Lama aku menanti sebuah perjumpaan. Perjumpaan yang cemas dan harapan
bergonta-ganti meramaikan setiap detik penantian. Pertanda dari sebuah
mimpi yang berarti kepergian atau juga kelahiran. Bagaikan sebuah sekoci
yang tersesat di hamparan lautan lepas, mananti bala bantuan, menyerah
atau berserah. Lalu antara pergi atau datang, hadir atau pergi, lahir
atau mati, akhirnya yang dinantikan memilih untuk terlahir, hadir
sebagai buah harapan yang dianugerahi oleh Kasih, Sayang, dan
Kebijasanaan_Nya dalam memutuskan semua perkara.
Apapun yang terjadi sudah harusnya hamba bersiap akan keputusan final dari
Sang Penetap Keputusan. Tak sedikitpun meragukan ketetapan_Nya. Tentu
saja karena ia memang Yang Maha Adil. Namun tidak adakah pintu terbuka
untuk mempertanyakan bagaimana keadilan itu? Karena aku takut salah
memahami keadilan_Nya, sehingga salah mengenal_Nya. Sungguh kecemasan
ini telah menenggalam aku dalam ketakutan, hingga hampir-hampir saja aku
ragu akan keadilan_Nya. Maafkan hamba yang hina, Tuhan yang suci dari
sifat kezaliman.
Hidup Bukan Sebuah Keterpaksaan
Mimpi
itu membuatku bertanya untuk kesekiaan kalinya, mengapa aku ada disini?
Tanya yang Tetiba muncul karena ada ketakutan yang luar biasa, pada
harapan yang ada di dalamnya. Megapa tetiba saja aku duduk di hadapan
mesin tik modern dengan layar terpaku, atau berkumpul pada sebuah
keluaga yang sederhana, berteman dengan sejawat di kampus, jatuh cinta
pada seorang gadis baik, dan menanti bayi kedua dari kakakku terkasih.
Lalu semua itu membuatku mual untuk memuntahkan tanya dalam jiwaku,
adakah jawab untuk semua yang lancang aku tanyakan ini? Aku ketakutan
akan arti sebuah mimpi dan pada akhirnya aku harus menyimpulkan bahwa
segalanya terpaksa untuk menjadi ada disini, lalu menjalaninya karena
memang harus dijalani, karena sudah begitu adanya. Tapi mengapa aku
masih saja cemas? Dan mengapa aku begitu mengharap (berharap) jawaban?
Apakah
tawa, senyum, bahagia, marah, sabar, baik, berjuang, menyerah, kalah,
buruk, menang, hidup, sengsara, mati, surga, lahir, ditindas, dan nereka
adalah semua yang terpaksakan untuk kita jalani? Lalu mengapa aku
bertanya? Lalu mengapa mencinta? Lalu mengapa takut, cemas, bersedih,
dan berharap? Jika semuanya hanya sebuah keterpaksaan! Lalu mengapa
harus ada ‘mengapa’ lagi? Toh semuanya hanya keterpaksaan belaka. Maka
aku harusnya hanya terpaku saja, patuh pada segala apa yang akan
terjadi.
Namun tidak! Aku tidak bisa berhenti mempertanyakannya?
Aku tidak bisa menerima, lalu berhenti, dan mengakui bahwa aku terpaksa
untuk mengharap, mencinta, bahagia, dan menanti seorang kekasih hati
yang akan menemani ku hidup. Dengan merasa terpaksa menjalaninya, lalu
membuat ku harus menggugurkan semua hal yang membuat hidup ini menjadi
bermakna. Perjuangan, cinta, senang, suka, baik, indah, pahala, dan
surga menjadi gugur. Akupun yang bertanya ini menjadi tak berarti
apa-apa! Karena semuanya dipaksakan oleh_Nya yang maha menguasai. Oh!
aku berlindung dari penyifatan yang tidak layak bagi_Nya.
“Tuhan tidak sedang bermain Dadu”. (Einstein)
Hingga
dalam kegelapan ini, sebuah titik cahaya dari temaram pelita harapan
menyingkapkan sebuah kebenaran yang tidak bisa untuk ditolak. Seberkas
cahaya dalam gelap akan membedakan dengan jelas, mana cahaya dan gelap,
yang benar dan salah. Bahwa hidup dan kehidupan ini bukan sebuah
kesia-siaan yang tak bermakna. Bahwa hidup ini diciptakan untuk sebuah
kepatuhan kepada ketidakadilan. Maka keyakinanku menyuarakan
pemberontakan pada keterpaksaan absolute seperti itu. Bahwa tidak bisa
diterima jika menyakiti, merusak, membenci, membunuh, merampok, adalah
benar dan harus diterima, karena sudah seharusnya dilakukan, karena
semuanya adalah kepastian final.
Hidup dan kehidupan
ini sendirilah yang kembali memberi jawaban bagi sang tanya. Kehidupan
ini bukanlah sebuah kebetulan belaka yang didalamnya manusia dipaksakan
untuk menjalakan apa-apa saja ketentuaan yang berlaku. Malahan hidup
ini haruslah sebuah keabsolutan yang berdiri pada fondasi keadilan dari
yang Maha Adil. Kalaupun ada apa-apa yang telah di tentukan haruslah
demi sebuah tujuan yang hakiki. Tidak seperti melempar sebuah dadu,
berharap keberuntungan. Penciptaan ini terencana dengan sempurna.
Kehidupan
ini haruslah dimaknai agar rasa syukur, perjuangan, harapan, keadilan,
kebenaran, dan cinta-kasih menjadi berarti, tegak lalu memberikan arah
gerak dan tujuan dalam penciptaan. Rasa cemas, sakit, kesusahan,
kelaparan menjadi saksi bahwa setelah semua itu ada sesuatu yang menjadi
tujuan kita. Kedamaiaan, sehat, solusi, dan kebugaran bukan sesuatu
yang dipaksakan untuk mensyukurinya, namun merupakan harapan yang bisa
dipilih daripada sekedar pasrah dalam keterpurukan.
Kehendak Adalah Keadialan Penciptaan
Sakit
dan sehat, lelah dan rehat, baik dan buruk, benar dan salah, cerdas dan
bodoh, mengetahui dan tidak, adalah pilihan-pilhan yang tak akan pernah
terlepas dari kehidupan manusia. Kehendak menjadi anugerah istimewa dan
tertinggi yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Api yang
sifatnya membakar, menjadi berguna bagi kehidupan manusia tanpa harus
membakar dan melukainya. Kehendak yang membuat para pesakitan berjuang
untuk mengecap kembali nikmat kesehatan. Kehendak yang membangunkan
manusia dari rehat panjang demi ruang sosial tempat berbagi kebahagiaan.
Namun
tidak berarti manusia berada dalam kemandiriaan absolute juga. Dimana
segalah kehendak manusia lahir dari kebebasan mutlak untuk menentukan
arah dan pilihannya. Jika seperti itu semua akan bepulang sama seperti
keterpaksaan hidup. Dimana tujuan hidup dan pelaku hidup menjadi gugur
tidak bermakna. Sekonyong-konyongnya hadir di muka bumi, hidup seperti
apapun maunya, berbuat sesuka-hatinya, dan menunggu kematiaannya. Tanpa
makna dan tanpa tujuan. Sekali lagi hidup menjadi tidak bermakna, dan
akan menyebakan kesengsaraan dalam hidup. Hidup berpusat pada aku, maka
aku yang paling kuatlah yang akan bertahan dalam hidup ala rimbah.
Sekali
lagi hidup dengan bijaksana menjadi pelita penunjuk jalan kita. Bahwa
sekali-kali hidup ini bukan sesuatu yang tidak bermakna, yang di
dalamnya kezaliman dilazimkan, membunuh diperbolehkan, menyakiti
merupakan sebuah keniscayaan dari sebuah kehendak yang bebas
sebebas-bebasnya. Bagaimanpun kuatnya sebuah argumentasi kebebasan, ia
tidak akan benar-benar terbebas dari sesuatu yang melekat dengannya
semenjak ia terlahir ke dunia, yaitu kematian.
Kematian
akan selalu menjadi pembatas paling sederhana dari sebuah kemandirian
yang diyakini mutlak. Namun apakah masih bisa ia dikatakan sebagai
mutlak sesuatu yang terbatasi? Maka gugurlah kemutlakan dari sebuah
kehendak bebas. Yang mutlak malahan adalah kematiaan itu sendiri. Dengan
begitu kehiduan sepertinya menunjukan pada mereka yang menjalaninya
bahwa ada kemutlakan dimana manusia menuju kepadanya. Sebagai tujuan
dari kehidupan, yang melampaui kematiaan itu sendiri. Sehingga dalam
menjalani hidup manusia akan terus berjuang mengarakan kehendaknya pada
pilihan-pilihan yang terbaik, yang ujungnya ada kebahagiaan dan
kebenaran yang hakiki.
Perbuatan zalim akan mendapatkan
balasannya, dan perbuatan baik akan mendapakan balasannya. Hanya bisa
terwujud jika kehidupan ini memiliki tujuan yang jelas, dan Dia Yang
Maha Adil haruslah ada menjadi Sang Pengadil dari pilihan manusia. Maka
kehendak menjadi anugerah tertinggi yang diserahkan pada manusia dalam
kekuasaan mutlak_Nya. Sehingga kehidupan ini akan mempersaksikan kepada
yang menjalaninya, bahwa setiap pilihan yang kita jalani akan membuahkan
buah keadilan_Nya. Mewujud dalam kesengsaraan atau kebahagiaan, surga
atau neraka, dalam nyatanya suatu hari pembalasan.
Apapun
yang menjadi pilihan manusia nantinya, hidupnya akan menjadi saksi
keberadaan_Nya yang terlalu kuat untuk di tolok, dan kematiaanya menjadi
bukti keterbatasannya untuk terlalu yakin bisa terbebas dari
keadilan_Nya.
"Bagaimana mungkin dia yang merasa
lemah karena memang tidak punya daya, sedangkan "tangannya"
terus-menerus menadah curahan kasih dan sayang, mampu untuk mengangakat
kepalanya yang merunduk dan bersimpuh. Ia yang Modalnya hanya harapan,
maka ia meneteskan untaian harapan." (H.M)
Yang Memilih Untuk Terlahir
Ia terlahir Rumi Ali RausyanFikr
adalah anak yang kunanti kelahirannya, yang membuatku ketakutan dan
sekaligus berharap. Jika kematian merupakan keniscayaan dari sebuah
kehidupan. Kelahiran seorang anak manusia adalah sebuah kegaiban yang
begitu nyata. Anak bukan sekedar pertemuan dua buah sel telur yang
menjadi pasti untuk terlahir. Bagaimanapun coba aku meminjam penjelasan biologi, kelahiran seorang anak manusia masih saja hal yang paling ajaib untuk bisa dijelaskan.
Namun
setelah menelaah keterpaksaan dan kemadirian manusia, dimana akhirnya
untuk melihat kehidupan ini keduaanya merupakan hal yang mustahil
dipisahkan dari manusia. Yaitu mutlaknya sebagai Tuhan yang maha awal
dan akhir, maka niscaya Dia mengetahuai segalah sesuatu awal maupun
akhir. Dan Mutlak pula Tuhan maha adil dalam menciptakan agar tegak ke
Maha Sempurna_Nya, maka niscaya Dia tidak mencipta untuk sekedar
menzalimi ciptaan_Nya (walaupun Dia sungguh mampu). Maka Dia memberi
keistimewaan untuk memilih kepada manusia yang diciptakan_Nya untuk
memilih jalan-jalan hidupnya masing-masing. Demi agar nyata dan
terlaksana sifat kemaha-adilan_Nya itu. Ini membuatku yakin tidak ada
kezaliman pada Zat dan Sifat Tuhan.
Dengan kelahiran
anak manusia ini pula, menjadi jelas bahwa lahir adalah sebuah pilihan
dari manusia yang berani menjalaninya dan merupakan Ketetapan Mutlak
dari yang Maha Segala. Maka lewat kelahiranmu anandaku Rumi. Aku menjadi
memahami bahwa hidup yang kita jalani ini adalah hal yang telah
Ditetapkan dimana kita telah memilih untuk menjalaninya.
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul,
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan).” (Al A’raf: 172)
Maka berbahagialah
anandaku, bahwa kita tidaklah terlahir untuk dizalimi, bahwa kita
terlahir tidak untuk besedih, bahwa kita terlahir bukan untuk menyakiti,
bahwa kita terlahir bukan untuk membenci, kalah, menyerah, tanpa
harapan, tanpa tujuan, tanpa arah, tanpa cahaya, hidup sekedar untuk
mati. Namun kita terlahir untuk mencari kebahagiaan, kita lahir untuk
kebenaran, kita lahir untuk memaknai hidup, kita mati karena kita siap,
kita lahir untuk mengenal_Nya. Maka mana mungkin ia Yang Maha Adil
tiba-tiba saja melemparkan kita menjadi hidup di belatara dunia yang
liar, tanpa sedikitpun perbekalan untuk menjalaninya.
Dia
yang menciptakan kita, telah membekali kita dengan begitu banyak hal
yang akan menyelamatkan kita dalam menjalani hidup ini. Bekal yang cukup
agar kita bisa selamat pada sebuah bahtera, pejalanan mengarungi
ombaknya begitu deras. Cahaya yang terlalu terang untuk menerangi jalan
yang kita melangkahkan kaki untuk kembali pada_Nya. Dia tidaklah zalim
kepada kita dengan membiarkan kita meraba-raba kehidupan ini, namun demi
keadilan Dia pasti membekali kita, kita hanya perlu mengerahkan usaha
kita agar semua bekal itu menjadi nyata bagi kita. Itulah ikhtiar kita,
pilihan kita, usaha kita.
Karena yakinlah anandaku,
kita tidak akan pernah keluar dari jangkauan kekuasan Sang Pencipta.
Sadar ataupun tidak, mau ataupun tidak, senang ataupun tidak. Tidak ada
kemandirian yang mampu berdiri dihadapan_Nya yang mutlak. Namun jangan
pernah berfikir bahwa Dia tidaklah adil. Karena dengan keadilan_Nya lah
kita bisa berpindah dari satu ketetapan kepada ketetapan_Nya yang lain.
Sekali lagi kita hanya perlu untuk berusaha lebih keras.
"Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)." –
(QS.13:39)
Inilah kesyukuran yang begitu besar
yang harus kita sambut dengan bahagia anandaku. Bagaimana Dia secara
nyata menunjukan kepada kita Cinta_Nya yang begitu besar, setelah dengan
Cinta_Nya pula kita diciptakan. Kini kita diberikan petunjuk untuk
memudahkan segala langkah kita dalam menjalani hidup ini. Begitu
jelasnya Dia menunjukan kepada kita jalan yang terbaik yang akan
menyelamatkan kita dari azab keadilan_Nya. Lalu masih adakah ruang bagi
kita untuk merasa dicurangi dilahirkan ke dunia ini. Tentu saja tidak!
Berbahagialah
karena hidup yang telah selesai ini, akan dan baru saja kita
memulainya. Menyebabkan segala akhirnya akan sangat bergantung pada
pilihan kita untuk mengarahkannya kepada kecenderungan yang mana. Namun
bagaimana kita menjalaninya akan sangat bergantung pula pada bagaimana
cara kita memahami kehidupan ini. Sudah semestinya kita menaruh
perhatian pada apa saja yang menumbuhkan pemahaman terhadapnya. Bahkan
perubahan sekecil apapun dalam hidup ini adalah berkat rahmat dari_Nya.
Maka menghamba, beribadah, menTauhidkan_Nya, berdoa, bersimpu, memohon
pada_Nya merupakan sebuah keniscayaan kita sebagai makhluk yang tidak
memliki daya dan upaya sedikitpun. Karena sekali lagi ikhtiar kita
sekalipun adalah rezeki yang berasal dari Kemurahan, Keadilan, serta
Kasih dan Sayang_Nya.
“Dialah yang telah
menciptakanmu dari tanah lalu menetapkan suatu ajal dan ‘ajal lainnya’
yang ditentukan di sisi_Nya.” (QS 6 : 2)
Berbahagialah
"Anandaku
tercinta.. telah lama aku merindukanmu.. kini engkau memilih untuk
terlahir, dan Tuhan telah mengabulkannya.. karena Dia Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.. di sisi_Nya segalah ketetapan, dan ketetapan_Nya
adalah keadilan_Nya.. maka jadilah anak yang optimis, bahagia, periang,
dan lembut hatinya; karena Tuhan Telah, Sedang, dan Akan memberkatimu..
Aku pun akan mencintaimu.. sambut ku padamu, dengan nama 'Rumi Ali
RausyanFikr' (semoga Rumi tercerahkan melalui gerbang ilmu Nabi) sebagai
untaian doa yang mengiringimu sepanjang masa.. Jadilah anak bahagia.."
Kisah Yang Lain
Baru-baru
sebuah kabar gembira datang dari sahabatku. Banyak pula kabar gembira
lainnya, silih berganti membanjiri hatiku. Kejutan-kejutan mistik dari
masa depan. Sebuah hadiah dalam kotak yang isinya tersembunyi sekaligus
juga tersingkap, sebagai rezeki yang tak henti menghujani keringnya
ketakutan akan masa depan.
Dia adalah adikku terkasih,
akhirnya menemukan dan ditemukan oleh seorang pemberani, yang lalu
mengajaknya menyongsong masa depan dengan tanpa curiga, ketakutan, dan
prasangka. Lalu wajah manisnya yang seperti biasa dengan berani pula
memekarkan senyum merona manyambut panggilan itu. Pada sebuah jalan yang
harapan menjadi pelitanya, kabar bahagia itu bahwa ia telah
dipersunting. Begitulah jalan-jalan takdir bergerak menghantarkan kita
(manusia) kepada takdir lain. Buruk, baik, atau lebih baik. Tanpa
disangka-sangka, tidak sadar atau bahkan jika disadari kita berada dalam
sebuah pusaran keadilan_Nya yang gaib.
"Puji Tuhan atas cinta yang telah, sedang, dan akan selalu tercurah bagi seluruh makhluk yang bergantung pada_Nya." (H.M)
Ps: Alarm untuk mengingatkan aku pada janji yang terpatri di hati.
Rumah kedua, menjelang matahari terbit 30/11/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar