Pagi ini kulihat anak perempuan berseragam lengkap melompat kegirangan menuju pertemanan gembira.
Pagi ini kulihat wajah tanpa senyum menyapa di tengah keramaiaan yang sepi.
Pagi
ini kulihat sejoli datang dari pulau seberang yang jauh, berkeliling
kota dengan gendongan yang berat, mengadu nasib demi hidup yang lebih
baik.
Pagi ini kulihat anak putus sekolah datang lebih
pagi, lebih pagi di kampus para golongan tengah memungut sampah-sampah
kesombongan para intelek yang ponggah dan paradoks.
Pagi
ini kulihat seorang bapak berpakaian rapi menjajalkan nasi berwarna
dengan citi car putih demi kehidupan yang mungkin tak akan kutahu
realitanya.
Pagi ini aku disambut senyuman hangat
sodara-sodariku yang serahim pun tidak. Senyum kebahagiaan yang tak
ternilai oleh sebatang coklat.
Kemarin kulihat wajahnya
mulai menceking. Entah apa yang menggerogoti hatinya, senyumnya tak
setulus biasanya. Entah apa yang menguras jiwa dan pikirannya. Ia bukan
perempuan berseragam, ia tersenyum, bukan anak putus sekolah. Entah apa
yang sedang ia kejar. Entah apa yang ingin ia raih. Obsesinya terpancar
dari gestur tubuhnya yang menunjukan kegelisahan yang tidak ketulungan.
Namun ada ketulusan yang seperti biasa memancar dari hatinya dan dari
ucapan yang berbisik penuh harapan. Harapan pada hasratnya untuk
menjawab segala tanya yang selama ini mulai ia cari jawabannya, lalu
terputus untuk sesuatu yang selalu menimbulkan keresahan, ketakutan,
lalu kekecewaan. Kebahagiaan adalah semua yang ia cari. Tapi ia
menjalani jalan yang berbeda, bahagianya hanya topeng yang diganti
sesuai panggung tempatnya tampil. Bukan bahagia dengan senyuman sebagai
toping manis, tulus, nan indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar