukan haruslah demi sebuah tujuan yang hakiki. Tidak seperti melempar sebuah dadu, berharap keberuntungan. Penciptaan ini terencana dengan sempurna.

Kehidupan ini haruslah dimaknai agar rasa syukur, perjuangan, harapan, keadilan, kebenaran, dan cinta-kasih menjadi berarti, tegak lalu memberikan arah gerak dan tujuan dalam penciptaan. Rasa cemas, sakit, kesusahan, kelaparan menjadi saksi bahwa setelah semua itu ada sesuatu yang menjadi tujuan kita. Kedamaiaan, sehat, solusi, dan kebugaran bukan sesuatu yang dipaksakan untuk mensyukurinya, namun merupakan harapan yang bisa dipilih daripada sekedar pasrah dalam keterpurukan.

Kehendak Adalah Keadialan Penciptaan

Sakit dan sehat, lelah dan rehat, baik dan buruk, benar dan salah, cerdas dan bodoh, mengetahui dan tidak, adalah pilihan-pilhan yang tak akan pernah terlepas dari kehidupan manusia. Kehendak menjadi anugerah istimewa dan tertinggi yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Api yang sifatnya membakar, menjadi berguna bagi kehidupan manusia tanpa harus membakar dan melukainya. Kehendak yang membuat para pesakitan berjuang untuk mengecap kembali nikmat kesehatan. Kehendak yang membangunkan manusia dari rehat panjang demi ruang sosial tempat berbagi kebahagiaan.

Namun tidak berarti manusia berada dalam kemandiriaan absolute juga. Dimana segalah kehendak manusia lahir dari kebebasan mutlak untuk menentukan arah dan pilihannya. Jika seperti itu semua akan bepulang sama seperti keterpaksaan hidup. Dimana tujuan hidup dan pelaku hidup menjadi gugur tidak bermakna. Sekonyong-konyongnya hadir di muka bumi, hidup seperti apapun maunya, berbuat sesuka-hatinya, dan menunggu kematiaannya. Tanpa makna dan tanpa tujuan. Sekali lagi hidup menjadi tidak bermakna, dan akan menyebakan kesengsaraan dalam hidup. Hidup berpusat pada aku, maka aku yang paling kuatlah yang akan bertahan dalam hidup ala rimbah.

Sekali lagi hidup dengan bijaksana menjadi pelita penunjuk jalan kita. Bahwa sekali-kali hidup ini bukan sesuatu yang tidak bermakna, yang di dalamnya kezaliman dilazimkan, membunuh diperbolehkan, menyakiti merupakan sebuah keniscayaan dari sebuah kehendak yang bebas sebebas-bebasnya. Bagaimanpun kuatnya sebuah argumentasi kebebasan, ia tidak akan benar-benar terbebas dari sesuatu yang melekat dengannya semenjak ia terlahir ke dunia, yaitu kematian.

Kematian akan selalu menjadi pembatas paling sederhana dari sebuah kemandirian yang diyakini mutlak. Namun apakah masih bisa ia dikatakan sebagai mutlak sesuatu yang terbatasi? Maka gugurlah kemutlakan dari sebuah kehendak bebas. Yang mutlak malahan adalah kematiaan itu sendiri. Dengan begitu kehiduan sepertinya menunjukan pada mereka yang menjalaninya bahwa ada kemutlakan dimana manusia menuju kepadanya. Sebagai tujuan dari kehidupan, yang melampaui kematiaan itu sendiri. Sehingga dalam menjalani hidup manusia akan terus berjuang mengarakan kehendaknya pada pilihan-pilihan yang terbaik, yang ujungnya ada kebahagiaan dan kebenaran yang hakiki.

Perbuatan zalim akan mendapatkan balasannya, dan perbuatan baik akan mendapakan balasannya. Hanya bisa terwujud jika kehidupan ini memiliki tujuan yang jelas, dan Dia Yang Maha Adil haruslah ada menjadi Sang Pengadil dari pilihan manusia. Maka kehendak menjadi anugerah tertinggi yang diserahkan pada manusia dalam kekuasaan mutlak_Nya. Sehingga kehidupan ini akan mempersaksikan kepada yang menjalaninya, bahwa setiap pilihan yang kita jalani akan membuahkan buah keadilan_Nya. Mewujud dalam kesengsaraan atau kebahagiaan, surga atau neraka, dalam nyatanya suatu hari pembalasan.

Apapun yang menjadi pilihan manusia nantinya, hidupnya akan menjadi saksi keberadaan_Nya yang terlalu kuat untuk di tolok, dan kematiaanya menjadi bukti keterbatasannya untuk terlalu yakin bisa terbebas dari keadilan_Nya.

"Bagaimana mungkin dia yang merasa lemah karena memang tidak punya daya, sedangkan "tangannya" terus-menerus menadah curahan kasih dan sayang, mampu untuk mengangakat kepalanya yang merunduk dan bersimpuh. Ia yang Modalnya hanya harapan, maka ia meneteskan untaian harapan." (H.M) 

Yang Memilih Untuk Terlahir

Ia terlahir Rumi Ali RausyanFikr adalah anak yang kunanti kelahirannya, yang membuatku ketakutan dan sekaligus berharap. Jika kematian merupakan keniscayaan dari sebuah kehidupan. Kelahiran seorang anak manusia adalah sebuah kegaiban yang begitu nyata. Anak bukan sekedar pertemuan dua buah sel telur yang menjadi pasti untuk terlahir. Bagaimanapun coba aku meminjam penjelasan biologi, kelahiran seorang anak manusia masih saja hal yang paling ajaib untuk bisa dijelaskan.

Namun setelah menelaah keterpaksaan dan kemadirian manusia, dimana akhirnya untuk melihat kehidupan ini keduaanya merupakan hal yang mustahil dipisahkan dari manusia. Yaitu mutlaknya sebagai Tuhan yang maha awal dan akhir, maka niscaya Dia mengetahuai segalah sesuatu awal maupun akhir. Dan Mutlak pula Tuhan maha adil dalam menciptakan agar tegak ke Maha Sempurna_Nya, maka niscaya Dia tidak mencipta untuk sekedar menzalimi ciptaan_Nya (walaupun Dia sungguh mampu). Maka Dia memberi keistimewaan untuk memilih kepada manusia yang diciptakan_Nya untuk memilih jalan-jalan hidupnya masing-masing. Demi agar nyata dan terlaksana sifat kemaha-adilan_Nya itu. Ini membuatku yakin tidak ada kezaliman pada Zat dan Sifat Tuhan.

Dengan kelahiran anak manusia ini pula, menjadi jelas bahwa lahir adalah sebuah pilihan dari manusia yang berani menjalaninya dan merupakan Ketetapan Mutlak dari yang Maha Segala. Maka lewat kelahiranmu anandaku Rumi. Aku menjadi memahami bahwa hidup yang kita jalani ini adalah hal yang telah Ditetapkan dimana kita telah memilih untuk menjalaninya.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al A’raf: 172)

Maka berbahagialah anandaku, bahwa kita tidaklah terlahir untuk dizalimi, bahwa kita terlahir tidak untuk besedih, bahwa kita terlahir bukan untuk menyakiti, bahwa kita terlahir bukan untuk membenci, kalah, menyerah, tanpa harapan, tanpa tujuan, tanpa arah, tanpa cahaya, hidup sekedar untuk mati. Namun kita terlahir untuk mencari kebahagiaan, kita lahir untuk kebenaran, kita lahir untuk memaknai hidup, kita mati karena kita siap, kita lahir untuk mengenal_Nya. Maka mana mungkin ia Yang Maha Adil tiba-tiba saja melemparkan kita menjadi hidup di belatara dunia yang liar, tanpa sedikitpun perbekalan untuk menjalaninya.

Dia yang menciptakan kita, telah membekali kita dengan begitu banyak hal yang akan menyelamatkan kita dalam menjalani hidup ini. Bekal yang cukup agar kita bisa selamat pada sebuah bahtera, pejalanan mengarungi ombaknya begitu deras. Cahaya yang terlalu terang untuk menerangi jalan yang kita melangkahkan kaki untuk kembali pada_Nya. Dia tidaklah zalim kepada kita dengan membiarkan kita meraba-raba kehidupan ini, namun demi keadilan Dia pasti membekali kita, kita hanya perlu mengerahkan usaha kita agar semua bekal itu menjadi nyata bagi kita. Itulah ikhtiar kita, pilihan kita, usaha kita.

Karena yakinlah anandaku, kita tidak akan pernah keluar dari jangkauan kekuasan Sang Pencipta. Sadar ataupun tidak, mau ataupun tidak, senang ataupun tidak. Tidak ada kemandirian yang mampu berdiri dihadapan_Nya yang mutlak. Namun jangan pernah berfikir bahwa Dia tidaklah adil. Karena dengan keadilan_Nya lah kita bisa berpindah dari satu ketetapan kepada ketetapan_Nya yang lain. Sekali lagi kita hanya perlu untuk berusaha lebih keras.

"Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)." – (QS.13:39)

Inilah kesyukuran yang begitu besar yang harus kita sambut dengan bahagia anandaku. Bagaimana Dia secara nyata menunjukan kepada kita Cinta_Nya yang begitu besar, setelah dengan Cinta_Nya pula kita diciptakan. Kini kita diberikan petunjuk untuk memudahkan segala langkah kita dalam menjalani hidup ini. Begitu jelasnya Dia menunjukan kepada kita jalan yang terbaik yang akan menyelamatkan kita dari azab keadilan_Nya. Lalu masih adakah ruang bagi kita untuk merasa dicurangi dilahirkan ke dunia ini. Tentu saja tidak!

Berbahagialah karena hidup yang telah selesai ini, akan dan baru saja kita memulainya. Menyebabkan segala akhirnya akan sangat bergantung pada pilihan kita untuk mengarahkannya kepada kecenderungan yang mana. Namun bagaimana kita menjalaninya akan sangat bergantung pula pada bagaimana cara kita memahami kehidupan ini. Sudah semestinya kita menaruh perhatian pada apa saja yang menumbuhkan pemahaman terhadapnya. Bahkan perubahan sekecil apapun dalam hidup ini adalah berkat rahmat dari_Nya. Maka menghamba, beribadah, menTauhidkan_Nya, berdoa, bersimpu, memohon pada_Nya merupakan sebuah keniscayaan kita sebagai makhluk yang tidak memliki daya dan upaya sedikitpun. Karena sekali lagi ikhtiar kita sekalipun adalah rezeki yang berasal dari Kemurahan, Keadilan, serta Kasih dan Sayang_Nya.

“Dialah yang telah menciptakanmu dari tanah lalu menetapkan suatu ajal dan ‘ajal lainnya’ yang ditentukan di sisi_Nya.” (QS 6 : 2)

Berbahagialah

"Anandaku tercinta.. telah lama aku merindukanmu.. kini engkau memilih untuk terlahir, dan Tuhan telah mengabulkannya.. karena Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.. di sisi_Nya segalah ketetapan, dan ketetapan_Nya adalah keadilan_Nya.. maka jadilah anak yang optimis, bahagia, periang, dan lembut hatinya; karena Tuhan Telah, Sedang, dan Akan memberkatimu.. Aku pun akan mencintaimu.. sambut ku padamu, dengan nama 'Rumi Ali RausyanFikr' (semoga Rumi tercerahkan melalui gerbang ilmu Nabi) sebagai untaian doa yang mengiringimu sepanjang masa.. Jadilah anak bahagia.." 

Kisah Yang Lain

Baru-baru sebuah kabar gembira datang dari sahabatku. Banyak pula kabar gembira lainnya, silih berganti membanjiri hatiku. Kejutan-kejutan mistik dari masa depan. Sebuah hadiah dalam kotak yang isinya tersembunyi sekaligus juga tersingkap, sebagai rezeki yang tak henti menghujani keringnya ketakutan akan masa depan.

Dia adalah adikku terkasih, akhirnya menemukan dan ditemukan oleh seorang pemberani, yang lalu mengajaknya menyongsong masa depan dengan tanpa curiga, ketakutan, dan prasangka. Lalu wajah manisnya yang seperti biasa dengan berani pula memekarkan senyum merona manyambut panggilan itu. Pada sebuah jalan yang harapan menjadi pelitanya, kabar bahagia itu bahwa ia telah dipersunting. Begitulah jalan-jalan takdir bergerak menghantarkan kita (manusia) kepada takdir lain. Buruk, baik, atau lebih baik. Tanpa disangka-sangka, tidak sadar atau bahkan jika disadari kita berada dalam sebuah pusaran keadilan_Nya yang gaib.

"Puji Tuhan atas cinta yang telah, sedang, dan akan selalu tercurah bagi seluruh makhluk yang bergantung pada_Nya." (H.M) 


Ps: Alarm untuk mengingatkan aku pada janji yang terpatri di hati.
Rumah kedua, menjelang matahari terbit 30/11/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar