Oleh Hajir Muis
"Ada
yang hanya saling memandang, tanpa kata, tanpa nada, tanpa artikulasi,
berbincang dalam diam namun sarat makna.. ada yang saling berbicara
penuh kata , tata bahasa, berwarna, bernada, panjang, dan kehilangan
makna.."
Kita hidup di masa teknologi yang memungkinkan percepatan dalam
segala hal. Jarak ratusan kilo meter, dahulu ditempuh berhari-hari, kini hanya perlu beberapa jam saja. Dengan sangat cepat
perkembangan teknologi transportasi mampu mempercepat perpindahan dari balahan dunia
ke bagian yang lain. Bahkan seorang anak yang tinggal jauh dari orang tuanya,
ketika ia rindu, jarak tidak akan menjadi penghalang. Jika tranportasi
masih membutuhkan berjam-jam mengantarkan kita pada yang dirindukan. Seketika
juga sebuah kotak kecil yang terkoneksi ke jaringan kabel atau nirkabel, pada
saat yang sama mampu mempertemukan dua orang yang berada tempat sekalipun. Alat
transportasi, telepon, dan berbagai media lainnya telah banyak membantu umat
manusia menjaga hubungan silaturahminya. Namun bukan berarti tatap muka menjadi
tidak perlu, media-media itu harus tetap menjadi medium saja, alternatif saja,
yang medium tidak seyogianya menjadi yang utama. Pertemuan dengan yang dikasihi
harus tetap diusahakan. Karena banyak hal dalam hubungan kemanusiaan tidak bisa
diselesaikan hanya dengan suara saja. “Kita tetap bisa hidup tanpa
media/teknologi, namun tidak tanpa manusia lain.” Akhirnya medium itu hanya
menjadi perpanjangan tangan, mendekatkan yang jauh.
Kemarin handphone-nya berdering, hal yang
sangat jarang terjadi. Baginya handphone beberapa tahun terakhir lebih berfungsi
sebagai walkman dan kamera. Fungsi
telepon dan sms lalu usang dan berdebuh. Yah, beberapa tahun terakhir ia lebih
sering bercengkrama langsung dengan orang-orang tanpa medium (alat). Ia punya banyak
teman yang selalu diajak bicara dan belajar tentang berbagai hal. Pula waktunya diisi dengan kegiatan yang menguras tenaga dan perhatiaan. Semua
dikerjakan bersama-sama dan itu sungguh membuatnya senang. Namun bukan berarti
fungsi telepon dan sms tidak digunakannya lagi. Hanya pada saat-saat perlu
saja ia gunakan, menerima panggilan kumpul-kumpul, panggilan diskusi, seminar,
traktiran, jalan-jalan, makan-makan, dan tentu dari mama-papa yang rindu pada
anaknya atau mendapat kabar baik dari orang terkasih yang tidak bersamanya. Dari
layar sentuhnya ia mengetahui itu panggilan dari bapaknya terkasih. Sambil tergesah-gesah
dan dengan lengkung sabit di bibirnya lalu menggeser perintah di layar untuk
menerima panggilan kasih itu.
Seinggatnya dia bukan
anak yang akrab dengan bapaknya. Dulu ia lebih sering menghindar, suara dan
perangai bapaknya yang keras, ketika ia masih kanak-kanak dikirannya bentuk
kemarahan. Sikap dan perintahnya yang tegas terlihat otoriter dan tidak
memungkin adannya dialog. Sehingga kadang ketika ia mencoba berbicara pada
bapaknya yang terjadi malah perdebatan demi saling memenangkan, menaklukkan. Semua
yang diputuskan wajib hukummnya dilaksanakan. Ya, itu pandangannya pada masa
lalu, namun pandangan itu kini berbeda.
Pengetahuaan telah memperlihatkannya
sudut pandang lain, yang dulu si anak tidak pernah mencoba melihat dengannya. Si anak sibuk
melihat bapak pada kulit luar saja dan mengambil kesimpulan dengan
penuh prasangka dan tergesa-gesa. Perangi dan suara keras itu
bukan gambaran seutuhnya dari sang bapak, semua itu hanya topeng. Bapaknya
tidak punya alternatif lain karena keterbatasan pengetahuannya. Apa yang ia
ketahui maka itu yang menjadi topengnnya. Si anak telah belajar, bahwa 'kasih
sayang' yang sebenarnya ingin diungkapkan, ditunjukan bapakknya. Ibarat sebuah
kata, sang bapak kekurangan kosa kata untuk mengungkapkan perasaannya. Hal yang ia kini disadari si anak.
Perbincangan bapak dan
anak langsung dari tempat berjauhan dimulai. Walaupun sederhana saja
pembicaraannya, seperti biasa sang bapak bertanya kabar anaknya dan begitupun
sebaliknya, biasanya berlangsung dengan cepat. Seperti itu memang lazimnya
perbincangan dua orang yang saling mengasihi, terlalu sederhana sehingga
kata-kata tidak terlalu banyak mampu mewadahinnya. Hanya doa dari hati
masing-masing, saling mereka kirimkan, menjadi wadah paling pas bagi keduannya
merapalkan kasih. “Moga bapak baik selalu, dan jangan lupa makan” seperti itu
mungkin kata yang menghubungkan keduannya, tidak banyak. Setelah itu sang
anak mohon pamit untuk menutup telepon. Namun tidak seperti biasa kali ini sepertinya sang bapak punya segudang
kata yang ingin dirapalkan pada anaknya.
Perbincang lalu mereka
lanjutkan. Sekonyong-konyongnya tanya diajukan sang bapak. Tanya yang
sepertinya hasil dari akumulasi keberaniaan yang dikumpulkan sang bapak pada
anaknya. Dengan perlahan sang bapak merapalkan dengan pasti, “kamu sudah punya
calon nak? Bapak sama mama berhari-hari terus memikirkannya, kami sudah tua
nak! Kami mau kalo kamu segera punya pendamping!”. Si anak kaget namun tanpa
prasangka, karena ia tahu dengan pasti bahwa kedua orang tuannya sungguh
menyayanginya, lalu memekarkan senyum bahaginya. Si anak paham maksud bapaknnya. Sedikit
mengalihkan pembicaraan si anak lalu berkelakar, “bukannya mama sama bapak yang
mau carikan/pilihkan saya pendamping hidup? Tugasku berkhitmat sama bapak dan
mama. Insya Allah saya ikhlas pa dengan pilihan kalian.”
Keheranan sepertinya
menyelubungi sang bapak. Dia merasa dikalahkan telak oleh sang anak, karena seingatnya
dahulu jika ia memerintahakan si anak, bantahan yang lebih dahulu muncul
darinya. Namun kali ini tidak! "Apa yang terjadi dengan anak ini?", mungkin kata sang bapak? Dengan merabah-rabah mencoba memastikan apakah anaknya telah
berubah, kembali ia bertanya, “masa kamu tidak punya pilihan sendiri sih?”. Tanpa
sang bapak sadari beliau juga telah banyak berubah, putusannya yang selalu
final, saat ini sedang membuka ruang dialog dengan si anak. Perilaku si anak
yang belajar mengikhlaskan dirinya bagi kedua orang tuanya, membuahkan buah
kasih-sayang dan sikap lembut dari bapaknya. Sambil bercanda si anak lalu
menjawab, “ada sih pak, tapi itu jumlahnya ratusan? Saya kebingungan
memilihnya. Mending saya serahkan saja sama bapak dan mama yang memilihkan.” Sang
bapak alhasil kedengarannya hanya bisa tertawa saja, 'Loh kok bisa ratusan nak?".
Ada hal yang beberapa
tahun ini menarik perhatiaan si anak di kota yang jauh dari kedua orang tuanya.
Si anak sedang senang dan sangat penasaran tentang tentang ‘cinta’. Si anak
terus bertanya apa sebenarnya cinta itu? Pertanyaan yang sejak awal permulaan
kehidupan manusia sudah ditanyakan dan hingga saat ini masih juga dibincangkan.
Cinta menjadi suatu yang begitu jelas dan juga begitu abstrak, gaib dan mistik. Walaupun dewasa ini lebih populis dan kehilangan daya magisnya karena komodifikasi media. Apakah
cinta hanya meluluh tentang laki-laki dan perempuaan? Atau hasrat? Mana sebenarnya
cinta itu? Si anak terus mencari jawaban atas tanya itu.
“Aku
adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka kuciptakan
Dunia.” ( hadis qudsi)
Terus ia mencari
jawaban, sangat beragam jawab yang ia dapat. Setiap jawab semakin lama seperti
sebuah puzzel besar yang mungkin seluruh hidup ini tidak akan cukup untuk
menyusun sepenuhnya. Perlahan-lahan dikumpulakan serpihan jawaban itu dan terus menyempurnakan hingga
semakin jelas baginya. Kini menjadi semakin jelas, bahwa dia tidak
memiliki cinta sedikitpun! Cinta tidak punya objek! Cinta itu sederhana, saking
sederhana, kata dan angan-angan kita kadang malah merumitkannya. Cinta adalah subjek, cinta adalah
apa yang menyebabkan kita hidup. Cinta adalah yang tersembunyi dalam diri kita sendiri, jiwa kita, sumber hidup kita. Diri kita tidak punya cinta! Cinta yang kita miliki
hanya pemberiaan, titipan dari Cinta. Dia yang maha cintalah yang memiliki
cinta itu. Dialah Yang Maha Pencipta, menciptakan makhlukNya. Dialah Yang Maha Hidup yang memberi maklukNya hidup. Dialah Yang Maha Cinta yang memberi cinta
pada makhlukNya. Dialah Cinta yang hakiki, Dia mencipta karena mencintai
makhlukNya, agar maklukNya mempersaksikan cintaNya, agar maklukNya mengenalNya, mendapatkan
cintaNya. Kalau memang seperti itu maka yang mana cinta itu? Jawabnya sederhana
semua makhluknya adalah wajah CintaNya. Karena makhluk terus bergantung pada cintaNya. Dengan berharap mendapatkan
limpahan kasih dari Sang Maha Cinta. Jika sesaat saja kasih itu terhenti
menurut kalian apa yang akan terjadi? Sedang hidup adalah bergantung
pada Penciptanya.
Kemanapun
kamu berpaling, di situlah Wajah Allah.” (QS. al-Baqarah:115)
Pilihan apa yang kita
punya kalau begitu, saat di mana kita memandang yang ada hanya cinta! Maka sudah
sepantasnya kita menjaga pandangan kita, moga tidak memandangnya dengan cara
yang tidak sepantasnya. Mungkin kita akan kebingungan dengan apa yang di
pelajari si anak. Namun dengan pengetahuaanya itu, lalu merubah segalah
garak-perilaku-perangai si anak. Karena semua hal adalah wajah Cinta, maka apa
yang bisa ia lakuakan selain mencintaiNya. Ia lalu paham bahwa kepada siapa
saja, sudah seharusnya untuk ia mencintai, kepada siapapun ia harus menebar
kasih.
"Siapa yang aku cintai ketika mencintaimu?
Apa yang kurindukan ketika merindukanmu?
Jika kau adalah bukan cinta mana mungkin kau kucinta..
Jika kau adalah bukan rindu mana mungkin kau kurindu..
Sedang untuk mencinta aku butuh cinta..
Dan untuk siapa cinta itu jika bukan untuk yang dicintai..
Maka pecinta - cinta - dicinta adalah satu..
Jika dua, aku rasa aku telah sesat dimakan ular nagaku.." #CintaTuhanMeliputiSegala
Si anak pernah belajar
dari cerita seorang gurunya. Bahwa cinta secara teoritis punya tiga tahapan
atau tingkatan.
Pertama adalah cinta
aku, cinta seperti ini perpros pada ‘aku’. Semua hanya tentang aku! Cinta seperti
itu terungkap dengan kalimat, aku mencintaimu karena kamu cantik, kamu kaya,
kamu kriteria aku. Siapa yang sebenarnya dia cintai saat itu? Angannya yang ia
cintai! Hanya dirinya yang ia cintai. Semua hanya tentang ‘aku’ dan hanya aku. Maka cinta yang seperti ini
bukan cinta sejati, pelakunya akan sangat mudah mengalami kekecewaan. Paras yang
cantik akan menua, apakah ia akan masih tetap mencinta? Sedang semua ia bangun
atas dasar hayalannya tentang cinta. Mungkin kita bisa menyebut ini cinta
tuan/penguasa.
Kedua cinta karena ‘dia’,
biasanya ini terjadi pada cinta pandangan pertama. Dasarnya adalah dugaan kita
bahwa kita mencintai, cinta ini kadang membutahkan kita, apapun kita lakukan
demi ‘dia’ bahkan jika itu perbuatan yang buruk. Untuk kedua tahap cinta itu
bersiaplah untuk kecewa juga karena cinta ini di dasari kebodohan/ketidaktahuan
kita sendiri. Cinta pada tahap ini tidak mengenal objek cintanya dengan benar. Kalian bisa dengar lagu efek rumah kaca - jatuh cinta itu biasa saja, yang mengkritik cinta atas dasar kebodohan.
Ketiga cinta lalu
bermetamorfosis lagi, cinta pada tahap ini didasarkan pada pengetahuan kita,
pada yang siapa sebenarnya yang layak untuk mencinta! Pengetahuan telah
memenuhi diri kita, sehingga kita mampu menuju pada cinta yang sebenarnya,
dengan pelita pengetahuaan. Pecinta telah mengenal objek cintanya dengan benar. Cinta ini tidak dalam kegelapan, cinta seperti ini
penuh dengan cahaya petunjuk. Cinta seperti ini tidak akan mengecewakan
pecintannya, karena dia tahu dengan pasti siapa yang pantas di cintai. Pada tahap
ini cinta akan terus menyempurna hingga cinta adalah karena Cinta. Tidak ada lagi subjek-objek cinta, karena mereka telah men-dia. Demikian si
anak perna sedikit belajar tentang cinta, ia lalu berusaha sekuat tenaga terus
belajar mengenali Cinta, men-dia. Maka mungkinkah kita akan kecewa dengan cinta seperti itu?
"Kemanapun
aku memandang, wajahmu yang selalu kulihat.. Aku lalu mengalihkan pandanganku,
karena aku takut menatapmu dengan tak pantas.. Lalu bagaimana caranya aku bisa
berlari darimu, sedang yang ada hanya dirimu. belajar mencintai artinya usaha
sebesar mungkin membersihkan diri dari kotoran yang merusak jiwa..”
Si anak sedang belajar
mecintai, ia sedang berusaha menghilangkan berbagai motif dalam cintanya. Kalaupun ada, yaitu bahwa manusia diciptakan
dengan cinta, maka mereka harus saling mengenal untuk saling mencinta. Kalau setiap
orang adalah wajah cinta, maka haram hukumnya untuk mereka saling membenci,
memfitnah, membunuh, merampok, menzalimi sesama. Malahan tujuan kita diciptakan
adalah untuk saling menebar rasa damai, bahagia, cinta kasih dengan sesama. Karena
kita semua sebenarnya satu saja. Semua manusia, yang tak ada satupun serupa ini
adalah percikan cinta Sang Maha Cinta.
Banyak hal yang
akhirnya dibicarakan si anak dan sang bapak. Tawar menawar terus berlangsung. Ceramah-ceramah
pendek sang bapak terus di ulang-ulang, yang intinya sudah terlalu jelas. Poin sang
bapak si anak yang harus mencari sendiri calon pasangan hidupnya. Sedangkan poin
si anak karena sang bapak sudah menyerah dari si anak dan menyerakan kepada
anak pencariaan itu, maka si anak sekali lagi hanya bisa berhikmat, ia patuh
pada orang tuannya. Hanya saja itu sungguh sulit bagi si anak, memilih bukan
hal yang ia sukai, apa lagi memilih peremupuan, “siapa saya?” dalam hatinya. Menegaskan bahwa ia bukan orang yang berkelebihan sehingga berhak mengukur
orang lain berkekurangan. Namun batas waktu telah ditentukan bapaknya, dua tahun titah sang bapak.
Si anak akan
mencarinya, baginya yang mengangap cinta adalah sesuatu yang terus-menurus ia
pelajari hingga menyempurna. Wajar jika cantik, kaya, bukan ukuran utama. jika
ia tidak cantik maka dengan cinta yang tulus gadis itu akan menjadi yang paling
cantik. Jika ia tidak kaya, rasa syukur selalu mencukupkan mereka agar tidak
kufur. Mungkin yang terpenting gadis itu harus mau belajar juga sabar dan lalu
mereka akan belajar bersama di sisa hidup mereka.
“Pun
kita mungkin belum bertemu atau bahkan kita sudah sangat akrab. Aku sealu
membayangkan senyummu yang manis. Kita lalu tidak jatuh kesakitan, namun terus menerus
belajar saling mencinta, berpegangan tangan mengahadapi yang ‘merah’ (bahaya). Kita
lalu berdoa agar restu dari Sang Maha Cinta tercurah pada kita. Kita bersyukur
di kala ‘hijau’ (hidup bahagia), dan bersabar di kala biru (haru/sedih).” #Si Anak
Nakal
Sejam berlalu dengan
cepat, sekali lagi medium hanya bertugas mendekatkan yang jauh. Pembicaraan si anak
dan sang bapak tidaklah cukup, bahkan jika itu berjam-jam lagi. Karena memang
ada bahasa yang tidak melulu hanya dengan menggunakan kata, pelukan misalnya! Si anak akan segera bertemu
dengan sang bapak untuk melajutkan perbincangan, yang mungkin hanya berlangsung
beberapa menit saja, beberapa menit itu pun tidak sebanding dengan berbicara berjam-jam
lewat medium itu. Ia juga akan memeluk bapaknya, setelah itu mungkin tidak akan ada kata lagi. Namun tetap saja terima kasih bagi medium itu karena telah
menyambungkan kasih antar umat manusia.
25/03/14 Rumah hijau, bersama matahari yang bangga menggantikan gelap yang berlalu dengan cepatnya..
Ps: Selalu sulit
memadatkan sebuah cerita yang sebenarnya panjang. Mungkin jika ada kesempatan
yang lebih luang, potongan kisah ini moga bisa aku jadikan sebuah cerita yang lebih
utuh...