Senin, 24 Maret 2014

KEJUTAN PARA PENCARI

Oleh Hajir Muis

"Ada yang hanya saling memandang, tanpa kata, tanpa nada, tanpa artikulasi, berbincang dalam diam namun sarat makna.. ada yang saling berbicara penuh kata , tata bahasa, berwarna, bernada, panjang, dan kehilangan makna.."

            Kita hidup di masa teknologi yang memungkinkan percepatan dalam segala hal. Jarak ratusan kilo meter, dahulu ditempuh berhari-hari, kini hanya perlu beberapa jam saja. Dengan sangat cepat perkembangan teknologi transportasi mampu mempercepat perpindahan dari balahan dunia ke bagian yang lain. Bahkan seorang anak yang tinggal jauh dari orang tuanya, ketika ia rindu, jarak tidak akan menjadi penghalang. Jika tranportasi masih membutuhkan berjam-jam mengantarkan kita pada yang dirindukan. Seketika juga sebuah kotak kecil yang terkoneksi ke jaringan kabel atau nirkabel, pada saat yang sama mampu mempertemukan dua orang yang berada tempat sekalipun. Alat transportasi, telepon, dan berbagai media lainnya telah banyak membantu umat manusia menjaga hubungan silaturahminya. Namun bukan berarti tatap muka menjadi tidak perlu, media-media itu harus tetap menjadi medium saja, alternatif saja, yang medium tidak seyogianya menjadi yang utama. Pertemuan dengan yang dikasihi harus tetap diusahakan. Karena banyak hal dalam hubungan kemanusiaan tidak bisa diselesaikan hanya dengan suara saja. “Kita tetap bisa hidup tanpa media/teknologi, namun tidak tanpa manusia lain.” Akhirnya medium itu hanya menjadi perpanjangan tangan, mendekatkan yang jauh.

Kemarin handphone-nya berdering, hal yang sangat jarang terjadi. Baginya handphone  beberapa tahun terakhir lebih berfungsi sebagai walkman dan kamera. Fungsi telepon dan sms lalu usang dan berdebuh. Yah, beberapa tahun terakhir ia lebih sering bercengkrama langsung dengan orang-orang tanpa medium (alat). Ia punya banyak teman yang selalu diajak bicara dan belajar tentang berbagai hal. Pula waktunya diisi dengan kegiatan yang menguras tenaga dan perhatiaan. Semua dikerjakan bersama-sama dan itu sungguh membuatnya senang. Namun bukan berarti fungsi telepon dan sms tidak digunakannya lagi. Hanya pada saat-saat perlu saja ia gunakan, menerima panggilan kumpul-kumpul, panggilan diskusi, seminar, traktiran, jalan-jalan, makan-makan, dan tentu dari mama-papa yang rindu pada anaknya atau mendapat kabar baik dari orang terkasih yang tidak bersamanya. Dari layar sentuhnya ia mengetahui itu panggilan dari bapaknya terkasih. Sambil tergesah-gesah dan dengan lengkung sabit di bibirnya lalu menggeser perintah di layar untuk menerima panggilan kasih itu.

Seinggatnya dia bukan anak yang akrab dengan bapaknya. Dulu ia lebih sering menghindar, suara dan perangai bapaknya yang keras, ketika ia masih kanak-kanak dikirannya bentuk kemarahan. Sikap dan perintahnya yang tegas terlihat otoriter dan tidak memungkin adannya dialog. Sehingga kadang ketika ia mencoba berbicara pada bapaknya yang terjadi malah perdebatan demi saling memenangkan, menaklukkan. Semua yang diputuskan wajib hukummnya dilaksanakan. Ya, itu pandangannya pada masa lalu, namun pandangan  itu kini berbeda.

Pengetahuaan telah memperlihatkannya sudut pandang lain, yang dulu si anak tidak pernah mencoba melihat dengannya. Si anak sibuk melihat bapak pada kulit luar saja dan mengambil kesimpulan dengan penuh prasangka dan tergesa-gesa.  Perangi dan suara keras itu bukan gambaran seutuhnya dari sang bapak, semua itu hanya topeng. Bapaknya tidak punya alternatif lain karena keterbatasan pengetahuannya. Apa yang ia ketahui maka itu yang menjadi topengnnya. Si anak telah belajar, bahwa 'kasih sayang' yang sebenarnya ingin diungkapkan, ditunjukan bapakknya. Ibarat sebuah kata, sang bapak kekurangan kosa kata untuk mengungkapkan perasaannya. Hal yang ia kini disadari si anak.

Perbincangan bapak dan anak langsung dari tempat berjauhan dimulai. Walaupun sederhana saja pembicaraannya, seperti biasa sang bapak bertanya kabar anaknya dan begitupun sebaliknya, biasanya berlangsung dengan cepat. Seperti itu memang lazimnya perbincangan dua orang yang saling mengasihi, terlalu sederhana sehingga kata-kata tidak terlalu banyak mampu mewadahinnya. Hanya doa dari hati masing-masing, saling mereka kirimkan, menjadi wadah paling pas bagi keduannya merapalkan kasih. “Moga bapak baik selalu, dan jangan lupa makan” seperti itu mungkin kata yang menghubungkan keduannya, tidak banyak. Setelah itu sang anak mohon pamit untuk menutup telepon. Namun tidak seperti biasa  kali ini sepertinya sang bapak punya segudang kata yang ingin dirapalkan pada anaknya.

Perbincang lalu mereka lanjutkan. Sekonyong-konyongnya tanya diajukan sang bapak. Tanya yang sepertinya hasil dari akumulasi keberaniaan yang dikumpulkan sang bapak pada anaknya. Dengan perlahan sang bapak merapalkan dengan pasti, “kamu sudah punya calon nak? Bapak sama mama berhari-hari terus memikirkannya, kami sudah tua nak! Kami mau kalo kamu segera punya pendamping!”. Si anak kaget namun tanpa prasangka, karena ia tahu dengan pasti bahwa kedua orang tuannya sungguh menyayanginya, lalu memekarkan senyum bahaginya. Si anak paham maksud bapaknnya. Sedikit mengalihkan pembicaraan si anak lalu berkelakar, “bukannya mama sama bapak yang mau carikan/pilihkan saya pendamping hidup? Tugasku berkhitmat sama bapak dan mama. Insya Allah saya ikhlas pa dengan pilihan kalian.”

Keheranan sepertinya menyelubungi sang bapak. Dia merasa dikalahkan telak oleh sang anak, karena seingatnya dahulu jika ia memerintahakan si anak, bantahan yang lebih dahulu muncul darinya. Namun kali ini tidak! "Apa yang terjadi dengan anak ini?", mungkin kata sang bapak? Dengan merabah-rabah mencoba memastikan apakah anaknya telah berubah, kembali ia bertanya, “masa kamu tidak punya pilihan sendiri sih?”. Tanpa sang bapak sadari beliau juga telah banyak berubah, putusannya yang selalu final, saat ini sedang membuka ruang dialog dengan si anak. Perilaku si anak yang belajar mengikhlaskan dirinya bagi kedua orang tuanya, membuahkan buah kasih-sayang dan sikap lembut dari bapaknya. Sambil bercanda si anak lalu menjawab, “ada sih pak, tapi itu jumlahnya ratusan? Saya kebingungan memilihnya. Mending saya serahkan saja sama bapak dan mama yang memilihkan.” Sang bapak alhasil kedengarannya hanya bisa tertawa saja, 'Loh kok bisa ratusan nak?".

Ada hal yang beberapa tahun ini menarik perhatiaan si anak di kota yang jauh dari kedua orang tuanya. Si anak sedang senang dan sangat penasaran tentang tentang ‘cinta’. Si anak terus bertanya apa sebenarnya cinta itu? Pertanyaan yang sejak awal permulaan kehidupan manusia sudah ditanyakan dan hingga saat ini masih juga dibincangkan. Cinta menjadi suatu yang begitu jelas dan juga begitu abstrak, gaib dan mistik. Walaupun dewasa ini lebih populis dan kehilangan daya magisnya karena komodifikasi media. Apakah cinta hanya meluluh tentang laki-laki dan perempuaan? Atau hasrat? Mana sebenarnya cinta itu? Si anak terus mencari jawaban atas tanya itu.

“Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka kuciptakan Dunia.” ( hadis qudsi)

Terus ia mencari jawaban, sangat beragam jawab yang ia dapat. Setiap jawab semakin lama seperti sebuah puzzel besar yang mungkin seluruh hidup ini tidak akan cukup untuk menyusun sepenuhnya. Perlahan-lahan dikumpulakan serpihan jawaban itu dan terus menyempurnakan hingga semakin jelas baginya. Kini menjadi semakin jelas, bahwa dia tidak memiliki cinta sedikitpun! Cinta tidak punya objek! Cinta itu sederhana, saking sederhana, kata dan angan-angan kita kadang malah merumitkannya. Cinta adalah subjek, cinta adalah apa yang menyebabkan kita hidup. Cinta adalah yang tersembunyi dalam diri kita sendiri, jiwa kita, sumber hidup kita. Diri kita tidak punya cinta! Cinta yang kita miliki hanya pemberiaan, titipan dari Cinta. Dia yang maha cintalah yang memiliki cinta itu. Dialah Yang Maha Pencipta, menciptakan makhlukNya. Dialah Yang Maha Hidup yang memberi maklukNya hidup. Dialah Yang Maha Cinta yang memberi cinta pada makhlukNya. Dialah Cinta yang hakiki, Dia mencipta karena mencintai makhlukNya, agar maklukNya mempersaksikan cintaNya, agar maklukNya mengenalNya, mendapatkan cintaNya. Kalau memang seperti itu maka yang mana cinta itu? Jawabnya sederhana semua makhluknya adalah wajah CintaNya. Karena makhluk terus bergantung pada cintaNya. Dengan berharap mendapatkan limpahan kasih dari Sang Maha Cinta. Jika sesaat saja kasih itu terhenti menurut kalian apa yang akan terjadi? Sedang hidup adalah bergantung pada Penciptanya.

Kemanapun kamu berpaling, di situlah Wajah Allah.” (QS. al-Baqarah:115)

Pilihan apa yang kita punya kalau begitu, saat di mana kita memandang yang ada hanya cinta! Maka sudah sepantasnya kita menjaga pandangan kita, moga tidak memandangnya dengan cara yang tidak sepantasnya. Mungkin kita akan kebingungan dengan apa yang di pelajari si anak. Namun dengan pengetahuaanya itu, lalu merubah segalah garak-perilaku-perangai si anak. Karena semua hal adalah wajah Cinta, maka apa yang bisa ia lakuakan selain mencintaiNya. Ia lalu paham bahwa kepada siapa saja, sudah seharusnya untuk ia mencintai, kepada siapapun ia harus menebar kasih.

"Siapa yang aku cintai ketika mencintaimu?
Apa yang kurindukan ketika merindukanmu?
Jika kau adalah bukan cinta mana mungkin kau kucinta..
Jika kau adalah bukan rindu mana mungkin kau kurindu..
Sedang untuk mencinta aku butuh cinta..
Dan untuk siapa cinta itu jika bukan untuk yang dicintai..
Maka pecinta - cinta - dicinta adalah satu..
Jika dua, aku rasa aku telah sesat dimakan ular nagaku.." #CintaTuhanMeliputiSegala

Si anak pernah belajar dari cerita seorang gurunya. Bahwa cinta secara teoritis punya tiga tahapan atau tingkatan.  

Pertama adalah cinta aku, cinta seperti ini perpros pada ‘aku’. Semua hanya tentang aku! Cinta seperti itu terungkap dengan kalimat, aku mencintaimu karena kamu cantik, kamu kaya, kamu kriteria aku. Siapa yang sebenarnya dia cintai saat itu? Angannya yang ia cintai! Hanya dirinya yang ia cintai. Semua hanya tentang ‘aku’ dan hanya aku. Maka cinta yang seperti ini bukan cinta sejati, pelakunya akan sangat mudah mengalami kekecewaan. Paras yang cantik akan menua, apakah ia akan masih tetap mencinta? Sedang semua ia bangun atas dasar hayalannya tentang cinta. Mungkin kita bisa menyebut ini cinta tuan/penguasa.

Kedua cinta karena ‘dia’, biasanya ini terjadi pada cinta pandangan pertama. Dasarnya adalah dugaan kita bahwa kita mencintai, cinta ini kadang membutahkan kita, apapun kita lakukan demi ‘dia’ bahkan jika itu perbuatan yang buruk. Untuk kedua tahap cinta itu bersiaplah untuk kecewa juga karena cinta ini di dasari kebodohan/ketidaktahuan kita sendiri. Cinta pada tahap ini tidak mengenal objek cintanya dengan benar. Kalian bisa dengar lagu efek rumah kaca - jatuh cinta itu biasa saja, yang mengkritik cinta atas dasar kebodohan.

Ketiga cinta lalu bermetamorfosis lagi, cinta pada tahap ini didasarkan pada pengetahuan kita, pada yang siapa sebenarnya yang layak untuk mencinta! Pengetahuan telah memenuhi diri kita, sehingga kita mampu menuju pada cinta yang sebenarnya, dengan pelita pengetahuaan. Pecinta telah mengenal objek cintanya dengan benar. Cinta ini tidak dalam kegelapan, cinta seperti ini penuh dengan cahaya petunjuk. Cinta seperti ini tidak akan mengecewakan pecintannya, karena dia tahu dengan pasti siapa yang pantas di cintai. Pada tahap ini cinta akan terus menyempurna hingga cinta adalah karena Cinta. Tidak ada lagi subjek-objek cinta, karena mereka telah men-dia.   Demikian si anak perna sedikit belajar tentang cinta, ia lalu berusaha sekuat tenaga terus belajar mengenali Cinta, men-dia. Maka mungkinkah kita akan kecewa dengan cinta seperti itu?

"Kemanapun aku memandang, wajahmu yang selalu kulihat.. Aku lalu mengalihkan pandanganku, karena aku takut menatapmu dengan tak pantas.. Lalu bagaimana caranya aku bisa berlari darimu, sedang yang ada hanya dirimu. belajar mencintai artinya usaha sebesar mungkin membersihkan diri dari kotoran yang merusak jiwa..

Si anak sedang belajar mecintai, ia sedang berusaha menghilangkan berbagai motif dalam cintanya. Kalaupun ada, yaitu bahwa manusia diciptakan dengan cinta, maka mereka harus saling  mengenal untuk saling mencinta. Kalau setiap orang adalah wajah cinta, maka haram hukumnya untuk mereka saling membenci, memfitnah, membunuh, merampok, menzalimi sesama. Malahan tujuan kita diciptakan adalah untuk saling menebar rasa damai, bahagia, cinta kasih dengan sesama. Karena kita semua sebenarnya satu saja. Semua manusia, yang tak ada satupun serupa ini adalah percikan cinta Sang Maha Cinta.

Banyak hal yang akhirnya dibicarakan si anak dan sang bapak. Tawar menawar terus berlangsung. Ceramah-ceramah pendek sang bapak terus di ulang-ulang, yang intinya sudah terlalu jelas. Poin sang bapak si anak yang harus mencari sendiri calon pasangan hidupnya. Sedangkan poin si anak karena sang bapak sudah menyerah dari si anak dan menyerakan kepada anak pencariaan itu, maka si anak sekali lagi hanya bisa berhikmat, ia patuh pada orang tuannya. Hanya saja itu sungguh sulit bagi si anak, memilih bukan hal yang ia sukai, apa lagi memilih peremupuan, “siapa saya?” dalam hatinya. Menegaskan bahwa ia bukan orang yang berkelebihan sehingga berhak mengukur orang lain berkekurangan. Namun batas waktu telah ditentukan bapaknya, dua tahun titah sang bapak. 

Si anak akan mencarinya, baginya yang mengangap cinta adalah sesuatu yang terus-menurus ia pelajari hingga menyempurna. Wajar jika cantik, kaya, bukan ukuran utama. jika ia tidak cantik maka dengan cinta yang tulus gadis itu akan menjadi yang paling cantik. Jika ia tidak kaya, rasa syukur selalu mencukupkan mereka agar tidak kufur. Mungkin yang terpenting gadis itu harus mau belajar juga sabar dan lalu mereka akan belajar bersama di sisa hidup mereka.

“Pun kita mungkin belum bertemu atau bahkan kita sudah sangat akrab. Aku sealu membayangkan senyummu yang manis. Kita lalu tidak jatuh kesakitan, namun terus menerus belajar saling mencinta, berpegangan tangan mengahadapi yang ‘merah’ (bahaya). Kita lalu berdoa agar restu dari Sang Maha Cinta tercurah pada kita. Kita bersyukur di kala ‘hijau’ (hidup bahagia), dan bersabar di kala biru (haru/sedih).” #Si Anak Nakal

Sejam berlalu dengan cepat, sekali lagi medium hanya bertugas mendekatkan yang jauh. Pembicaraan si anak dan sang bapak tidaklah cukup, bahkan jika itu berjam-jam lagi. Karena memang ada bahasa yang tidak melulu hanya dengan menggunakan kata, pelukan misalnya! Si anak akan segera bertemu dengan sang bapak untuk melajutkan perbincangan, yang mungkin hanya berlangsung beberapa menit saja, beberapa menit itu pun tidak sebanding dengan berbicara berjam-jam lewat medium itu. Ia juga akan memeluk bapaknya, setelah itu mungkin tidak akan ada kata lagi. Namun tetap saja terima kasih bagi medium itu karena telah menyambungkan kasih antar umat manusia.

25/03/14 Rumah hijau, bersama matahari yang bangga menggantikan gelap yang berlalu dengan cepatnya..

Ps: Selalu sulit memadatkan sebuah cerita yang sebenarnya panjang. Mungkin jika ada kesempatan yang lebih luang, potongan kisah ini moga bisa aku jadikan sebuah cerita yang lebih utuh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar