Selasa, 10 Desember 2013
Minggu, 08 Desember 2013
TENGGELAM DALAM CAHAYA
"Terus
tenggelam dalam, hingga dasar kubangan begitu hitam dan gelap..
Sudah terlalu lama hingga gelap dan aku mulai menyatu..
Ketika cahaya menerpa, silau aku tak terbiasa atau tak mampu sama sekali..
Di hadapannya hancur aku menjadi biji-biji atom, lalu menjadi tiada..
Tak akan ada kegelapan bertahan di hadapan cahaya, karena kegelapan itu menjadi mungkin karena ketiadan cahaya itu sendiri..
Bagiku, hanya seberkas cahaya dari lilin kecil yang mampu untuk aku pandangi..
Cukup bagiku, demi tegasnya mana cahaya dan mana diriku..
Cukup hingga, terpesona, terpaku, zahir, dan ekstase karenanya..
Cukup untuk menunjukan jalan pulang dan mana jurang, mana gelap, dan mana harapan..
Jika tidak ada lagi setitik cahayapun untukku,
maka putuslah segala kesempatan dan sirna segala harapan.."
ps: besama tengelamnya alarm penyesalan, terbit pula mentari harapan.. selamat pagi.. selamat bersyukur.. selamat berbahagia..
Sudah terlalu lama hingga gelap dan aku mulai menyatu..
Ketika cahaya menerpa, silau aku tak terbiasa atau tak mampu sama sekali..
Di hadapannya hancur aku menjadi biji-biji atom, lalu menjadi tiada..
Tak akan ada kegelapan bertahan di hadapan cahaya, karena kegelapan itu menjadi mungkin karena ketiadan cahaya itu sendiri..
Bagiku, hanya seberkas cahaya dari lilin kecil yang mampu untuk aku pandangi..
Cukup bagiku, demi tegasnya mana cahaya dan mana diriku..
Cukup hingga, terpesona, terpaku, zahir, dan ekstase karenanya..
Cukup untuk menunjukan jalan pulang dan mana jurang, mana gelap, dan mana harapan..
Jika tidak ada lagi setitik cahayapun untukku,
maka putuslah segala kesempatan dan sirna segala harapan.."
ps: besama tengelamnya alarm penyesalan, terbit pula mentari harapan.. selamat pagi.. selamat bersyukur.. selamat berbahagia..
SURAT UNTUK KEKASIH
Aku meminta maaf pada mu
(kalian) duhai yang terkasih.. Maafkan aku karena menciptakan angan-angan buruk
tentang dirimu, yang kusangkai terluka karena kucintai. Ungkapan cinta yang
selalu aku haturkan, entah benakku menangkap engkau tersiksa karenanya. Kutuliskan
ini sebagai usahaku mengampuni diri sendiri. Dengan maaf yang moga kamu
(kalian) berikan padaku.
Terkasih, aku selalu
mencintaimu. Namun aku tidak bermaksud memilikmu, karena kita tidak layak
saling mengklaim. Pada kenyataannya kita ini adalah milik_Nya, Dia yang paling
berhak atas segala klaim kepemilikan. Aku tidak lagi ingin memandangmu dengan
tatapan mengharap dan memaksa. Bagiku kini, kamu aku cintai karena memang untuk
dicintai. Siapapun dirimu entah kamu sudah ada yang punya, lajang, janda,
gadis, sahabat, turis, bahkan jika kamu orang yang tak perna aku kenal
sebelumnya pun bertemu. Aku akan mencoba memandang dengan tatapan cinta. Namun,
aku tidak berhak memilikimu. Memiliki berarti menundukan, sedang itu hak Tuhan.
Aku hanya percaya bahwa memang aku dan kamu diciptakan untuk saling mencintai.
Jika aku memang mencintai,
sekali-kali aku tidak akan menyembunyikan cinta ini. Bahkan, akan aku suarakan
dan kabarkan pada penjuru langit dan bumi, bahwa aku mencintaimu. Begitulah
awal mengapa aku selalu mengutarakan rasa cintaku padamu (semua). Aku dan kamu
adalah manusia, kita diciptakan saling berbeda agar kita bisa saling mengenal.
Lalu bagaimana kita bisa saling menganal jika kita tidak saling mencintai.
Dengan saling mengenal kita akan sangat sadar bahwa kita diciptakan bukan untuk
saling membenci, berperang, menundukkan. Malahan dengan mengenali, kita akan tahu
dengan tepat bahwa kita benar-benar berbeda. Dan kasih sayang itu hanya dapat
terwujud jika kita berbeda. Maka bagiku kehidupan ini sendiri mengisyaratkan
kepada kita untuk saling mencintai, damai, dan berbahagia.
Mungkin kalimat cinta ini tidak
biasa untukmu mendengakannya. Kamu terbiasa mendengarnya dari kekasih hatimu,
belahan jiwamu. Kamu berharap ini harusnya datang darinya seorang yang akan
menjadi jodohmu. Sehingga kamu menjadi bersedih, tidak senang mendengarnya
dariku. Begitulah sangkaku sehingga aku meminta maaf padamu yang terkasih.
"Untuk mereka teman
seperjalanan pulang, sudah selayaknya ku ungkapakan bahwa 'aku mencintai mu'.
sebagai tanda bahwa kalian memang diciptakan bersamaku untuk saling mencintai,
mengasihi, menjaga.."
Aku sadar perkataanku terlalu
sering seperti bujuk dan rayuan, pun aku paham bila kamu (seluruh manusia)
senang dengan perkataan lemah lembut. Namun, sungguh duhai yang terkasih aku
mencoba menghilangkan segalah motif buruk dari perkataanku. Agar kamu menjadi
senang padaku atau menjadi selalu bersamaku. Tidak! Aku tak bermaksud seperti
itu, sungguh aku hanya ingin kamu bahagia. Simpati bahkan empatimu mungkin
menjadi bonus-bonus menyenangkan yang aku dapatkan, tapi bukan itu intinya! Aku hanya berharap kamu
menjadi bahagia dan bersemangat dengan atau tanpa aku. Rayuaanku telah menjadi
pengatahuaanmu, dan kamu menjadi dirimu sendiri. Lalu kamu menjadi merdeka
menjalani hidupmu. Bagiku itulah hadia terindah yang mungkin akan aku dapatkan
darimu, rasa bahagia dalam hidupmu.
“Sedang bagimu kekasih, rahasia
Sang Pengasih. Pada suatu
saat yang tepat dan telah 'tetap', kita
akan bertemu. Aku mungkin tidak mengenalmu, belum
perna bertemu denganmu, atau mungkin kita sudah sangat akrab. Aku akan
meminangmu, 'menikahlah denganku tanpa rasa curiga dan rasa takut terhadap masa
depan...'”
KITA SALING MENGENAL
"Aku
begitu yakin bahwa siapapun dia (manusia), dimana pun ia (di dunia),
bersamaku saat ini, atau leluhurku di masa yang lalu, bahkan
anak-cucu-cicitku pada waktu yang akan datang, mereka tidak benar-benar
terpisah jauh denganku, hingga membuat antara aku dan mereka menjadi
tidak saling mengenal.. Tanpa sadar pun jika disadari, sepanjang hidup
ini, mereka (yang dari masa lalu dan masa depan) adalah
kehidupan yang akan selalu dijalani bersama tepat saat ini.. kamu tau
kenapa? karena, aku adalah anak masa lalu dan aku adalah ayah dari anak
masa depan..
Aku mencoba mengenal mereka dengan baik, karena mereka menyembunyikan kearifan waktu.. bahwa masa lalu telah menjadi pembelajaran dan masa depan mesti dipersiapkan dengan baik demi hidup yang hakiki.. mereka yang datang dari masa lalu telah aku afirmasi, dan yang akan terjadi di masa depan bukan lagi sebuah kejutan berarti, karena akulah yang mensyaratkannya, mempersiapkannya, aktornya, sebabnya.. Maka mungkin kita belum perna bertemu, namun kita telah akrab dan saling mengenal sejak masa-masa yang silam. Sekarang tugasku mengingat kembali semuanya, lalu mempersiapakan pertemuan kita, saat itu aku akan menyambutmu dengan senyuman bahagiaku.."
"Mungkin
saja kita belum bertemu muka, namun kita telah akrab dan saling
mengenal sejak masa-masa silam yang jauh. Maka ketika kita bertemu muka
pada suatu masa yang tepat dan 'tetap', aku merasa tidak akan terlalu
terkejut."
#Anotherstory
SEDERHANA.
"Mataku terlalu berat, Namun hatiku bahagia.. aku mulai terbang.. klo aku terjatuh.. mohonku senyummu.." #AnotherStory
SEDERHANA
"Oh.. Ini rumit..
aku menaruh hati padamu, aku mencintamu..
katanya: mengapa menjadi rumit?
sungguh kasih, aku menginginkanmu..
katanya: Akupun mencintaimu,
tapi tidak menginginkanmu..
karna dengan begitu aku tidak mencintaimu, tapi menafsuimu..
kita diciptakan memang untuk saling mencintai..
jadi aku tak butuh apa-apa untuk mencintai..
karena cinta itu tak perlu kata tanya? itu merumitkannya.."
#AnotherStory
aku menaruh hati padamu, aku mencintamu..
katanya: mengapa menjadi rumit?
sungguh kasih, aku menginginkanmu..
katanya: Akupun mencintaimu,
tapi tidak menginginkanmu..
karna dengan begitu aku tidak mencintaimu, tapi menafsuimu..
kita diciptakan memang untuk saling mencintai..
jadi aku tak butuh apa-apa untuk mencintai..
karena cinta itu tak perlu kata tanya? itu merumitkannya.."
#AnotherStory
GADIS SENDU
"Kasih kadang butuh perpanjangan tangan, agar tangan bisa belajar
mengasihi. Begitulah manusia yang selalu menjadi perpanjangan
tangan_Nya, mendididk manusia belajar kasih, mengasihi."
Sedih
rasanya melihat seorang yang terkasih menangis terseduh, jika
mengahadapi hal seperti itu kebanyakan orang akan mengatakan, kenapa
kamu menangis? Sudah! jangan menangis? Ada pula yang membentak, jangan
menangis! Kamu harusnya kuat! Tidak seharusnya kamu menangis! Dasar
cengeng! Dasar manja! Tapi kali ini aku membiarkannya tetap terisak-isak
dengan semua sedihnya, semua marahnya, semua gejolak aneh yang membuat
dadanya sesak, hingga bola matanya menuangkan air seperti keran yang
mengalirkan deras karena lama tertahan.
Ia menangis
terseduh, menutup wajahnya dengan ransel yang ada di tangan. Sambil
memeluknya erat-erat, mencoba menyembunyikan wajah yang mulai memerah
basah. Entah mengapa ia malu dengan wajahnya. Apa yang salah? Apa karena
ia sedang menangis. Seolah-olah seseorang akan menghukuminya,
memakinya, menghujatnya, mejatuhkan, dan mempersalahkannya karena air
matanya yang mengalir semakin deras. Seakan-akan yang sedang terjadi
padanya adalah kesalahan terbesar yang ia lakukan.
Semakin dalam
ia dengan perasaannya. Udara sekitar pun tetiba berubah, ada aura yang
mengharu-birukan setiap hati yang cukup sensitif membaca air muka yang
terlalu jujur, terlihat sedih. Setiap wajah mulai sayup-sayup
mengarahkan pandangan pada sumber kesedihan itu, air mata itu, gadis
yang menangis tersedu-seduh. Sedangkan ia tidak ingin menjadi pusat
perhatian.
Apa yang salah dengan menangis? Mengapa harus
menganggap temeh tangisan? Seakan-akan tangisan pernah sekali-kali
menghukum mereka, membuat mereka menjadi pesakitan. Hingga mereka
menjadikan tangisan sebagai tanda kelemahan, tanda ketidakmampuan, anti
kebahagian, suatu aib kemunusiaan. Mungkin saja seperti itu, aku hanya
berspekulasi! Gadis itu masih tetap manangis, aku sedikitpun tidak
mencoba menghentikannya. Bukannya tahan dengan air mata, tapi tangisan
juga sebuah bentuk pengungkapan paling sederhana, paling indah, sebuah
bahasa tanpa perlu berkata-kata, bahasa univesal dari perasaan. Sedih
atau bahagia. Maka ia perlu dicerapi.
Kita tidak
benar-benar akan melupakan saat-saat ketika kita menangis dimasa-masa
yang lalu. Entah apapun alasannya manusia harusnya pernah mengalirkan
air matanya, paling tidak ketika kita melalui masa kanak-kanak. Mengapa?
Karena itulah bahasa pertama seorang anak manusia di dunia ini, bahasa
yang kita gunakan untuk mengungkapakn sesuatu yang belum kita pahami
maksudnya. Sedangkan tubuh membutuhkannya dan tergantung padanya. Ketika
itu bahasa manusia cuma satu, sama pada setiap insan, tangisan!
Sekonyong-konyongnya
dewasa menjadikan tangisan terlihat begitu menjijikan bagi
manusia-manusia yang mulai percaya penuh dengan kemerdekaannya, dengan
kemandiriaannya, dengan kekuatannya, tanpa tangisan, mampu menjalini
hidup ini lebih baik, sekali lagi tanpa air mata. Air mata menjadi
penghalang manusia menuju kebahagiaan, dan kebahagiaan hanya dapat
dicapai tanpa tangisan. Begitulah tangisan ditafsirkan menurutku.
Tidak
akan aku tanyakan mengapa! Hingga ia sendiri yang mulai berbicara, yang
artinya dadanya tidak lagi terlalu sesak untuk mulai menyusun
kata-demi-kata. Tangisan itu seperti tangisan seorang bayi yang
kelaparan, kedinginan, kesakitan, meminta kepada ibu atau bapaknya
apa-apa yang tak mampu untuk diungkapakannya. Dengan sederhana pula
mampu dipahami oleh kedua orang tuanya. Begitulah air mata mengambil
perannya pada seorang anak manusia. Entah apa yang akan terjadi jika
seorang anak tidak dapat mengungkapkan bahkan dengan tangisan. Kematian
karena rasa lapar, sakit yang menggrogoti, atau dingin yang menusuk,
bisa terjadi kapan saja tanpa pertanda apapun. Tanpa tangisan seorang
anak berarti sedang berada dalam kondisi tanpa sebuah perlindungan sama
sekali.
Perlindungan adalah hal yang diharapakan seoarang
anak manusia dari tangisannya, dan dengan tangisannya ia akan bahagia.
Kedua orang tuanya pun akan bahagia karena hati mereka yang penuh
kekhawatiran, legah seiring tangisan sang anak yang mulai berhenti.
Begitu menenangkan. Entah kapan dimulainya masa dalam kehidupan manusia,
tangisan menjadi tabu, anti dari kebahagiaan. Apa karena anak manusia
mulai merasa cukup kuat dengan segalah daya dan upayanya, sehingga
merasa bisa mengendalikan segala hal di luar dirinya. Entah sejak kapan
tangisan dan bahagia menjadi oposisi biner yang benar-benar
saling anti. Apa karena seooarang yang bahagia akan merasa paradoks jika
ia menangis. Padahal masa-masa hidup kita telah membuktikan bahwa
tangisan tidak lahir begitu saja, tercipta dalam diri sebagai sebuah
kesia-siaan, atau minimal dikala usia mendewasa.
Gadis itu
kini seperti bayi yang meminta perlindungan, anak yang ingin lepas dari
kebingungannya, kegalauaannya, ketidakpahamannya, dari
ketidakmampuannya, dari kelemahannya yang hanya bisa ia ungkapkan dalam
satu bahasa, tangisan! Hanya dengan itu ia bisa mengungkapkannya.
Berapapun usianya saat ini, atau berapapun usia mereka yang menangis,
orang-orang yang punya hati cukup lembut akan menaruh rasa iba padanya,
karena tidak ada bedanya tangisan bayi dengan seorang dewasa. Tujuannya
sama simpati, empati, perlindungan.
Tangsiannya pun mulai
terhenti, dari bibirnya yang bergetar mulai mengucakan kata-demi-kata,
menceritakan sebab-musababnya kenapa ia bersedih. Sudah 3 bulan terakhir
ia tidak mendapat kabar dari kedua orang tuanya, tidak ada telepon,
sms, menanyakan “bagaimana kabarmu nak?” apalagi “kami menyayangimu?”
hatinya mulai menaruh kecurigaan bahwa ia tidak lagi disayangi, tidak
lagi diperhatikan. Sempat sesaat ia menghubungi ibunya entah mengapa
kata “sudah duluh yah nak, ibu lelah!” Semakin menguatkan sangkaanya.
Sekonyong-konyongnya gadis itu menjadi menderita. Tapi itu sebelum ia
tahu bahwa ia sedang bahagia.
Di hadapan gadis itu kini
sili-berganti petir halilintar menghujam setiap kekhwatirannya. Ia
cemas dan ketakutan, di matanya tak terlihat lagi perhatian, kasih, dan
cinta kedua orang tuannya kepadanya. Namun begitulah halilintas bekerja,
sekejab menimbulakan ketakutan sekaligus juga malahirkan harapan yang
besar. Tanpa gadis itu sadari ia sedang mengandung kebahagiaan yang
sebentar lagi kan ia lahirkan. Di balik ketakutannya terselip rasa cinta
yang mendalam kepada kedua orang tuannya, di balik kecurigaannya
terbersit harapan untuk disayangi.
Ingatkah kamu bagai
mana perasaanmu ketika awan mendung, lalu petir menyambar, dan guntur
menggelegar ditelinga. Ketakutan lah yang akan menyelimuti kita.Namun
lupakah kita, apa yang terjadi setelah itu, air hujan pun turun. Dahaga
akibat kekeringan berkepanjangan tersudahi, rasa syukur yang besar
terlihat disenyum sumringah kita. Kita menjadi bahagia berpuluh-puluh
kali lipat dari sebelumnya. Mereka bahagia setelah melalui ketakutan
yang sekejab saja berlalu. Merekah menajdi lebih hidup.
Hujan
deras itu membasahi tanah-tanah yang kering, kemudian tanah-tanah itu
akan kembali menjadi subur lagi. Kehidupan akan terlahir dari cela-cela
tanah yang basah nan subur, memberikan harapan bagi kehidupan yang
bergantung padanya. Pun seperti itulah air matanya. Seperti hujan yang
membasahi tanah yang kering, air matanya kini membasahi hatinya yang
kering. Hatinya yang ia tidak sadari sama seperti orang tuanya. Lupa
menaruh kasih sama-sekali kepada kepadanya, si gadis pun sama kepada
kedua orang tuanya. Kesibukannya, kegalauaanya, urusan cintanya,
pekerjaannya telah mengelabuhinya dari sebentar saja mengucap salam
sapah kasih kepada kedua orang tuanya. Yah, aku menyebutnya masa-masa
paceklik hati. Masa ketika hati tidak merasak nikmatnya cinta, kasih,
dan sayang. Hatinya seperti tanah kering kalau tidak membatu saat itu.
Akhinya
dari hatinya tumbuh bersemi benih cinta yang baru. Setelah ia menjadi
kecewa, menjadi gunda gulana akibat halilintarnya. Mencuat kebahagian
berkali-kali lipat dari harapannya, dari hatinya yang basah akibat air
matanya. Si gadis mesti sadar bahwa hatinya selama ini mulai gersang,
berada pada musim kering berkepanjangan. Namun hati yang fitrahnya
merindu seperti tanah yang harapannya curahan hujan. Lewat air matanya
yang deras mengalir, menandakan rindu yang teramat sangat. Si gadis
hidup kembali. Ia hanya perlu mengubah cara pandangnya terhadap
halilintar itu. Realitanya tetap saja halilintar. Tapi tafsirnya sangat
tergantung pada mata apa yang kita gunakan untuk memaknainya.
“Hidup kita ini tak beralas realitas. Kita hanya berdiri di atas defenisi dan penafsiran terhadap realitas.” (Jalaluddin Rakhmat)
Kita
tidak benar-benar bisa melihat dengan jernih menggunakan mata ini. Mata
ini hanya mempelihatkan apa saja yang ingin ia lihat, bagiku yang kita
lakuakan selama ini adalah mengimajinasikan apa-apa yang tercitrakan
dari segala hal yang berada di luar kita. Mata ini tidak pernah
sepenuhnya melihat sesuatu sebagaimana mestinya, sebagaimana adanya,
mata ini lebih sering menipu kita. Karena mata ini tidak benar-benar
bekerja sendiri, mata bekerja sebagaimana sangkaan si pemilik mata. Mata
melihat sesuai dengan hati pemiliknya. Namun kita sudah terlanjur
percaya dengan mata ini, hingga wajarlah jika kita sering
dikecewakannya.
***
Dalam hidup kasih kadang
tak sampai karena tabir-tabir yang menghalanginya. Kejerniaan hati
kadang ternodai oleh nila buruk sangka, membuatnya menjadi pekat. Si
gadis yang rindunya terpatri di dada. Terungkap lewat air matanya.
Mengalirkan kehidupan dalam hidupnya. Yang perlu ia lakukan hanya
menyusun kata-kata sederhana. Tanpa prasangka tidak dibalasnya ungkapan
kasihnya. Tanpa takut dan ragu mengirimkan kata “aku sayang mama papa!”
apapun yang terjadi selanjutnya. Sang gadis yang terseduh itu
tercerhakan oleh kebahagiaannya, oleh air mata kasihnya.
Yang
mengenaskan malahan mereka yang kehilangan air matanya. Yang dibutakan
matanya. Yang kekeringan hatinya. Yang gersang mulai mengeras, membatu.
Mereka seperti bayi tanpa air mata. Tanpa perlindungan, karena mereka
telah menjadi individu yang kuat, mandiri tanpa air mata. Kerinduaannya
tidak memberikan kesegaran lagi bagi jiwanya. Mereka menjadi
kebingungan, kehilangan sesuatu tapi tidak menyadarinya. Dicari-carinya
tapi tak kunjung mereka dapati. Bagi mereka petir akan tetap menjadi
petir. Sebuah tantangan yang mesti ditaklukkan. Bukan suatu yang berisi
harapan.
Mereka adalah aku. Aku yang berharap belum menjadi batu.
(Untuk mengingatkan diri untuk tidak menjadi batu.)
PENGEMIS YANG HINA
Di atas bangku taman yang
lapuk ia duduk bersedih dan meratap. Entah apa yang terjadi! Sebelumnya
ia berada di dalam istana yang megah. Ada sofa yang begitu indah,
busanya begitu nyaman ketika tubuh disandarkan padanya. Rasa nyaman itu
merasuk hingga fikiran, membuat ekstase dan hampir-hampir saja
tertidur. Bahu dan kaki yang letih perlahan bugar kembali. Perutnya
yang buncit karena hidangan sang raja mulai mengempis tercerna oleh
tubuh. Semuanya begitu nikmat, hingga ia begitu bersyukur akan anugerah
yang ia terima pagi itu. Namun tetiba wajahnya menjadi begitu murung,
pucat pasih.
Di hadapannya kini hadir sesosok perempuan mudah yang lusuh, hitam, di dahinya mengucur keringat tak tertahankan. Perempuan itu bisa berjalan dengan normal, tubuhnya pun normal, tapi ia terus saja membungkukan tubuhnya, terus menjaga pandangannya pada raja dan tetamunya sambil membersihkan sisa makanan di meja sang raja. Mengapa ia tak berdiri dengan tegak? Mengapa suaranya begitu pelan atau hanya diam? Mengapa dia merendahkan diri dihadapan tamu seakan ada panggung yang membuat posisinya lebih rendah? Ia kini merasa hampa dalam segalah kenyamanan yang hadir di sisinya.
Hatinya menjadi gunda gulana, ia lalu berfikir dan tenggelam dalam benaknya sendiri. Apa yang membuatnya tidak lagi menikmati segalah anugereh itu. Ia lalu meninggalkan istana setelah pamit di hadapan raja, mengundurkan diri, seraya berterima kasih atas jamuaanya. Siapa gerangan perempuan yang menjadikan hatinya tidak bahagia! Atau mengapa perempuan itu membuat hatinya menjadi luluh lantah?
Mulailaj ia merenung! Semakin lama ia menyelami fikiranya, namun ia tidak kunjung mendapati kesalahan di dalamnya. Rasionalitasnya tidak mendeteksis kesalahan sedikitpun. Namun dadanya masih saja sesak, entah apa yang terjadi? Ia mencoba merunutkan apa yang terjadi, dan yang muncul hanya bayangan sosok perempuan itu! Dari mulutnya lalu terucap “budak perempuan”.
Perempuan itu adalah budak sang raja. Apa yang salah dengan perbudakan dalam sebuah sistem kemasyarakatan yang dipimpin oleh seorang raja. Budak malah menjadi penyokong, tiang-tiang yang mejaga keseimbangan sistem ini. Namun ada rasa “aneh” yang muncul dari dadanya. Oh. Seharusnya ini bukan sebuah masalah, ini cukup rasional. Apa masalahnya dengan budak dan perbudakan?
*****
Pernah ia pelisiran ke kota mengendarai kuda. Orang-orang silih berganti berlalu-lalang di hadapanya. Begitulah pasar pada umumnya. Di langit-langit kota terpasang atap-atap yang megah. Dibawahnya bertengger para pedagang yang berbaris dengan rapi memenuhi jalan setapak kota. Para pelancong satu persatu singah berbelanja atau sekedar melihat barang-barang baru dari negeri-negeri yang jauh. Di lantai-lantai kota banyak anak laki dan perempuan, orang cacat, orang tua, dan lansia. Mereka bebaring, duduk, tunduk merendahkan dirinya seakan merekalah lantai kota. Tangan-tangan mereka terus terbuka menadah setiap keping sen yang mengucur dari jemari tuan-tuan pelancong yang berbaik hati. Atau tidak jarang mendapat caci, maki, dari orang yang tidak senang dengan kehadiran pengemis.
Ia turun dari pelananya, dan duduk di salah satu bangku kosong taman yang tepat menghadap kota dan keramaiaannya. Lalu pemandangan yang tak lazim tertayang dihadapannya. Seorang pengemis mulai menangis merintih kelaparan memohon-mohon pada para pelancong. Rasa iba yang timbul dari rintihan pengemis, mengucurkan dengan cepat sen demi sen dari kantong para pelancong. Ia pun turut iba, hampir-hampir saja ia akan melompat menghampiri pengemis itu. Namun tetiba tertahan ketika pengemis itu membalikkan badan dari para dermawan yang berlalu dengan cepat, dan pengemis itu tersenyum puas.
Senyuman! Sekonyong-konyongnya ia menjadi pitam, marah, kesal, pada pengemis itu. “Sial! Dia pengemis penipu.” gerutu dalam hatinya. Pengemis itu memanfaatkan rasa iba dan empati para pelancong yang derma itu. Tangisan itu hanya kepalsuan belaka, sebuah kamuflase yang dipajang ketika mereka menjalankan perannya sebagai pengemis. Sungguh tega para pengemis itu menipu para penderma. “Dasar penipu munafik!” kesalnya.
*****
Ia pernah belajar di negeri yang jauh, pula pernah singgah dibeberapa negeri yang lain. Diperjanannya ia belajar banyak tentang berbagai hal. Astronomi, pemerintahan, filsafat, bahasa, budaya, alam, dan Tuhan. Kebijaksanaan adalah hal yang melekat padanya dimata orang-orang yang pernah menemuinya. Hingga orang-orang mulai memanggilnya sebagai filsuf. Dan ia mulai senang bila orang-orang memanggilnya seperti itu.
Banyak guru yang ia temui diperjalanannya. Berbagai pengetahuan telah ia kuasai dari guru- gurunya. Namun ada satu pesan yang hampir sama pada setiap gurunya. Seakan-akan telah terpatri dalam setiap pengetahuan bahwa apapun pengetahuan itu, pesan itu harus melekat padanya. “Setiap pengetahuan mestinya bermuara pada tanggung jawab pada orang lain.” Guru-guru berpesan “kebahagian hakiki adalah kebahagian yang muncul dengan menaruh kebahagian pada diri orang lain.” Kemaslahatan manusia menjadi tujuan pengetahuan. Entah apapun atau dari mana ia berasal, kepercayaannya, agama, ideologi, mashab, asal daerah, dari manapun ia. Pengetahuan yang hakiki ketika ia hadir dalam diri manusia akan mengantarkannya pada kebahagian, kebahagiaan bersama manusia lain, kebahagiaan universal.
*****
Oh tidak! Sekarang ia tahu mengapa kesedihan memenuhi hatinya pada saat ia berada dalam istana raja yang nyaman dengan sofa mewah nan empuk. Saat ia duduk bersandar santai merehatkan tubuhnya. Yang kemudian merasa tegang dan tidak nyaman sama sekali setelah perempuan budak itu tetiba hadir dihadapannya. Ia melihat air muka yang tidak bahagia dari budak itu, dan kemudian membebaninya. Yang ia anggap rasional menjadi sangat paradoks terlalu kotradiktif dan itu menyakiti hati dan fikirannya. Ia menghadapi kerancuaan dalam memandang dunianya. Mengapa perbudakan bisa terlahir dalam bentuk baru, manusia menjadi pelayan bagi manusia lainnya. Apakah itu wajar saja? Bahwa ada manusia yang terlahir lebih rendah dibanding manusia yang lain. Apakah Tuhan menakdirkan hal seperti itu? Oh sungguh tidak seperti itu. Pengetahuaan yang ia dapatkan dari guru-guru membuktikan pada akalnya bahwa Tuhan itu harusnya maha adil.
Ia tahu “bahwa melayani adalah seni pekerjaan Tuhan”. Namun jiwanya menolak perbudakan yang ia temui di hadapannya. Melayani bukan berarti mencerabut kemausiaan sesorang dengan merendahkan manusia yang lain. Keangkuhannyalah yang telah jauh menyesatkan dan membutakan matanya pada sesuatu yang terlalu nyata. Ia yang merasa telah sampai pada kebijaksanaan hanya mampu berfikir, merenung, berdiskusi di ruang-ruang nyaman tentang pengetahuan. Luar biasanya ia sering memperbincangkan tentang alam, tentang manusia, akhlak, etika, tentang Tuhan, namun itu hanya sebuah perbincangan belaka. Ia terlalu nyaman berlehai-lehai dalam istana raja-raja yang megah. Hingga ia tak merasakan apa yang ia selalu perbincangkan. Tentang keadilan, tentang cinta kasih, tentang manusia, tanggung jawab. Tepat ketika ketidak-adilan itu mewujud dalam bentuk perempuan budak pelayan, dan raja-raja yang memberi kenyamanan, semua menjadi kabur.
Kesombongannya atas kebijaksanaan dan gelar filsuf yang ia punya. Membakar hangus pengetahuaanya hingga menjadi setumpukan arang hitam yang tak berarti apa-apa. Namun arang itu itu kemudian tersirami hujan, menjadi basah, dan kembali menyatu dengan tanah, hingga tanah itu menjadi tanah yang subur. Tanah yang subur itu lalu menumbuhkan setiap bibit baru yang akan menajdi sumber oksigen, yang akan memberi kehidupan baru. Melegahkan nafasnya yang mulai sesak kekurangan oksigen.
Arang itu adalah pengetahuan yang dibakar api keangkuhan dan kesombongan! Air hujan itu adalah curahan pencerahan dari hati yang hancur lebur, yang tidak menerima perbudakan! Dan bibit-bibit itu adalah harapanya yang tumbuh setelah kehancuran! Harapan akan penyesalannya yang teramat dalam. Mencari pengetahuan untuk bisa berlehai-lehai di istana raja. Dan menjadikan budak sebagai objek perbincangan atas nama kebijaksanaan. Dan lalu menyokong perbudakan secara “tidak sadar”, sungguh paradoks! Namun paradoks itulah awal dari sebuah pencerahan, ia hanya berharap belum terlambat lalu kehabisan udara dan oksigen, dan tidak bisa berbuat sesuatu.
Oksigen mulai memenuhi paru-parunya. Dadanya yang tadinya sesak kekurangan udara kini terpenuhi hingga legah. Oksigen itu adalah kehidupanya yang baru, yang memeberikan waktu untuk hidup sedikit lebih lama. Usia yang akan ia gunakan mencari ilmu lebih banyak lagi dan membersihakan paradoks-parodoks yang memenuhi dirinya. Pengetahuan yang akan ia cari adalah penegetahuan suci, jauh melampaui renungan filosofis, ilmu logika, pengetahuan belaka. Pengetahuan yang tidak kehilangan esensinya. Penegetahuan yang berpihak pada budak dan menentang tiran. Yang menumbuhkan kebahagiaan dihati orang lain. Ia sekarang bertranformasi bersama penegetahuaannya, akalnya, dan lakunya menjadi oksigen bagi manusia lainya. Memberi kelegaan bagi mereka yang selama ini sesak dalam ketidakadilan, ketertindasan, sedih, dan hancur hatinya. Seperti yang terjadi pada budak perempuan itu.
Ia lalu teringat pesan-pesan dari guru-guru yang pernah membagi ilmu padanya. Yang semuanya mengajarkan tentang satu hal, bahwa semestinya pengetahuan itu untuk kebahagian umat manusia. Untuk itu, ilmu pengetahuan harusnya tidak terpisah dari praktek keseharian. Bahkan senyuman sekalipun, harusnya dibagi kepada semua orang. Kebersiahan pun seperti itu, karena bersih bukan sekedar masalah individu tapi bersih juga menyangkut masalah sosial dan milik bersama. Pengetahuan dengan pasti mengkonsekuensikannya seperti itu. Maka kepada siapapun, kita mestinya memberikan senyum terbaik dan tertulus, hingga konsep budak lenyap dari kehidupan kita. Tidak ada lagi yang asing. Perempuan budak itu akan duduk bersama kita, memakan hidangan yang sama. Piring-piring kotor itu akan kita bersihkan bersama. Kursi-kursi megah itu digantiakan karpet yang membuat semua orang duduk sama rata. Sang raja akan duduk bersama yang lain.
*****
Masih saja ia duduk terdiam di bangku rapuh, ketika orang-orang telah melangkahkan jauh kaki-kakinya menuju rumah mereka masing-masing kala senja tiba. Di hadapannya tepat malam mengulurkan tangan-tanganya dan menyambutnya dengan jamuan yang menyenangkan hati untuk beristirahat. Pasar menjadi begitu sepi, angin sepoi-sepoi mendayu-dayukan nyanyian pengantar tidur. Tepat di belakangnya taman kota yang mulai berdebuh tak terurus menemaninya menanti saat yang tidak kunjung datang. Tapi ia masih tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya, entah apa yang ia tungguh! Dia hanya membiarkan mereka pergi sambil melayangkan senyum tipis kepada mereka yang berlalu.
Pengemis itu membuatnya kembali merenungkan “senyuman” itu. Apa yang sebelumnya ia anggap salah berabalik membuatnya meraguh dengan ketetapan hatinya. Ia yang pitam, marah, dan membenci, kini mulai merasakan rasa bersalah dengan sikap reaksionernya yang arogan. Apa masalahnya dengan “senyuman” itu? Bukankah mereka yang hidup kesulitan akan merasa bahagia jika seorang manusia lain menaruh kasih dan perhatian padanya. Bukankah fitrah manusia bahwa mereka akan bahagia jika ia menadapat bantuan. Dan bukannya fitrah manusia untuk selalu mau melakukan kebaikan.
Pengemis itu! Apakah ia terlahir memang sudah menjadi pengemis yang utuh sejak lahirnya. Dan juga raja itu! Apakah sudah takdirnya untuk hidup dalam kemewahan, di istana-istana megah dengan sofa empuknya. Apakah memang seperti itu adanya? Maka ia ingat kembali segala pembelajaran yang dulu ia dapatkan dari guru-gurunya. Dibaliknya pandangan dari “senyuman” itu ke arah dirinya sendiri. Menyelam ke kedalam hatinya mengecek kembali apa yang terjadi. Di dalam hatinya ia melihat sesosok hamba yang mulai merintih memohon kepada Tuhannya, berdoa dalam kekhusuannya. Meminta dengan segala kerendahan hatinya atas segalah kebutuhannya yang mendesak. Dan dengan segerah Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang memenuhi hajad-hajad si hamba. Seperti pengemis yang dilihatnya sesaat yang lalu, persis dengan itu ia pun tersenyum puas.
Setelah ia mendapatkan hajadnya. Ia yang bahagia lalu membalikkan badan dan pergi meninggalkan Tuhannya. Di masyarakanya ia menjadi manusia kaya raya yang zalim. Harta yang melimpah membautnya hidup dengan kemewahan. Ia lupa bersedekah, berzakat, menyantuni fakir miskin dan orang yang kesusahan hidupnya, apa lagi memerdekakan budak. Sosok yang ia lihat dihatinya membuatnya begitu marah, hingga semakin jelas wajahnya tersingkapkan. Wajah itu sangat akrab dengannya, ia tak mungkin melupakan wajah itu, karena wajah itu adalah dirinya sendiri.
Pada akhirnya ia menjadi sangat malu. Kini ia tahu dengan pasti alasan mengapa ia marah pada pengemis itu. Ia seperti melihat dirinya sendiri di hadapan Tuhan menjadi seoarang pengemis. Ya manusia sudah selayaknya mengemis di hadapan_Nya. Namun setelah terpenuhinya hajad-hajadnya, ia lalu meninggalkan hak Tuhan untuk membelanjakan harta pada perniagaan yang mensejahterakan orang lain. Yang ia benci sebenarnya adalah dirinya! Pengemis itu bagaikan cermin yang memantulkan refleksi dirinya. Kini dialah orang yang hina, dialah pengemis yang hina. Sedangkan sang pengemis sudah seharusnya disantuni, dan menaruh rasa iba padanya. Bukankah didebagian harta seseorang ada hak orang lain.
Dia merasa sangat hina dihadapan pengemis itu, dan dihadapan Tuhan yang maha baik. Sama seperti budak perempuan itu. Manusialah yang menciptakan tatanan seperti itu. Dan Tuhan tentu telah menetapakan keadilannya. “Oh malangnya! Aku pengemis penipu.” sesal dalam hatinya. Pengemis yang memanfaatkan kebaikan, kasih, sayang, dan cinta Tuhan. Tangisan itu hanya kepalsuan belaka, sebuah kamuflase yang dipajang ketika menjalankan perannya sebagai pengemis di hadapan Sang Maha Pengasih. Sungguh tega pengemis ini menipu Sang Maha Penderma. “Akulah penipu yang munafik!”
*****
EPILOG
Bukankah seperti itu yang diajarkan dan ditunjukan seorang penggembala domba dari jazirah arab. Yang kemudian menjadi pemimpin kaum miskin. Yang menghilangkan perbudakan dari dunia. Yang ilmunya seluas langit dan bumi, namun selalu berbicara dengan sederhana pada ummatnya, masyarakatnya, musuhnya, pecintanya. Perilakunya menggambarkan pengetahuaanya yang seluas samudera. Beliau adalah pimpinan negaranya, jendral para tentaranya, imam bagi ummatnya, suami dari istrinya, bapak dari anak-anaknya. Beliau menjalankan perannya tanpa paradoks, non kontradiksi. Pekerjaannya menaruh rasa bahagia kepada manusia-manusia yang kehilangan arah. Tugas baginda membawa kabar kembira bagi meraka yang hancur hatinya. Bahwa ia telah ditunjuk karena cahaya pengetahuan yang merupakan jiwanya yang suci. Dialah guru para guru, dialah Ahmad sang paraqlita (penerang).
Allahumma salli ala Muhammad wa Ali Muhammad...
Shalom... salam... santi... damai..
Di hadapannya kini hadir sesosok perempuan mudah yang lusuh, hitam, di dahinya mengucur keringat tak tertahankan. Perempuan itu bisa berjalan dengan normal, tubuhnya pun normal, tapi ia terus saja membungkukan tubuhnya, terus menjaga pandangannya pada raja dan tetamunya sambil membersihkan sisa makanan di meja sang raja. Mengapa ia tak berdiri dengan tegak? Mengapa suaranya begitu pelan atau hanya diam? Mengapa dia merendahkan diri dihadapan tamu seakan ada panggung yang membuat posisinya lebih rendah? Ia kini merasa hampa dalam segalah kenyamanan yang hadir di sisinya.
Hatinya menjadi gunda gulana, ia lalu berfikir dan tenggelam dalam benaknya sendiri. Apa yang membuatnya tidak lagi menikmati segalah anugereh itu. Ia lalu meninggalkan istana setelah pamit di hadapan raja, mengundurkan diri, seraya berterima kasih atas jamuaanya. Siapa gerangan perempuan yang menjadikan hatinya tidak bahagia! Atau mengapa perempuan itu membuat hatinya menjadi luluh lantah?
Mulailaj ia merenung! Semakin lama ia menyelami fikiranya, namun ia tidak kunjung mendapati kesalahan di dalamnya. Rasionalitasnya tidak mendeteksis kesalahan sedikitpun. Namun dadanya masih saja sesak, entah apa yang terjadi? Ia mencoba merunutkan apa yang terjadi, dan yang muncul hanya bayangan sosok perempuan itu! Dari mulutnya lalu terucap “budak perempuan”.
Perempuan itu adalah budak sang raja. Apa yang salah dengan perbudakan dalam sebuah sistem kemasyarakatan yang dipimpin oleh seorang raja. Budak malah menjadi penyokong, tiang-tiang yang mejaga keseimbangan sistem ini. Namun ada rasa “aneh” yang muncul dari dadanya. Oh. Seharusnya ini bukan sebuah masalah, ini cukup rasional. Apa masalahnya dengan budak dan perbudakan?
*****
Pernah ia pelisiran ke kota mengendarai kuda. Orang-orang silih berganti berlalu-lalang di hadapanya. Begitulah pasar pada umumnya. Di langit-langit kota terpasang atap-atap yang megah. Dibawahnya bertengger para pedagang yang berbaris dengan rapi memenuhi jalan setapak kota. Para pelancong satu persatu singah berbelanja atau sekedar melihat barang-barang baru dari negeri-negeri yang jauh. Di lantai-lantai kota banyak anak laki dan perempuan, orang cacat, orang tua, dan lansia. Mereka bebaring, duduk, tunduk merendahkan dirinya seakan merekalah lantai kota. Tangan-tangan mereka terus terbuka menadah setiap keping sen yang mengucur dari jemari tuan-tuan pelancong yang berbaik hati. Atau tidak jarang mendapat caci, maki, dari orang yang tidak senang dengan kehadiran pengemis.
Ia turun dari pelananya, dan duduk di salah satu bangku kosong taman yang tepat menghadap kota dan keramaiaannya. Lalu pemandangan yang tak lazim tertayang dihadapannya. Seorang pengemis mulai menangis merintih kelaparan memohon-mohon pada para pelancong. Rasa iba yang timbul dari rintihan pengemis, mengucurkan dengan cepat sen demi sen dari kantong para pelancong. Ia pun turut iba, hampir-hampir saja ia akan melompat menghampiri pengemis itu. Namun tetiba tertahan ketika pengemis itu membalikkan badan dari para dermawan yang berlalu dengan cepat, dan pengemis itu tersenyum puas.
Senyuman! Sekonyong-konyongnya ia menjadi pitam, marah, kesal, pada pengemis itu. “Sial! Dia pengemis penipu.” gerutu dalam hatinya. Pengemis itu memanfaatkan rasa iba dan empati para pelancong yang derma itu. Tangisan itu hanya kepalsuan belaka, sebuah kamuflase yang dipajang ketika mereka menjalankan perannya sebagai pengemis. Sungguh tega para pengemis itu menipu para penderma. “Dasar penipu munafik!” kesalnya.
*****
Ia pernah belajar di negeri yang jauh, pula pernah singgah dibeberapa negeri yang lain. Diperjanannya ia belajar banyak tentang berbagai hal. Astronomi, pemerintahan, filsafat, bahasa, budaya, alam, dan Tuhan. Kebijaksanaan adalah hal yang melekat padanya dimata orang-orang yang pernah menemuinya. Hingga orang-orang mulai memanggilnya sebagai filsuf. Dan ia mulai senang bila orang-orang memanggilnya seperti itu.
Banyak guru yang ia temui diperjalanannya. Berbagai pengetahuan telah ia kuasai dari guru- gurunya. Namun ada satu pesan yang hampir sama pada setiap gurunya. Seakan-akan telah terpatri dalam setiap pengetahuan bahwa apapun pengetahuan itu, pesan itu harus melekat padanya. “Setiap pengetahuan mestinya bermuara pada tanggung jawab pada orang lain.” Guru-guru berpesan “kebahagian hakiki adalah kebahagian yang muncul dengan menaruh kebahagian pada diri orang lain.” Kemaslahatan manusia menjadi tujuan pengetahuan. Entah apapun atau dari mana ia berasal, kepercayaannya, agama, ideologi, mashab, asal daerah, dari manapun ia. Pengetahuan yang hakiki ketika ia hadir dalam diri manusia akan mengantarkannya pada kebahagian, kebahagiaan bersama manusia lain, kebahagiaan universal.
*****
Oh tidak! Sekarang ia tahu mengapa kesedihan memenuhi hatinya pada saat ia berada dalam istana raja yang nyaman dengan sofa mewah nan empuk. Saat ia duduk bersandar santai merehatkan tubuhnya. Yang kemudian merasa tegang dan tidak nyaman sama sekali setelah perempuan budak itu tetiba hadir dihadapannya. Ia melihat air muka yang tidak bahagia dari budak itu, dan kemudian membebaninya. Yang ia anggap rasional menjadi sangat paradoks terlalu kotradiktif dan itu menyakiti hati dan fikirannya. Ia menghadapi kerancuaan dalam memandang dunianya. Mengapa perbudakan bisa terlahir dalam bentuk baru, manusia menjadi pelayan bagi manusia lainnya. Apakah itu wajar saja? Bahwa ada manusia yang terlahir lebih rendah dibanding manusia yang lain. Apakah Tuhan menakdirkan hal seperti itu? Oh sungguh tidak seperti itu. Pengetahuaan yang ia dapatkan dari guru-guru membuktikan pada akalnya bahwa Tuhan itu harusnya maha adil.
Ia tahu “bahwa melayani adalah seni pekerjaan Tuhan”. Namun jiwanya menolak perbudakan yang ia temui di hadapannya. Melayani bukan berarti mencerabut kemausiaan sesorang dengan merendahkan manusia yang lain. Keangkuhannyalah yang telah jauh menyesatkan dan membutakan matanya pada sesuatu yang terlalu nyata. Ia yang merasa telah sampai pada kebijaksanaan hanya mampu berfikir, merenung, berdiskusi di ruang-ruang nyaman tentang pengetahuan. Luar biasanya ia sering memperbincangkan tentang alam, tentang manusia, akhlak, etika, tentang Tuhan, namun itu hanya sebuah perbincangan belaka. Ia terlalu nyaman berlehai-lehai dalam istana raja-raja yang megah. Hingga ia tak merasakan apa yang ia selalu perbincangkan. Tentang keadilan, tentang cinta kasih, tentang manusia, tanggung jawab. Tepat ketika ketidak-adilan itu mewujud dalam bentuk perempuan budak pelayan, dan raja-raja yang memberi kenyamanan, semua menjadi kabur.
Kesombongannya atas kebijaksanaan dan gelar filsuf yang ia punya. Membakar hangus pengetahuaanya hingga menjadi setumpukan arang hitam yang tak berarti apa-apa. Namun arang itu itu kemudian tersirami hujan, menjadi basah, dan kembali menyatu dengan tanah, hingga tanah itu menjadi tanah yang subur. Tanah yang subur itu lalu menumbuhkan setiap bibit baru yang akan menajdi sumber oksigen, yang akan memberi kehidupan baru. Melegahkan nafasnya yang mulai sesak kekurangan oksigen.
Arang itu adalah pengetahuan yang dibakar api keangkuhan dan kesombongan! Air hujan itu adalah curahan pencerahan dari hati yang hancur lebur, yang tidak menerima perbudakan! Dan bibit-bibit itu adalah harapanya yang tumbuh setelah kehancuran! Harapan akan penyesalannya yang teramat dalam. Mencari pengetahuan untuk bisa berlehai-lehai di istana raja. Dan menjadikan budak sebagai objek perbincangan atas nama kebijaksanaan. Dan lalu menyokong perbudakan secara “tidak sadar”, sungguh paradoks! Namun paradoks itulah awal dari sebuah pencerahan, ia hanya berharap belum terlambat lalu kehabisan udara dan oksigen, dan tidak bisa berbuat sesuatu.
Oksigen mulai memenuhi paru-parunya. Dadanya yang tadinya sesak kekurangan udara kini terpenuhi hingga legah. Oksigen itu adalah kehidupanya yang baru, yang memeberikan waktu untuk hidup sedikit lebih lama. Usia yang akan ia gunakan mencari ilmu lebih banyak lagi dan membersihakan paradoks-parodoks yang memenuhi dirinya. Pengetahuan yang akan ia cari adalah penegetahuan suci, jauh melampaui renungan filosofis, ilmu logika, pengetahuan belaka. Pengetahuan yang tidak kehilangan esensinya. Penegetahuan yang berpihak pada budak dan menentang tiran. Yang menumbuhkan kebahagiaan dihati orang lain. Ia sekarang bertranformasi bersama penegetahuaannya, akalnya, dan lakunya menjadi oksigen bagi manusia lainya. Memberi kelegaan bagi mereka yang selama ini sesak dalam ketidakadilan, ketertindasan, sedih, dan hancur hatinya. Seperti yang terjadi pada budak perempuan itu.
Ia lalu teringat pesan-pesan dari guru-guru yang pernah membagi ilmu padanya. Yang semuanya mengajarkan tentang satu hal, bahwa semestinya pengetahuan itu untuk kebahagian umat manusia. Untuk itu, ilmu pengetahuan harusnya tidak terpisah dari praktek keseharian. Bahkan senyuman sekalipun, harusnya dibagi kepada semua orang. Kebersiahan pun seperti itu, karena bersih bukan sekedar masalah individu tapi bersih juga menyangkut masalah sosial dan milik bersama. Pengetahuan dengan pasti mengkonsekuensikannya seperti itu. Maka kepada siapapun, kita mestinya memberikan senyum terbaik dan tertulus, hingga konsep budak lenyap dari kehidupan kita. Tidak ada lagi yang asing. Perempuan budak itu akan duduk bersama kita, memakan hidangan yang sama. Piring-piring kotor itu akan kita bersihkan bersama. Kursi-kursi megah itu digantiakan karpet yang membuat semua orang duduk sama rata. Sang raja akan duduk bersama yang lain.
*****
Masih saja ia duduk terdiam di bangku rapuh, ketika orang-orang telah melangkahkan jauh kaki-kakinya menuju rumah mereka masing-masing kala senja tiba. Di hadapannya tepat malam mengulurkan tangan-tanganya dan menyambutnya dengan jamuan yang menyenangkan hati untuk beristirahat. Pasar menjadi begitu sepi, angin sepoi-sepoi mendayu-dayukan nyanyian pengantar tidur. Tepat di belakangnya taman kota yang mulai berdebuh tak terurus menemaninya menanti saat yang tidak kunjung datang. Tapi ia masih tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya, entah apa yang ia tungguh! Dia hanya membiarkan mereka pergi sambil melayangkan senyum tipis kepada mereka yang berlalu.
Pengemis itu membuatnya kembali merenungkan “senyuman” itu. Apa yang sebelumnya ia anggap salah berabalik membuatnya meraguh dengan ketetapan hatinya. Ia yang pitam, marah, dan membenci, kini mulai merasakan rasa bersalah dengan sikap reaksionernya yang arogan. Apa masalahnya dengan “senyuman” itu? Bukankah mereka yang hidup kesulitan akan merasa bahagia jika seorang manusia lain menaruh kasih dan perhatian padanya. Bukankah fitrah manusia bahwa mereka akan bahagia jika ia menadapat bantuan. Dan bukannya fitrah manusia untuk selalu mau melakukan kebaikan.
Pengemis itu! Apakah ia terlahir memang sudah menjadi pengemis yang utuh sejak lahirnya. Dan juga raja itu! Apakah sudah takdirnya untuk hidup dalam kemewahan, di istana-istana megah dengan sofa empuknya. Apakah memang seperti itu adanya? Maka ia ingat kembali segala pembelajaran yang dulu ia dapatkan dari guru-gurunya. Dibaliknya pandangan dari “senyuman” itu ke arah dirinya sendiri. Menyelam ke kedalam hatinya mengecek kembali apa yang terjadi. Di dalam hatinya ia melihat sesosok hamba yang mulai merintih memohon kepada Tuhannya, berdoa dalam kekhusuannya. Meminta dengan segala kerendahan hatinya atas segalah kebutuhannya yang mendesak. Dan dengan segerah Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang memenuhi hajad-hajad si hamba. Seperti pengemis yang dilihatnya sesaat yang lalu, persis dengan itu ia pun tersenyum puas.
Setelah ia mendapatkan hajadnya. Ia yang bahagia lalu membalikkan badan dan pergi meninggalkan Tuhannya. Di masyarakanya ia menjadi manusia kaya raya yang zalim. Harta yang melimpah membautnya hidup dengan kemewahan. Ia lupa bersedekah, berzakat, menyantuni fakir miskin dan orang yang kesusahan hidupnya, apa lagi memerdekakan budak. Sosok yang ia lihat dihatinya membuatnya begitu marah, hingga semakin jelas wajahnya tersingkapkan. Wajah itu sangat akrab dengannya, ia tak mungkin melupakan wajah itu, karena wajah itu adalah dirinya sendiri.
Pada akhirnya ia menjadi sangat malu. Kini ia tahu dengan pasti alasan mengapa ia marah pada pengemis itu. Ia seperti melihat dirinya sendiri di hadapan Tuhan menjadi seoarang pengemis. Ya manusia sudah selayaknya mengemis di hadapan_Nya. Namun setelah terpenuhinya hajad-hajadnya, ia lalu meninggalkan hak Tuhan untuk membelanjakan harta pada perniagaan yang mensejahterakan orang lain. Yang ia benci sebenarnya adalah dirinya! Pengemis itu bagaikan cermin yang memantulkan refleksi dirinya. Kini dialah orang yang hina, dialah pengemis yang hina. Sedangkan sang pengemis sudah seharusnya disantuni, dan menaruh rasa iba padanya. Bukankah didebagian harta seseorang ada hak orang lain.
Dia merasa sangat hina dihadapan pengemis itu, dan dihadapan Tuhan yang maha baik. Sama seperti budak perempuan itu. Manusialah yang menciptakan tatanan seperti itu. Dan Tuhan tentu telah menetapakan keadilannya. “Oh malangnya! Aku pengemis penipu.” sesal dalam hatinya. Pengemis yang memanfaatkan kebaikan, kasih, sayang, dan cinta Tuhan. Tangisan itu hanya kepalsuan belaka, sebuah kamuflase yang dipajang ketika menjalankan perannya sebagai pengemis di hadapan Sang Maha Pengasih. Sungguh tega pengemis ini menipu Sang Maha Penderma. “Akulah penipu yang munafik!”
*****
EPILOG
Bukankah seperti itu yang diajarkan dan ditunjukan seorang penggembala domba dari jazirah arab. Yang kemudian menjadi pemimpin kaum miskin. Yang menghilangkan perbudakan dari dunia. Yang ilmunya seluas langit dan bumi, namun selalu berbicara dengan sederhana pada ummatnya, masyarakatnya, musuhnya, pecintanya. Perilakunya menggambarkan pengetahuaanya yang seluas samudera. Beliau adalah pimpinan negaranya, jendral para tentaranya, imam bagi ummatnya, suami dari istrinya, bapak dari anak-anaknya. Beliau menjalankan perannya tanpa paradoks, non kontradiksi. Pekerjaannya menaruh rasa bahagia kepada manusia-manusia yang kehilangan arah. Tugas baginda membawa kabar kembira bagi meraka yang hancur hatinya. Bahwa ia telah ditunjuk karena cahaya pengetahuan yang merupakan jiwanya yang suci. Dialah guru para guru, dialah Ahmad sang paraqlita (penerang).
Allahumma salli ala Muhammad wa Ali Muhammad...
Shalom... salam... santi... damai..
ADAKAH BADUT TERTIPU
Sang badut memainkan permainan, merayu pandang acuh.
Sang badut merekah senyum merona, menanti simpati urung datang.
Sang badut bahagia selalu, menipu tatap tak peduli.
Sang badut terus menari dan merayu, memaksa cinta dari anak yang takut.
Sang badut lalu menangis, memohon perhatian dan simpat.
Sang badut lalu mengemis, demi sen empati tuan.
Sang badut lalu melucu, mengemis bahagia penoton budiman.
Sang badut selalu sembunyi, dari rasa malu di balik topeng.
Maka adakah yang mengenal sang badut dengan baik?
Sedang ia tak menganal dirinya sendiri! Atau itu hanya dugaan belaka, karana badutlah yang mengenal dirinya seutuhnya.
Badut hanyalah badut, namun topengnya menunjukan kejujuran; Bahwa wajah yang ia tunjukan adalah murni kepalsuan.
Maka untuk apakah badut besedih, pun wajah aslinya tertutup dengan rapih oleh senyum merah merona.
Sang badut merekah senyum merona, menanti simpati urung datang.
Sang badut bahagia selalu, menipu tatap tak peduli.
Sang badut terus menari dan merayu, memaksa cinta dari anak yang takut.
Sang badut lalu menangis, memohon perhatian dan simpat.
Sang badut lalu mengemis, demi sen empati tuan.
Sang badut lalu melucu, mengemis bahagia penoton budiman.
Sang badut selalu sembunyi, dari rasa malu di balik topeng.
Maka adakah yang mengenal sang badut dengan baik?
Sedang ia tak menganal dirinya sendiri! Atau itu hanya dugaan belaka, karana badutlah yang mengenal dirinya seutuhnya.
Badut hanyalah badut, namun topengnya menunjukan kejujuran; Bahwa wajah yang ia tunjukan adalah murni kepalsuan.
Maka untuk apakah badut besedih, pun wajah aslinya tertutup dengan rapih oleh senyum merah merona.
KASIH
Tak perlu kau mempertanyakan..
Aku kebingungan menjawabnya..
Ini terlalu sederhana..
Aku takut malah merumitkanya..
Apa kau tidak seperti itu..
Apa semua tidak jelas..
Sehingga mungkin kau ragu..
Atau pahaman kita yang berbeda sejak awal..
Tidak mengapa karena kau bukan pihak yang bersalah..
Pun jika salah tidak mengapa..
Ini terlalu sederhana..
Sudah ku bilang! Aku ragu malah merumitkanya..
Aku kebingungan menjawabnya..
Ini terlalu sederhana..
Aku takut malah merumitkanya..
Apa kau tidak seperti itu..
Apa semua tidak jelas..
Sehingga mungkin kau ragu..
Atau pahaman kita yang berbeda sejak awal..
Tidak mengapa karena kau bukan pihak yang bersalah..
Pun jika salah tidak mengapa..
Ini terlalu sederhana..
Sudah ku bilang! Aku ragu malah merumitkanya..
KISAH AIR DAN MADU
By: hajirndud
“Sudah lama terakhir kali ketika bola matanya meneteskan harapan & kerinduan. Lama ketika ketakutan menyelubungi pikirnya. Lama mengira hatinya telah ‘membatu’.”
Peperangan selesai saat masyarakat saling bahu-membahu mempertahankan wilayahnya dari serangan musuh. Dipimpin oleh seorang panglima perang dari golongan petani sederhana. Mereka mengusir lawan-lawan dengan gagah berani hanya dengan menggunakan alat sederhana, pun dengan jumlah mereka yang tak seberapa. Singkat cerita Sang Panglima akhirnya diangkat menjadi Raja oleh rakyatnya karena kebijaksanaan dalam memimpin. Kemudian negeri ini menjadi negeri yang makmur, sejahtera, dan damai.
Raja yang bijak suatu ketika melakukan percobaan pada rakyatnya. Dititahkan agar setiap orang, pada suatu malam yang telah di tentukan, membawa sesendok madu untuk di tuangkan pada sebuah bejana yang telah disediakan di puncak bukit di tengah kota. Seluruh warga sepakat dan memahami benar perintah tersebut dan menyatakan kesediaan mereka untuk melaksanakannya sebagai kewajiban yang sudah selayaknya. Mereka tahu benar tentang hak sang raja tersebut, yang untuk kali pertama meminta sesuatu imbalan pada rakyatnya.
Setan datang dari segala arah, mengendap-mengendap, mengincar setiap celah di hati manusia yang lalai. Di hati seorang yang dibelokkan membuncah rasa ingin mengelak, mencari pembenaran atas suara ‘hatinya’ yang gelisah, “Aku akan membawa sesendok penuh, tetapi bukan madu. Aku akan membawa air. Kegelapan malam akan melindungi dari pandangan mata seseorang. Sesendok air tidak akan memengaruhi bejana yang kelak akan diisi madu oleh seluruh warga kota.”
Hingga tiba saat yang telah ditetapkan. Bejana telah terisi penuh. Titah raja telah ditunaikan tepat pada waktunya. Namun apa yang terjadi kemudian bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh sang raja. Rupanya hampir seluruh rakyat lalai hatinya dan kemudian berhasil dibimbangkan oleh setan tentang hak sang raja. Bejana itu sekarang penuh, bukan dengan madu di dalamnya, tapi dengan air yang hampir-hampir sangat jernih dengan sisa-sisa madu yang mulai larut.
Ps: (versi lentera hati – ust.Quraish Shihab – 2007)
Setelah itu raja mengumumkan kepada rakyatnya. Raja mengumumkan kepada rakyatnya seperti apa yang diharapkan rakyatnya yang lalai. Raja mengumumkan bahwa titahnya telah terpenuhi, rasa terima kasih kepada rakyat karena telah mengumpulkan madu sesuai dikabarkan ke pelosok negeri. Sang raja merasa ia melakukan kebajikan dengan sikap itu. Sang raja takut rakyatnya menjadi kecewa dengan dirinya sendiri karena sudah lalai dengan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Hingga malaikat dalam diri raja pun mengamininya, katanya, “Sudah benar apa yang kau lakukan, jangan tunjukan kebenarannya. Biarlah rakyatmu merasa benar, damai, tenang, tanpa rasa bersalah, maka negerimu akan damai.” Berbohonglah demi kebaikan bersama, simpul hatinya.
Dengan rasa lega bercampur tatapan terkejut, mereka yang tak menyangka akan hasil yang diumumkan raja semakin kuat hatinya terhadap apa yang coba ia benarkan, bahwa sesendok air tidak akan berpengaruh banyak pada sebejana madu. Ia semakin yakin, yakin bahwa dirinya tidak salah mengambil keputusan itu. yang berarti semua orang yang melakukan hal sama pun semakin kuat dengan pembenarannya, pilihan yang sangat ‘benar’ bagi hatinya sekaligus juga sangat ‘salah’ karena mereka akhirnya mendustakan hak raja mereka, hak yang sudah seharusnya diberikan karena itulah kebenaran yang mereka jungkir balikkan.
Berjalannya waktu negeri itu menampakkan ‘ketenangan’, tapi ada yang menjanggal dari citra negeri itu. Suatu ketika sang raja berkeliling kota. Ditemuinya seorang yang tak pernah ia jumpai. Entah dari negeri mana? Yang jelas dia pasti seorang pelancong miskin dengan pakaian lusu. Sekonyong-konyongnya ia berteriak di hadapan raja; “Raja munafik! Hentikan kebajikanmu itu! Kau seorang raja yang harusnya meneriakkan kesalahan atas perilaku rakyatmu, kau bukan malaikat, kau bukan prajurit, bukan pahlawan, bukan nabi, kau hanya seorang penipu, pembohong, kau seorang penjilat.”.
Sang raja terkejut mempertanyakan maksud dari orang asing tersebut. Mencoba membalas kalimat itu dengan bibir bergetar dan ragu. Belum juga sempat mengedip, sosok itu menghilang, seakan tak pernah ada. Lenyap bak kilat menyambar meninggalkan gemuruh yang terngiang-ngiang bergemah membelah keponggahan batu yang kuat di dalam dadanya. Masih juga raja mencoba menafsir kata demi kata dari si asing. Namun sudah hancur, luluh lantah hati sang raja. Ia hanya lagi dan lagi menenangkan dirinya, merasionalkan segalanya, lalu pembenaran atas dirinya, “Itu suara setan! Ya setan yang coba mongombang-ambingkan bahteraku. Setan harus dijauhi, dia menyesatkan.”
Di lain waktu, sampailah sebuah risalah di negeri itu. yang tidak pernah sama sekali diketahui sang raja. Dibawa oleh pedagang-pedagang dari negeri yang jauh. Kira-kira bunyinya, “Siapa yang dizalimi dirinya oleh orang lain, itu karena ia membiarkannya.” Ungkapan yang sangat runut. Akal akan menerima dengan penuh dan nir penyangkalan. Yah tentu saja, kezaliman hanya terjadi jika ada yang menzalimi dan ada yang dizalimi, pun orang yang dizalimi akan tetap terzalimi jika ia tidak mencoba menjaga dirinya dari kezaliman orang lain. Toh raja tahu betul bahwa kezaliman adalah anti dari kemanusiaan, karena fitrah manusia harusnya membawa kita pada kedamaian, saling berbagi, dan keadilan. Dan sekali lagi kezaliman adalah anti dari kemanusiaan.
Di negeri yang damai itu, ternyata tidak lebih dari perumpamaan semangka yang indah tampakannya namun menyimpan kebusukan di dalammnya. Raja kini mendapati rakyatnya saling berpecah. Apa penyebabnya? Tanya raja bingung. Seorang rakyatnya menjelaskan ‘Si A memiliki janji hutang pada si B tapi janji itu tak kunjung ditepati. Si A berontak menagih janji, dengan ramah pada awalnya namun Si B tak kunjung menepatinya. Lama waktu berselang si A berada dalam kondisi terjepit. Ia hampiri B menagih janji sekali lagi (untuk kesekian kali). Sial! Tapi B belum siap, ia mengira A telah melupakannya atau setidaknya masih bisa ditunda. Namun terlambat untuknya, ia tewas di tangan A yang pitam, kalap, pesakitan, buta hati karena deritanya.”.
Persidangan lalu dia adakan untuk menentukan nasib A. Sidang yang ‘adil’ memvonis mati si A tanpa pembelaan, tanpa banding, tanpa memohon, ia menerima penuh kesalahannya. Mati meninggalkan duri, duka, dan luka bagi negeri damai. Membuka tabir dari citra negeri yang terlihat baik-baik saja.
Waktu terus membanting dirinya, kini telah lama semenjak kematian itu bersuar di negeri sang raja. Namun sekarang berbeda, malam-malam sang raja tak pernha sama lagi. Temannya hanya mimpi buruk, penyesalan, ia merasa dibuntuti di sebuah lorong gelap tanpa seorang yang berlalu-lalang atau menemani. Raja menyesal tapi tak tahu apa yang disesalinya. Ia bingung, menyesal, kalah, tanpa tahu apa sebabnya.
Hingga pada siang bolong yang silau dengan matanya masih sayup-sayup membuka. Dua sosok yang akrab di masa-masa yang lalu muncul di hadapanya. Satu malaikat yang selalu mendukungnya, dan satu setan yang membencinya, menolaknya, memakinya. Dan melempar semua ingatan, menghantam kepalanya yang kebingungan tentang awal kisah ini bermula, dengan sentakan yang mengerikan, “Kisah sesendok madu”. Dan risalah itu, ya risalah yang belum pernah terdengar sebelumnya, risalah dari negeri yang jauh di ufuk harapannya. Sekonyong-konyongnya ia pecah ditemani petir dan guntur. Dipacuhnya kuda dengan pelana yang mencekiknya. Di hati dan pikirannya terhubung segala sesuatu, segala hal yang coba ia sembunyikan, yang coba tipu dirinya sendiri, tapi kali ini tidak ada kalimat yang mampu membenarkan, sama sekali tidak ada. Sekonyong-konyongnya semua mejadi jelas, bahwa madu harus tetap menjadi madu, karena air dan madu masing-masing punya kesempurnaannya sendiri. Dikarenakan madu yang berubah menjadi air, maka menipu, membunuh, merampas, curang, berharap, menindas yang lemah, memperkosa, despostis, korup, semua menjadi benar adanya. Ya! Akan menjadi benar, karena air bagaimanapun akan menjadi madu di hadapan sang raja. Bahkan jika madu itu berubah menjadi bangkai, darah, daging, tinja, tanah hitam, air selokan, bagi sang raja itu adalah madu. Yang ada hanya penyesalan, dari bibirnya yang kering terdengar, “Aku telah membunuh... Aku seorang pembunuh... Aku raja yang zalim....”
Epilog.
Sang raja melanjutkan hidup dengan damai. Rakyatnya damai. Atas nama rakyatnya, Raja tetap menjadi pengikut malaikat. Ia menyimpan dalam-dalam bisikan setan itu. Dan risalah jauh itu ditulis hanya dalam hatinya. Ia terlalu sungkan pada rakyatnya. Ia terlanjur sayang. Hingga ia mati dengan menyimpan rahasia yang rapat tak bercelah di dalam kerangkeng limbo.
"karena cinta harus diungkapakan maka ku suarakan ke penjura negeri, lautan dan dunia. 'aku mencintai mu'. lalu sekonyong-konyongnya matanya menumpahkan kasih."
YANG (SEDANG) BERSIAP..
Masa persiapan menjadi saat-saat yang menyenangkan setiap kali ia
akan melakukan perjalanan. Seperti ketika ia akan berangkat pulang
kampung, jalan-jalan, liburan, piknik, naik gunung, hunting foto, atau
ke kota lain. Ya, senang rasanya ketika akan melakukan perjalanan dan
mempersiapkan segala bekal baik untuk diri maupun untuk orang terkasih,
teman seperjalanan. Lalu ia tersadar bahwa seluruh hidup ini adalah
sebuah bagian perjalanan.
Semalam mimpi memberi ia
pertanda yang tidak asing tafsirnya. Pernah ia temukan tafsirnya pada
sebuah buku. Penulis buku itu dalam sebuah kisah dianugerahi kemampuan
menafsir mimpi setelah menolak berzina dengan isteri sodagar kaya raya
yang cantik jelita. Sangat mirip dengan kisah Nabi Harun as. yang mampu
menafsir mimpi raja dalam kitab-kitab suci. Nama beliau adalah ibnu
sirin yang sangat menginspirasi kaum muda untuk menjaga kesucian diri.
Dalam
buku mimpi itu ditafsirkannya bahwa “seorang laki-laki dari keluarga
terkasih pemimpi akan melakukan perjalanan”. perjalanan ini adalah
perjalanan sebenarnya setelah beristirahat, bersenda-gurau, berbagi
kasih-sayang, mengungkapkan cinta di dunia dalam beberapa saat yang
singkat. Perjalanan selanjutnya ini adalah perjalanan abadi. Perjalanan
ini adalah perjalanan yang dinanti oleh setiap jiwa yang rindu untuk
pulang ke kampung halamannya, seperti kata Rumi dalam puisi suling
bambunya.
“Kisah Lagu Seruling”
Dengar alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku
Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu
Ya!
Seseorang yang jiwanya begitu merindu akan segera berpulang ke “Rumpun
Bambunya”, seperti itu kira-kira tafsir dari mimpi itu. Baginya ini
bukan mimpi yang buruk, akal menolaknya. Karena mana mungkin ada seorang
perantau yang benar-benar lupa untuk pulang. Bahkan seorang yang sibuk
sekalipun di rantaunya, yang menikah, beranak pinak, hidup layak, punya
rumah bak istana, sesekali dalam hidupnya tak terbersit dipikiranya
untuk pulang ke kampung halamannya. Ya! Kerinduan itulah yang tidak bisa
ditolak. Jiwa dan kampung halamannya.
Mimpi itu
mengantarkan ia pada masa-masa silam yang begitu kelam pada sudut
pandangnya saat itu, dan sekaligus pada masa-masa yang menyenangkan.
Menghadapkan ia pada serang pemuda yang bersedih, pesimis, yang di
bibirnya selalu nampak setengah lengkungan ke bawah, karena segala hal
yang “menakutkan” akan tepat berada di hadapannya di masa depan,
menghantui hari-harinya. Hidup menjadi neraka bahkan sebelum ia melihat
neraka sebenarnya, masa depan menjadi teroris yang sekonyong-konyong
mengantarkan padanya bom terbesar yang mungkin akan ditemuinya. Ia
menyebutnya “kematian”.
Namun entah banyak hal yang
akhir-akhir ini menjadi sangat berubah. Kini sudut pandangnya berputar
180 derajat. Ia melihat masa depan bukan lagi sesuatu yang menakutkan.
Ia sekarang bahagia, optimis, dan dari bibirnya ada cahaya bulan sabit
yang indah. Setelah ia menyadari bahwa semua jiwa memang sudah harus
berpulang ke Kampung abadinya. Matanya kini selalu menatap ke ufuk
kerinduannya. Jiwanya saat ini lebih siap menerima tafsir mimpi itu.
Kini
yang harus ia lakukan adalah mempersiapkan sebuah perjalan. Ia sadar
harus mengumpulkan beberapa ransum yang akan dijadikan bekal yang pas
untuk membawanya dalam perjalan panjang ini. Jika ia tidak bisa membawa
carier 90lt mungkin 35lt sudah cukup. Yang terpenting ia tidak melupakan
bahkan menganggap enteng persiapan itu hingga melalaikannya. Bukankah
ia senang dengan pesiapan-persiapan di setiap awal perjalanannya!?
Akhirnya
ia yakin kalau bukan ia yang dahulu memulai perjalanannya. Bisa juga
orang yang ia kasihi, sayangi, cintai lebih dahulu meninggalkannya. Baik
itu laki-laki ataupun perempuan. Bukankah semua manusia berasal dari
Rumpun Bambu yang sama? Kampung halaman yang sama? Maka manusia adalah
sebuah keluarga besar yang sedang bersiap-siap untuk pulang Kampung. Ada
yang lebih dahulu, ada juga yang kemudian, dan terkadang beramai-ramai.
Kendaraannya pun bereda-beda, ada yang naik kereta super jet, bus jet,
bus tua, concorde, kereta ekonomi, kuda, keledai, sapi, motor, kambing,
elang, kura-kura, mobil, sepeda, merpati, dan ada yang mengendari buraq.
Semua menuju tempat yang sama.
Saat ini yang bisa ia
lakukan adalah menunggu giliran. Yang bisa ia lakukan adalah
bersiap-siap. Yang bisa ia lakukan adalah berdoa. Ia bahagia karena ia
tahu dengan pasti bahwa satu-satunya tempat kembali adalah rumahnya,
Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyang. Ke mana lagi manusia dapat
berpulang? Ke mana lagi “Kampung” yang lain? Jawabnya pasti tidak ada,
dan itu adalah neraka terburuk.
Walapun belum terjadi ia
akan mempersiapkan diri untuk mendengar seorang yang ia kasihi mendapat
undangan dari langit. Ia akan bersiap sebaik mungkin walau dengan air
mata yang membanjiri wajahnya sebagai tanda cintanya. Ia akan bersiap!
PS: "Bagaimana
mungkin dia yang merasa lemah karena memang tidak punya daya, sedangkan
"tangannya" terus-menerus menadah curahan kasih dan sayang, mampu untuk
mengangkat kepalanya yang merunduk dan bersimpuh. Ia yang Modalnya
hanya harapan, maka ia meneteskan untaian harapan."
(Awal minggu, pada saat bulan penuh. Di dalam kotak tempatku berteman demam.)
SAKIT DAN BAHAGIA!
Tuhan memperlihatkan padamu halilintar untuk menimbulakan ketakutan dan harapan..... (al-Ra'd 12)
Tidak
ada yang benar-benar senang dengan sakit, atau lebih tepatnya adakah
seseorang yang ingin sakit? Senang menjadi pesakitan! Tentu tidak
jawabnya. Sakit menjadi momok dalam kehidupan manusia, rasa yang asing,
aneh, dan berbeda dari ketika sehat. Tanpa penjelasan, tanpa
dipersiapkan, diduga, sekonyong-konyong bisa menjadi benalu yang
menyerap energi si pesakitan, membuatnya lemah tak berdaya. Tubuh
perkasa, kerempeng, tirus, gemuk, sixpack, langsing ketika
angin ini menghampiri tubuhnya tidak ada seorang yang bisa menolak.
Perbedaannya hanya pada cepat atau lambatnya ia dapat bertahan darinya,
meminjam bahasa seorang teman dokter “tergantung imunitasnya”.
Sudah 20 jam ia hanya berselimut saja, bukan hanya selimut, ‘sleeping bags’ yang
menjadi perlengkapan tidur pendaki untuk menghangatkan diri dari
ganasnya suhu dingin di puncak-puncak tertinggi di dunia, membungkusnya
rapat-rapat bersama selimut yang melilitnya dan jaket hangat yang ia
kenakan. Padahal suhu di kota saat itu tidak seperti di atas puncak
pegunungan. Kota itu berada di tepian pantai. Dan seperti biasa, kota di
tepi pantai selalu punya suhu yang hangat atau lebih sering panas.
Sekitar 27 derajat celsius saat itu.
Peluh terus mengucur deras
dari setiap celah pori-pori tubuhnya. Namun selama berjam-jam ia hanya
menetap dalam rutan selimut tak bercelah yang membuat badannya mendidih.
Tapi yang ia rasakan hanya kedinginginan tak tertahankan atau mungkin
indra perasanya sedang tidak berfungsi dengan baik, sehingga ia masih
saja mengigil dalam jaket, berselimut dalam selimut seperti pisang
molen. Ia masih saja mengigil, bukan karena kedinginan tapi karena rasa
yang ‘asing’ yang menyelubungi dirinya.
Ia menjadi
berhalusinasi, kenangan masa kecilnya tumpah ruah di hadapannya.
Kenangan yang hampir ia lupakan. Kenangan ketika berada pada kondisi
yang sama di masa-masa kecilnya dulu, di sebuah gubuk berdindingkan
rotan yang dianyam menjadi seperti tripleks. Ketika malam
datang dan angin berhembus, dari sela-sela anyaman yang tidak terlalu
rapat akan berhembus angin sepoi-sepoi nan sejuk atau kadang sangat
dingin, karena rumah tua itu berada di daerah perbukitan yang rindang.
Orang-orang menyebut dinding itu “kamacca”.
Kenangan
ketika bapaknya memegang kedua tangan saat ia tertidur dalam demam
tinggi, lalu berkata “kamu sakit, nak!” dengan raut muka memerah
khawatir. Sekonyong-konyong hatinya menjadi bahagia. Ia yang hidup
sendiri, mengurusi dirinya sendiri, menyelimuti dirinya sendiri, jauh
dari kedua orangtuanya, keluarga, kerabat, tersenyum puas dalam
halusinasinya. Bapaknya seakan-akan hadir di hadapannya seperti
masa-masa itu. Ia bahagia karena dalam kesendiriannya dengan tubuhnya
yang menjadi pesakitan dan mulai memaki, menghujat, mencemooh pada
‘sakit’. Kini semua berubah menjadi rasa syukur, damai, akan segala
anugerah yang melimpah ruah dalam hidupnya. Termasuk masa-masa sehat
yang panjang ia rasakan, ia gunakan untuk berteman, berbagi kasih,
disayangi, menyayangi, belajar, diajari, mencintai, dicintai, mengasihi,
dikasihi, bersedekah, disedekahi. Bahwa dalam hidupnya lebih banyak ia
lalui dengan kebahagiaan, nikmat, anugerah yang tak mungkin
menafikkannya.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Qs al-Rahman 36)
Sempat
ia merasa sangat benci dengan tubuhnya yang merasakan hal yang ‘asing’
itu. Dalam imajinya muncul wajah-wajah yang sepertinya sangat membenci
dirinya. Seakan tak ada seorang pun yang menaruh rasa iba, simpati dan
empati padanya. Ia dibutakan prasangkanya. Setiap panggilan, salam,
sapaan, senyuman, begitu palsu di matanya. Entah mengapa dalam kondisi
‘asing’ ini rasa benci, dendam, yang bersemayam di hatinya tetiba saja
muncul mendongengkan kemalasan pada setiap orang yang ia kenali.
Seakan-akan tidak ada lagi orang baik (mengerti dirinya) di dunia ini.
Setiap tatapan mata yang mengarah padanya seperti lampu sorot yang
seakan-akan ingin menghakimi, mempersalahkan, menghujat, membunuh setiap
kemungkinan baik yang mungkin ada. Ia merasa kesepian di tengah
hiruk-pikuk keramaian. Entah mengapa ia menjadi seorang yang benar-benar
berbeda, ia cemas, marah, hatinya penuh dengan prasangka negatif.
Rasionalitasnya menjadi sangat kabur, buram, bahkan hilang. Ia menjadi
pesakitan bukan hanya pada tubuhnya, tapi juga pada jiwanya. Oh, malang
benar ia, sekejap kebahagiaannya sirna, hilang bersama energi yang terus
dihisap oleh sakitnya, hilang bersama keringat yang mengucur deras dari
tubuhnya, bersama hatinya yang buta dan mulai membatu. Ia menjadi
pesakitan yang menderita.
“Bila Tuhan memberi
kemuliaan dan anugerah, manusia akan mengatakan bahwa Tuhan sedang
memuliakannya. Dan, jika Ia menyempitkan rezeki, manusia akan berfikir
bahwa Tuhan sedang merendahkannya. Sama sekali tidak seperti itu.” (Qs
al-Fajr: 15-17)
Lalu kenangannya tentang masa-masa
kecilnya yang penuh perhatian dari bapaknya tercinta, masa-masa sehatnya
yang penuh kebahagian bersama orang-orang terkasih, membantingnya
dengan hantaman yang sangat keras tepat di jantung hatinya.
Menghantamnya tepat di pusat prasangkanya, menampar setiap kemarahannya,
kecemasanya, kesepiannya mulai sirna seiring bahagia yang mulai
memenuhi hatinya. Kebahagian yang lahir dari kebahagiaan yang ia
saksikan sehari-harinya ketika ia sehat. Ia tersadar bahwa di dalam
hatinya ia menyimpan batu yang kotor, yang tetiba timbul-tenggelam
karena sakit yang menimpanya. Sakit yang ia dapatkan karena
syarat-syaratnya terpenuhi, sakit yang ia mengambil peran dalamnya. Maka
dengan sakit ia tahu dengan pasti bahwa ia bukan orang yang suci, bukan
orang yang bersih dari kotoran, ia lalu mampu melihat segala plak-plak,
borok hitam yang mulai mengeras di hatinya, dan baru tercium bau
busuknya. Dengan sakit ia sadar bahwa betapa nikmatnya masa-masa sehat
yang ia lalui dengan bahagia, dan tetiba mempersalahkan semua orang yang
tidak iba, simpati, empati padanya yang ujung-ujungnya mempersalahkan
Tuhan atas apa yang menimpanya. Oh, sama sekali tidak seperti itu.
Setan
telah menghias prasangka itu dalam hati kalian. Kalian telah
berprasangka buruk, maka jadilah kalian kaum yang menderita (Qs al-fath
12)
Dalam selimut berselimutnya beserta tubuhnya yang
mulai mampu merasakan suhu yang begitu panas diakibatkan berlapis-lapis
kain yang melilit tubuhnya yang berpeluh. Ia merasakan kelegaan yang
begitu menenangkan hatinya, dan kaos yang paling dekat dengan kulitnya
terasa begitu basah, tembus hingga selimut sebelum sleeping bag. Ia
menjadi begitu bersemangat dan bahagia, ia ingin sehat lalu segera
bertemu teman-temanya tercinta, berbagi cerita, senyuman, ilmu,
kesedihan, tangisan, coklat, biskuit, permen, buku, novel, pengetahuan.
Kini ia mampu membedakan suhu ruang sekitar, lalu satu persatu melepas
selimut terluar hingga mengganti baju basahnya yang sudah bisa diperah
saking basahnya. Ia ambil segelas air, dan lalu menelan pil pahit yang
kurang ia sukai. Ia ingin segera sehat kembali.
Bersama
piluh yang mengucur deras keluar dari tubuhnya, menguaplah kebenciaan di
hatinya. Sekarang ketika seorang bertanya padanya ketika ia sakit, ia
akan menjawab bahwa ia sedang sakit, namun ia bahagia. Jika ditanya
mengapa ia bahagia padahal sedang sakit? Ia akan menjawab karena sakit
ia sadar kasih sayang Tuhan selalu tercurah baginya. Karena sakit ia
tahu bahwa ia makhluk yang lemah. Karena sakit orang-orang mengasihinya,
mendoakannya. Karena sakit ia mengenal dirinya.”
“Ya
Allah, aku tidak tahu. Apakah aku harus bersyukur atau bersabar dalam
kondisi sakitku ini. Sebab, berkat sakit ini, aku terhindar dari
berbagai kenistaan, aku punya banyak waktu untuk berzikir dan berkumpul
bersama keluarga.” (Doa Imam Ali Zainal Abidin saat beliau sakit.)
TERLALU PETANG...
Pagi ini kulihat sepasang anak
manusia di masa senja hidupnya, duduk di trotoar jalan menunggu dengan
setia rezeki dari jagung, kacang, gogos, mangga dan telur asin..
Pagi ini menjelang fajar terbit, aku dapati anak manusia usia lima tahun dengan mata yang terkantuk-kantuk menunggu dengan sabar seribuh rupiah dari koran terakhir di pelukannya..
Pagi ini didatangi ku dua anak manusia yang saling teriakat darah, dengan tabah menundah kepulangannya ke istana kardusnya karena tiga puluh lima ribu rupiah setoran hariannya belum terpenuhi..
Pagi ini dan seperti pagi di hari-hari lainnya, kudapati pemulung memulai pekerjaanya lebih dini dari sesiapapun di kota ini, memunguti kesombongan zaman yang lupa dengan dirinya.
Pagi ini dan banyak pagi-pagi yang lainnya, dihadapanku tertayang tragedi kemanusiaan. Sepasang anak, kakak beradik dalam dinginnya malam, tidur pulas beralas paving bloc yang disapunya, berselimutkan kardus bekas.
Oh.. betapa dini, betapa tabah, betapa pagi!
Saat ini kudapati diriku di dalam rumah yang aman, bebas dari debuh jalanan, dengan uang bulanan di saku, dan aku masih mengeluh karena belum punya ini dan itu.
Saat ini kudapati diriku dengan perut buncit dan dompet yang terisi, begitu tersiksa memberikan seribuh perak pada peminta-minta, karena ku tau dengan pasti makanannya lebih enak.
Saat ini kudapati diriku di atas kasur nyaman tempat ku bersitirahat, dan masih saja mengerutu karena suhu panas kota yang membuat peluh mengucur.
Saat ini kudapati diriku merokok dengan bangga karena tidak tertipu oleh industri kesehatan, lalu menipu diri atau lupa dengan puntung rokok dan abu berserakan di lantai.
Saat ini kudapati diriku mebuang, mengotori , ruang tempatku bersantai-ria. Demi tugas cleaning service agar membersihkannya esok pagi.
Saat ini kudapati diriku tidur bersama sampah yang berserakan, tanpa ada inisiatif untuk sekedar membersihkan alas tidurku, karena nantinya akan kotor kembali.
Oh.. betapa terlambat, betapa marah, betapa petang!
Oh... malang benar aku! Kumohon! Kumohon! maki saja aku...
Maki hingga hancur hati ku.. Maki hingga hancur keponggahan serta kesombonganku...
Maki aku sehina-hinanya.. Jika aku tetap menjadi penipu dengan dompet berisi, yang hidup aman, nyaman,
mengerutu, tidak bertanggung jawab, tidak peduli.. biarkan aku kau maki!
Sesiapapun? Kumohon jangan biarkan aku menjadi zombi yang berjalan, danging tanpa jiwa, hewan ternak,
atau batu. Aku ingin menjadi manusia..........
(Rumah kedua, bersama dada yang sesak dan jiwa yang tertinggal..)
Pagi ini menjelang fajar terbit, aku dapati anak manusia usia lima tahun dengan mata yang terkantuk-kantuk menunggu dengan sabar seribuh rupiah dari koran terakhir di pelukannya..
Pagi ini didatangi ku dua anak manusia yang saling teriakat darah, dengan tabah menundah kepulangannya ke istana kardusnya karena tiga puluh lima ribu rupiah setoran hariannya belum terpenuhi..
Pagi ini dan seperti pagi di hari-hari lainnya, kudapati pemulung memulai pekerjaanya lebih dini dari sesiapapun di kota ini, memunguti kesombongan zaman yang lupa dengan dirinya.
Pagi ini dan banyak pagi-pagi yang lainnya, dihadapanku tertayang tragedi kemanusiaan. Sepasang anak, kakak beradik dalam dinginnya malam, tidur pulas beralas paving bloc yang disapunya, berselimutkan kardus bekas.
Oh.. betapa dini, betapa tabah, betapa pagi!
Saat ini kudapati diriku di dalam rumah yang aman, bebas dari debuh jalanan, dengan uang bulanan di saku, dan aku masih mengeluh karena belum punya ini dan itu.
Saat ini kudapati diriku dengan perut buncit dan dompet yang terisi, begitu tersiksa memberikan seribuh perak pada peminta-minta, karena ku tau dengan pasti makanannya lebih enak.
Saat ini kudapati diriku di atas kasur nyaman tempat ku bersitirahat, dan masih saja mengerutu karena suhu panas kota yang membuat peluh mengucur.
Saat ini kudapati diriku merokok dengan bangga karena tidak tertipu oleh industri kesehatan, lalu menipu diri atau lupa dengan puntung rokok dan abu berserakan di lantai.
Saat ini kudapati diriku mebuang, mengotori , ruang tempatku bersantai-ria. Demi tugas cleaning service agar membersihkannya esok pagi.
Saat ini kudapati diriku tidur bersama sampah yang berserakan, tanpa ada inisiatif untuk sekedar membersihkan alas tidurku, karena nantinya akan kotor kembali.
Oh.. betapa terlambat, betapa marah, betapa petang!
Oh... malang benar aku! Kumohon! Kumohon! maki saja aku...
Maki hingga hancur hati ku.. Maki hingga hancur keponggahan serta kesombonganku...
Maki aku sehina-hinanya.. Jika aku tetap menjadi penipu dengan dompet berisi, yang hidup aman, nyaman,
mengerutu, tidak bertanggung jawab, tidak peduli.. biarkan aku kau maki!
Sesiapapun? Kumohon jangan biarkan aku menjadi zombi yang berjalan, danging tanpa jiwa, hewan ternak,
atau batu. Aku ingin menjadi manusia..........
(Rumah kedua, bersama dada yang sesak dan jiwa yang tertinggal..)
TERLALU PAGI............
Pagi ini kulihat anak perempuan berseragam lengkap melompat kegirangan menuju pertemanan gembira.
Pagi ini kulihat wajah tanpa senyum menyapa di tengah keramaiaan yang sepi.
Pagi ini kulihat sejoli datang dari pulau seberang yang jauh, berkeliling kota dengan gendongan yang berat, mengadu nasib demi hidup yang lebih baik.
Pagi ini kulihat anak putus sekolah datang lebih pagi, lebih pagi di kampus para golongan tengah memungut sampah-sampah kesombongan para intelek yang ponggah dan paradoks.
Pagi ini kulihat seorang bapak berpakaian rapi menjajalkan nasi berwarna dengan citi car putih demi kehidupan yang mungkin tak akan kutahu realitanya.
Pagi ini aku disambut senyuman hangat sodara-sodariku yang serahim pun tidak. Senyum kebahagiaan yang tak ternilai oleh sebatang coklat.
Kemarin kulihat wajahnya mulai menceking. Entah apa yang menggerogoti hatinya, senyumnya tak setulus biasanya. Entah apa yang menguras jiwa dan pikirannya. Ia bukan perempuan berseragam, ia tersenyum, bukan anak putus sekolah. Entah apa yang sedang ia kejar. Entah apa yang ingin ia raih. Obsesinya terpancar dari gestur tubuhnya yang menunjukan kegelisahan yang tidak ketulungan. Namun ada ketulusan yang seperti biasa memancar dari hatinya dan dari ucapan yang berbisik penuh harapan. Harapan pada hasratnya untuk menjawab segala tanya yang selama ini mulai ia cari jawabannya, lalu terputus untuk sesuatu yang selalu menimbulkan keresahan, ketakutan, lalu kekecewaan. Kebahagiaan adalah semua yang ia cari. Tapi ia menjalani jalan yang berbeda, bahagianya hanya topeng yang diganti sesuai panggung tempatnya tampil. Bukan bahagia dengan senyuman sebagai toping manis, tulus, nan indah.
Pagi ini kulihat wajah tanpa senyum menyapa di tengah keramaiaan yang sepi.
Pagi ini kulihat sejoli datang dari pulau seberang yang jauh, berkeliling kota dengan gendongan yang berat, mengadu nasib demi hidup yang lebih baik.
Pagi ini kulihat anak putus sekolah datang lebih pagi, lebih pagi di kampus para golongan tengah memungut sampah-sampah kesombongan para intelek yang ponggah dan paradoks.
Pagi ini kulihat seorang bapak berpakaian rapi menjajalkan nasi berwarna dengan citi car putih demi kehidupan yang mungkin tak akan kutahu realitanya.
Pagi ini aku disambut senyuman hangat sodara-sodariku yang serahim pun tidak. Senyum kebahagiaan yang tak ternilai oleh sebatang coklat.
Kemarin kulihat wajahnya mulai menceking. Entah apa yang menggerogoti hatinya, senyumnya tak setulus biasanya. Entah apa yang menguras jiwa dan pikirannya. Ia bukan perempuan berseragam, ia tersenyum, bukan anak putus sekolah. Entah apa yang sedang ia kejar. Entah apa yang ingin ia raih. Obsesinya terpancar dari gestur tubuhnya yang menunjukan kegelisahan yang tidak ketulungan. Namun ada ketulusan yang seperti biasa memancar dari hatinya dan dari ucapan yang berbisik penuh harapan. Harapan pada hasratnya untuk menjawab segala tanya yang selama ini mulai ia cari jawabannya, lalu terputus untuk sesuatu yang selalu menimbulkan keresahan, ketakutan, lalu kekecewaan. Kebahagiaan adalah semua yang ia cari. Tapi ia menjalani jalan yang berbeda, bahagianya hanya topeng yang diganti sesuai panggung tempatnya tampil. Bukan bahagia dengan senyuman sebagai toping manis, tulus, nan indah.
MAKA BERBAHAGIALAH
Lama aku menanti sebuah perjumpaan. Perjumpaan yang cemas dan harapan
bergonta-ganti meramaikan setiap detik penantian. Pertanda dari sebuah
mimpi yang berarti kepergian atau juga kelahiran. Bagaikan sebuah sekoci
yang tersesat di hamparan lautan lepas, mananti bala bantuan, menyerah
atau berserah. Lalu antara pergi atau datang, hadir atau pergi, lahir
atau mati, akhirnya yang dinantikan memilih untuk terlahir, hadir
sebagai buah harapan yang dianugerahi oleh Kasih, Sayang, dan
Kebijasanaan_Nya dalam memutuskan semua perkara.
Apapun yang terjadi sudah harusnya hamba bersiap akan keputusan final dari
Sang Penetap Keputusan. Tak sedikitpun meragukan ketetapan_Nya. Tentu
saja karena ia memang Yang Maha Adil. Namun tidak adakah pintu terbuka
untuk mempertanyakan bagaimana keadilan itu? Karena aku takut salah
memahami keadilan_Nya, sehingga salah mengenal_Nya. Sungguh kecemasan
ini telah menenggalam aku dalam ketakutan, hingga hampir-hampir saja aku
ragu akan keadilan_Nya. Maafkan hamba yang hina, Tuhan yang suci dari
sifat kezaliman.
Hidup Bukan Sebuah Keterpaksaan
Mimpi
itu membuatku bertanya untuk kesekiaan kalinya, mengapa aku ada disini?
Tanya yang Tetiba muncul karena ada ketakutan yang luar biasa, pada
harapan yang ada di dalamnya. Megapa tetiba saja aku duduk di hadapan
mesin tik modern dengan layar terpaku, atau berkumpul pada sebuah
keluaga yang sederhana, berteman dengan sejawat di kampus, jatuh cinta
pada seorang gadis baik, dan menanti bayi kedua dari kakakku terkasih.
Lalu semua itu membuatku mual untuk memuntahkan tanya dalam jiwaku,
adakah jawab untuk semua yang lancang aku tanyakan ini? Aku ketakutan
akan arti sebuah mimpi dan pada akhirnya aku harus menyimpulkan bahwa
segalanya terpaksa untuk menjadi ada disini, lalu menjalaninya karena
memang harus dijalani, karena sudah begitu adanya. Tapi mengapa aku
masih saja cemas? Dan mengapa aku begitu mengharap (berharap) jawaban?
Apakah
tawa, senyum, bahagia, marah, sabar, baik, berjuang, menyerah, kalah,
buruk, menang, hidup, sengsara, mati, surga, lahir, ditindas, dan nereka
adalah semua yang terpaksakan untuk kita jalani? Lalu mengapa aku
bertanya? Lalu mengapa mencinta? Lalu mengapa takut, cemas, bersedih,
dan berharap? Jika semuanya hanya sebuah keterpaksaan! Lalu mengapa
harus ada ‘mengapa’ lagi? Toh semuanya hanya keterpaksaan belaka. Maka
aku harusnya hanya terpaku saja, patuh pada segala apa yang akan
terjadi.
Namun tidak! Aku tidak bisa berhenti mempertanyakannya?
Aku tidak bisa menerima, lalu berhenti, dan mengakui bahwa aku terpaksa
untuk mengharap, mencinta, bahagia, dan menanti seorang kekasih hati
yang akan menemani ku hidup. Dengan merasa terpaksa menjalaninya, lalu
membuat ku harus menggugurkan semua hal yang membuat hidup ini menjadi
bermakna. Perjuangan, cinta, senang, suka, baik, indah, pahala, dan
surga menjadi gugur. Akupun yang bertanya ini menjadi tak berarti
apa-apa! Karena semuanya dipaksakan oleh_Nya yang maha menguasai. Oh!
aku berlindung dari penyifatan yang tidak layak bagi_Nya.
“Tuhan tidak sedang bermain Dadu”. (Einstein)
Hingga
dalam kegelapan ini, sebuah titik cahaya dari temaram pelita harapan
menyingkapkan sebuah kebenaran yang tidak bisa untuk ditolak. Seberkas
cahaya dalam gelap akan membedakan dengan jelas, mana cahaya dan gelap,
yang benar dan salah. Bahwa hidup dan kehidupan ini bukan sebuah
kesia-siaan yang tak bermakna. Bahwa hidup ini diciptakan untuk sebuah
kepatuhan kepada ketidakadilan. Maka keyakinanku menyuarakan
pemberontakan pada keterpaksaan absolute seperti itu. Bahwa tidak bisa
diterima jika menyakiti, merusak, membenci, membunuh, merampok, adalah
benar dan harus diterima, karena sudah seharusnya dilakukan, karena
semuanya adalah kepastian final.
Hidup dan kehidupan
ini sendirilah yang kembali memberi jawaban bagi sang tanya. Kehidupan
ini bukanlah sebuah kebetulan belaka yang didalamnya manusia dipaksakan
untuk menjalakan apa-apa saja ketentuaan yang berlaku. Malahan hidup
ini haruslah sebuah keabsolutan yang berdiri pada fondasi keadilan dari
yang Maha Adil. Kalaupun ada apa-apa yang telah di tentukan haruslah
demi sebuah tujuan yang hakiki. Tidak seperti melempar sebuah dadu,
berharap keberuntungan. Penciptaan ini terencana dengan sempurna.
Kehidupan
ini haruslah dimaknai agar rasa syukur, perjuangan, harapan, keadilan,
kebenaran, dan cinta-kasih menjadi berarti, tegak lalu memberikan arah
gerak dan tujuan dalam penciptaan. Rasa cemas, sakit, kesusahan,
kelaparan menjadi saksi bahwa setelah semua itu ada sesuatu yang menjadi
tujuan kita. Kedamaiaan, sehat, solusi, dan kebugaran bukan sesuatu
yang dipaksakan untuk mensyukurinya, namun merupakan harapan yang bisa
dipilih daripada sekedar pasrah dalam keterpurukan.
Kehendak Adalah Keadialan Penciptaan
Sakit
dan sehat, lelah dan rehat, baik dan buruk, benar dan salah, cerdas dan
bodoh, mengetahui dan tidak, adalah pilihan-pilhan yang tak akan pernah
terlepas dari kehidupan manusia. Kehendak menjadi anugerah istimewa dan
tertinggi yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Api yang
sifatnya membakar, menjadi berguna bagi kehidupan manusia tanpa harus
membakar dan melukainya. Kehendak yang membuat para pesakitan berjuang
untuk mengecap kembali nikmat kesehatan. Kehendak yang membangunkan
manusia dari rehat panjang demi ruang sosial tempat berbagi kebahagiaan.
Namun
tidak berarti manusia berada dalam kemandiriaan absolute juga. Dimana
segalah kehendak manusia lahir dari kebebasan mutlak untuk menentukan
arah dan pilihannya. Jika seperti itu semua akan bepulang sama seperti
keterpaksaan hidup. Dimana tujuan hidup dan pelaku hidup menjadi gugur
tidak bermakna. Sekonyong-konyongnya hadir di muka bumi, hidup seperti
apapun maunya, berbuat sesuka-hatinya, dan menunggu kematiaannya. Tanpa
makna dan tanpa tujuan. Sekali lagi hidup menjadi tidak bermakna, dan
akan menyebakan kesengsaraan dalam hidup. Hidup berpusat pada aku, maka
aku yang paling kuatlah yang akan bertahan dalam hidup ala rimbah.
Sekali
lagi hidup dengan bijaksana menjadi pelita penunjuk jalan kita. Bahwa
sekali-kali hidup ini bukan sesuatu yang tidak bermakna, yang di
dalamnya kezaliman dilazimkan, membunuh diperbolehkan, menyakiti
merupakan sebuah keniscayaan dari sebuah kehendak yang bebas
sebebas-bebasnya. Bagaimanpun kuatnya sebuah argumentasi kebebasan, ia
tidak akan benar-benar terbebas dari sesuatu yang melekat dengannya
semenjak ia terlahir ke dunia, yaitu kematian.
Kematian
akan selalu menjadi pembatas paling sederhana dari sebuah kemandirian
yang diyakini mutlak. Namun apakah masih bisa ia dikatakan sebagai
mutlak sesuatu yang terbatasi? Maka gugurlah kemutlakan dari sebuah
kehendak bebas. Yang mutlak malahan adalah kematiaan itu sendiri. Dengan
begitu kehiduan sepertinya menunjukan pada mereka yang menjalaninya
bahwa ada kemutlakan dimana manusia menuju kepadanya. Sebagai tujuan
dari kehidupan, yang melampaui kematiaan itu sendiri. Sehingga dalam
menjalani hidup manusia akan terus berjuang mengarakan kehendaknya pada
pilihan-pilihan yang terbaik, yang ujungnya ada kebahagiaan dan
kebenaran yang hakiki.
Perbuatan zalim akan mendapatkan
balasannya, dan perbuatan baik akan mendapakan balasannya. Hanya bisa
terwujud jika kehidupan ini memiliki tujuan yang jelas, dan Dia Yang
Maha Adil haruslah ada menjadi Sang Pengadil dari pilihan manusia. Maka
kehendak menjadi anugerah tertinggi yang diserahkan pada manusia dalam
kekuasaan mutlak_Nya. Sehingga kehidupan ini akan mempersaksikan kepada
yang menjalaninya, bahwa setiap pilihan yang kita jalani akan membuahkan
buah keadilan_Nya. Mewujud dalam kesengsaraan atau kebahagiaan, surga
atau neraka, dalam nyatanya suatu hari pembalasan.
Apapun
yang menjadi pilihan manusia nantinya, hidupnya akan menjadi saksi
keberadaan_Nya yang terlalu kuat untuk di tolok, dan kematiaanya menjadi
bukti keterbatasannya untuk terlalu yakin bisa terbebas dari
keadilan_Nya.
"Bagaimana mungkin dia yang merasa
lemah karena memang tidak punya daya, sedangkan "tangannya"
terus-menerus menadah curahan kasih dan sayang, mampu untuk mengangakat
kepalanya yang merunduk dan bersimpuh. Ia yang Modalnya hanya harapan,
maka ia meneteskan untaian harapan." (H.M)
Yang Memilih Untuk Terlahir
Ia terlahir Rumi Ali RausyanFikr
adalah anak yang kunanti kelahirannya, yang membuatku ketakutan dan
sekaligus berharap. Jika kematian merupakan keniscayaan dari sebuah
kehidupan. Kelahiran seorang anak manusia adalah sebuah kegaiban yang
begitu nyata. Anak bukan sekedar pertemuan dua buah sel telur yang
menjadi pasti untuk terlahir. Bagaimanapun coba aku meminjam penjelasan biologi, kelahiran seorang anak manusia masih saja hal yang paling ajaib untuk bisa dijelaskan.
Namun
setelah menelaah keterpaksaan dan kemadirian manusia, dimana akhirnya
untuk melihat kehidupan ini keduaanya merupakan hal yang mustahil
dipisahkan dari manusia. Yaitu mutlaknya sebagai Tuhan yang maha awal
dan akhir, maka niscaya Dia mengetahuai segalah sesuatu awal maupun
akhir. Dan Mutlak pula Tuhan maha adil dalam menciptakan agar tegak ke
Maha Sempurna_Nya, maka niscaya Dia tidak mencipta untuk sekedar
menzalimi ciptaan_Nya (walaupun Dia sungguh mampu). Maka Dia memberi
keistimewaan untuk memilih kepada manusia yang diciptakan_Nya untuk
memilih jalan-jalan hidupnya masing-masing. Demi agar nyata dan
terlaksana sifat kemaha-adilan_Nya itu. Ini membuatku yakin tidak ada
kezaliman pada Zat dan Sifat Tuhan.
Dengan kelahiran
anak manusia ini pula, menjadi jelas bahwa lahir adalah sebuah pilihan
dari manusia yang berani menjalaninya dan merupakan Ketetapan Mutlak
dari yang Maha Segala. Maka lewat kelahiranmu anandaku Rumi. Aku menjadi
memahami bahwa hidup yang kita jalani ini adalah hal yang telah
Ditetapkan dimana kita telah memilih untuk menjalaninya.
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka
(seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul,
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian
itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan).” (Al A’raf: 172)
Maka berbahagialah
anandaku, bahwa kita tidaklah terlahir untuk dizalimi, bahwa kita
terlahir tidak untuk besedih, bahwa kita terlahir bukan untuk menyakiti,
bahwa kita terlahir bukan untuk membenci, kalah, menyerah, tanpa
harapan, tanpa tujuan, tanpa arah, tanpa cahaya, hidup sekedar untuk
mati. Namun kita terlahir untuk mencari kebahagiaan, kita lahir untuk
kebenaran, kita lahir untuk memaknai hidup, kita mati karena kita siap,
kita lahir untuk mengenal_Nya. Maka mana mungkin ia Yang Maha Adil
tiba-tiba saja melemparkan kita menjadi hidup di belatara dunia yang
liar, tanpa sedikitpun perbekalan untuk menjalaninya.
Dia
yang menciptakan kita, telah membekali kita dengan begitu banyak hal
yang akan menyelamatkan kita dalam menjalani hidup ini. Bekal yang cukup
agar kita bisa selamat pada sebuah bahtera, pejalanan mengarungi
ombaknya begitu deras. Cahaya yang terlalu terang untuk menerangi jalan
yang kita melangkahkan kaki untuk kembali pada_Nya. Dia tidaklah zalim
kepada kita dengan membiarkan kita meraba-raba kehidupan ini, namun demi
keadilan Dia pasti membekali kita, kita hanya perlu mengerahkan usaha
kita agar semua bekal itu menjadi nyata bagi kita. Itulah ikhtiar kita,
pilihan kita, usaha kita.
Karena yakinlah anandaku,
kita tidak akan pernah keluar dari jangkauan kekuasan Sang Pencipta.
Sadar ataupun tidak, mau ataupun tidak, senang ataupun tidak. Tidak ada
kemandirian yang mampu berdiri dihadapan_Nya yang mutlak. Namun jangan
pernah berfikir bahwa Dia tidaklah adil. Karena dengan keadilan_Nya lah
kita bisa berpindah dari satu ketetapan kepada ketetapan_Nya yang lain.
Sekali lagi kita hanya perlu untuk berusaha lebih keras.
"Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)." –
(QS.13:39)
Inilah kesyukuran yang begitu besar
yang harus kita sambut dengan bahagia anandaku. Bagaimana Dia secara
nyata menunjukan kepada kita Cinta_Nya yang begitu besar, setelah dengan
Cinta_Nya pula kita diciptakan. Kini kita diberikan petunjuk untuk
memudahkan segala langkah kita dalam menjalani hidup ini. Begitu
jelasnya Dia menunjukan kepada kita jalan yang terbaik yang akan
menyelamatkan kita dari azab keadilan_Nya. Lalu masih adakah ruang bagi
kita untuk merasa dicurangi dilahirkan ke dunia ini. Tentu saja tidak!
Berbahagialah
karena hidup yang telah selesai ini, akan dan baru saja kita
memulainya. Menyebabkan segala akhirnya akan sangat bergantung pada
pilihan kita untuk mengarahkannya kepada kecenderungan yang mana. Namun
bagaimana kita menjalaninya akan sangat bergantung pula pada bagaimana
cara kita memahami kehidupan ini. Sudah semestinya kita menaruh
perhatian pada apa saja yang menumbuhkan pemahaman terhadapnya. Bahkan
perubahan sekecil apapun dalam hidup ini adalah berkat rahmat dari_Nya.
Maka menghamba, beribadah, menTauhidkan_Nya, berdoa, bersimpu, memohon
pada_Nya merupakan sebuah keniscayaan kita sebagai makhluk yang tidak
memliki daya dan upaya sedikitpun. Karena sekali lagi ikhtiar kita
sekalipun adalah rezeki yang berasal dari Kemurahan, Keadilan, serta
Kasih dan Sayang_Nya.
“Dialah yang telah
menciptakanmu dari tanah lalu menetapkan suatu ajal dan ‘ajal lainnya’
yang ditentukan di sisi_Nya.” (QS 6 : 2)
Berbahagialah
"Anandaku
tercinta.. telah lama aku merindukanmu.. kini engkau memilih untuk
terlahir, dan Tuhan telah mengabulkannya.. karena Dia Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.. di sisi_Nya segalah ketetapan, dan ketetapan_Nya
adalah keadilan_Nya.. maka jadilah anak yang optimis, bahagia, periang,
dan lembut hatinya; karena Tuhan Telah, Sedang, dan Akan memberkatimu..
Aku pun akan mencintaimu.. sambut ku padamu, dengan nama 'Rumi Ali
RausyanFikr' (semoga Rumi tercerahkan melalui gerbang ilmu Nabi) sebagai
untaian doa yang mengiringimu sepanjang masa.. Jadilah anak bahagia.."
Kisah Yang Lain
Baru-baru
sebuah kabar gembira datang dari sahabatku. Banyak pula kabar gembira
lainnya, silih berganti membanjiri hatiku. Kejutan-kejutan mistik dari
masa depan. Sebuah hadiah dalam kotak yang isinya tersembunyi sekaligus
juga tersingkap, sebagai rezeki yang tak henti menghujani keringnya
ketakutan akan masa depan.
Dia adalah adikku terkasih,
akhirnya menemukan dan ditemukan oleh seorang pemberani, yang lalu
mengajaknya menyongsong masa depan dengan tanpa curiga, ketakutan, dan
prasangka. Lalu wajah manisnya yang seperti biasa dengan berani pula
memekarkan senyum merona manyambut panggilan itu. Pada sebuah jalan yang
harapan menjadi pelitanya, kabar bahagia itu bahwa ia telah
dipersunting. Begitulah jalan-jalan takdir bergerak menghantarkan kita
(manusia) kepada takdir lain. Buruk, baik, atau lebih baik. Tanpa
disangka-sangka, tidak sadar atau bahkan jika disadari kita berada dalam
sebuah pusaran keadilan_Nya yang gaib.
"Puji Tuhan atas cinta yang telah, sedang, dan akan selalu tercurah bagi seluruh makhluk yang bergantung pada_Nya." (H.M)
Ps: Alarm untuk mengingatkan aku pada janji yang terpatri di hati.
Rumah kedua, menjelang matahari terbit 30/11/13
Langganan:
Postingan (Atom)